(Foto: Tristia R.)
Kematangan mental untuk menjalani kehidupan rumah tangga memang wajib diperhatikan. Namun menurutnya, jika sudah terlintas pikiran untuk menikah sementara kondisi materi sang calon pengantin belum memungkinkan, hingga menimbulkan pikiran yang menghalangi niatan tersebut, maka menikahlah.
“Fatawakaltu Alallah,” saran Ustadz Aceng Saefudin, dari Bidang Dakwah (BD) Salman ITB. “Jika ketakutan menghalangi niatan seseorang untuk menikah, maka menikahlah. Selanjutnya berserah kepada Allah sembari tetap berikhtiar.”
Bagi Aceng, hasrat yang memuncak di kalangan remaja bisa menjadi sebuah ancaman yang besar. kendati si anak dinilai belum mampu oleh orang tua, namun telah mengutarakan keinginannya, maka selaku orang tua, sudah berkewajiban untuk menikahkan.
“Nikahkan saja. Yang terpenting anak selamat keturunan secara agama” Tutupnya.
Namun, bukan berarti Aceng meremehkan pentingnya kesiapan mental. Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum menggelar ijab qabul atau ikrar sumpah setia sehidup semati ini.
Kesiapan mental seorang calon pengantin harus diperhatikan. Dalam kompilasi hukum islam, tingkat kesiapan mental perempuan pada usia 19 tahun serta laki-laki 12 tahun, dan dari sudut psikologi itu adalah batas remaja menuju dewasa.
Ia menambahkan, ada beberapa sudut pandang yang menyatakan bahwa ukuran kedewasaan tidak dapat diukur menggunakan usia. Ketika seseorang sudah merasakan syahwat yang begitu kuat, maka sudah dianjurkan baginya untuk segera menikah.
Ustad Aceng memaparkan, “Ada ayat Al-quran yang berbunyi Litaskunu Ilaiha,” . Litaskunu Ilaiha, supaya tenang dan tenteram, taskunu yang berasal dari kata taskana yang berarti miskin. Miskin disini bukan melulu mengenai harta, semisal ada seorang wanita yang ketika belum menikah memiliki ruang gerak yang lebih luas, kini mulai dibatasi oleh tanggungjawab dan perannya sebagai seorang istri.
“Untuk itu,” tambahnya, “Perlu kesiapan yang benar-benar matang secara lahiriah maupun batiniah.”
