Oleh ADRIANO RUSFI *)
ALKISAH tiba-tiba seorang pemuda Arab mendatangi Rasulullah SAW, lalu ia berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin memeluk Islam. Tapi, ijinkan aku tetap berzina”
Permintaan ini sungguh kurang ajar, sekaligus bertentangan dengan makna Islam yang paling generik : penyerahan diri. Mana mungkin seseorang beriman, tapi bersamaan dengan itu menuntut sebuah konsesi dan pemakluman.
Namun Rasulullah SAW sama sekali tak marah. Beliau memang bukan seperti kita yang mudah naik pitam. Tidak seperti kita yang terlalu cepat curiga dan berburuk sangka, beliau membaca permintaan ini dari kacamata fitrah, bukan dari kacamata penodaan agama.
Sehingga dengan tenang beliau bersabda : “Tapi engkau tak boleh berdusta” Inilah sebuah contoh teramat cantik tentang hikmah-kebijaksanaan : Pertama, bahwa kebijaksanaan itu tegak di atas nilai kebenaran yang hakiki, di mana perzinaan sampai kapanpun adalah sebuah perbuatan haram;
Kedua, bahwa implementasi nilai-nilai kebenaran yang absolut tetap perlu mempertimbangkan fitrah-fitrah kemanusiaan, baik kelebihan maupun kelemahannya;
Ketiga, bahwa penegakkan nilai-nilai kebenaran harus tetap mengacu pada realitas spesifik yang bersifat sangat kondisional dan situasional, terikat ruang dan waktu;
Keempat, bahwa penegakkan nilai-nilai kebenaran perlu ditopang oleh metodologi dan pendekatan yang paling efektif;
Kelima, bahwa penegakkan nilai-nilai kebenaran perlu dilakukan secara bertahap. Inilah hikmah-kebijaksanaan. Maka kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan adalah sebuah sistem kenegaraan yang tegak di atas lima pilar :
1. Komitmen terhadap prinsip-prinsip kebenaran hakiki 2. Ramah terhadap fitrah-fitrah kemanusiaan 3. Adaptif terhadap pertimbangan ruang dan waktu 4. Senantiasa mengacu kepada efektivtas metode dan pendekatan 5. Implementasi nilai-nilai kebenaran hakiki secara sistematis dan bertahap.
Maka, ketika hikmah-kebijaksanaan berdaulat, ia akan sangat mempertimbangkan suara realitas, termasuk suara mayoritas, namun tak akan mengalah dan menyerah terhadapnya. Di sisi lain, ketika hikmah-kebijaksanaan berdaulat, maka kebenaran menjadi sesuatu yang diperjuangkan dan ditegakkan, namun tak dipaksakan.
Alhasil, bagi seorang Muslim, hikmah-kebijaksanaan adalah fiqh : kebenaran syari’ah yang ditegakkan atas pertimbangan kondisi, situasi, budaya, manusia dan peristiwa. Hikmah-kebijaksanaan adalah kebaikan, yaitu ketika kebenaran dan kemaslahatan bertemu.
Hikmah-kebijaksanaan adalah kearifan : berpadunya kemanusiaan dan keimanan, lalu menjadi rahmat. Dengan demikian, daulat hikmah-kebijaksanaan bukanlah daulat rakyat, karena rakyat hanyalah setengah dari sumber kedaulatannya.
Sophocracy adalah semacam daulat kebenaran yang melekat pada realitas kemanusiaan dan kerakyatan. Sophocracy lebih mirip sistem yang ditegakkan oleh para khulafa’ur rasyidin, ketimbang gagasan kekhilafahan yang diteriak-teriakkan oleh kelompok tertentu, di mana syari’ah seakan menjadi kebenaran absolut yang akan menteror rakyat secara tanpa ampun.
Memang sophocracy bukanlah antitesa atas demokrasi, tapi sophocracy juga bukan demokrasi plus-plus. Karena pada sophocracy hikmah-kebijaksanaan bukan mitra rakyat, tapi pemimpin rakyat, sebagaimana yang dengan indah dirumuskan pada Sila Keempat dari Pancasila.
*) Penulis, anggota Dewan Pakar Salman ITB