Masjid Salman ITB merupakan masjid jami’ dengan ratusan jama’ah setiap harinya. Maka keterbatasan air atau pembengkakan biaya sanitasi lumrah terjadi. Idealnya, air limbah dari jamban didaur ulang agar bisa digunakan kembali.
Pada tahun 2000-an awal, pernah ada sistem daur ulang air untuk dialirkan kembali menjadi air wudu di Salman. Namun proyek tersebut sulit diterima jemaah dan akhirnya terbengkalai.
“Ini psikologis. Komunikasi antara teknologi dan manusia memerlukan tingkat keyakinan,” kata Dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Dr. Agung Wiyono, Senin (24/11). Lebih lanjut ia menyatakan, bila ingin menggunakan kembali teknologi water recycling, maka harus menggunakan teknologi yang handal dan terbukti secara luas. Namun, teknologi macam itu membutuhkan dana yang cukup besar. Untuk sementara, Salman bisa saja menampung air hujan misalnya digunakan untuk mencuci mobil atau flush toilet.
“Misalnya air tampungan hujan yang ditalang dikumpulkan jadi satu, dimasukkan ke toren atau dipakai langsung juga bisa. Itu cara yang paling sederhana,” papar Kepala Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Asrama ITB tersebut.
Jemaah Salman memberikan tanggapan berbeda terhadap penyedian fasilitas jamban Masjid Salman ITB. Shomiyatul (23), alumni Universitas Jenderal Ahmad Yani menilai, toilet Salman sudah cukup nyaman dan bersih, sehingga ia tak merasa risih untuk menggunakan fasilitas yang disediakan Salman. “Toilet di Salman cukup nyaman, hanya saja sering becek, kaki kita jadi agak susah dikeringkan,” katanya.
Berbeda dengan Tezar (24), aktivis Salman yang konsen di bidang pembinaan anak ini menilai, ukuran toilet di Salman terlalu besar. Baginya, ukuran toilet yang lebih diperkecil bisa menambah space ruangan untuk menambah jumlah toilet. “Kalau sedang kebelet, kadang antrean suka panjang. padahal kalo jumlah toilet diperbanyak, dengan ukuran yang diperkecil, itu bisa lebih efektif,” ujarnya. [Nadhira | Anan]