
Pidi Baiq, pelempar lelucon asal namun bermakna dalam (Foto: Tristia R.)
Aula Paving block Masjid Salman ITB yang biasanya terlihat sepi, sore itu terlihat begitu ramai. Hujan deras yang mengguyur sejak siang hari tak menyurutkan semangat orang-orang untuk datang pada acara Salman Friday Inspiring Sharing (Fresh), Jumat (2/3).
Seorang pemateri yang dihadirkan pada acara tersebut bukan orang biasa. Dialah Pidi Baiq. Imam Besar The Panasdalam tersebut telah mencuri perhatian banyak orang.
“Biasa weh hidup mah, mau ke mana sih? Ujung-ujungnya pasti ke kamar …” kalimat tersebut diucapkan oleh seorang Pidi Baiq yang juga tercatat sebagai alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) di awal diskusi.
Sekilas, kalimat yang disampaikan oleh mantan kakak Pembina Anak Salman (PAS) ITB tersebut seperti tak memiliki makna yang dalam. Tetapi, jika direnungi lebih dalam, lelucon tersebut mengandung sebuah kritik sosial. Tentu saja sebuah kritikan yang ia sampaikan melalui candaan-candaan yang menghibur sekaligus mencerahkan.
Pidi Baiq melalui kalimat tersebut seolah mengajak orang-orang yang hadir dalam acara tersebut untuk merenungi sebuah keadaan. Bahwa sekeras apa pun manusia untuk menggapai duniawi, sekaya apa pun seseorang, pada akhirnya akan kembali dan masuk sebuah kamar kecil berukuran 2×1 meter. Maksud lelaki yang biasa dipanggil surayah itu, makna kamar disini diibaratkan sebuah kuburan.
Sementara hujan turun semakin deras, obrolan-obrolan hangat yang terjadi seketika mengusir suntuk sekitar 50 orang yang hadir. Di atas bangku kayu persegi panjang yang disediakan oleh panitia, mereka tampak antusias menyimak kalimat-kalimat lain yang akan keluar dari mulut sang pembicara. Sesekali gelak tawa membahana. Menghangatkan suasana di sore hari yang dingin oleh guyuran hujan.
“Aku adalah imigran dari syurga yang diselundupkan oleh bapakku di kamar pengantin. Aku tak memiliki kewarganegaraan. Cintaku luas tak terbatas teritorial …” gelak tawa para peserta mendengar lelucon tersebut keras terdengar.
Sekilas, mungkin banyak orang yang menilai bahasa Pidi Baiq terlampau vulgar. Tapi sebenarnya, ia ingin menyampaikan sebuah pesan melalui lelucon-leluconnya. Bahwa cinta terhadap sesama harus ditumbuhkan. Tak terbatas oleh wilayah teritorial. Pidi seolah ingin mengajak pserta yang hadir untuk bisa mencintai sesama manusia. Tanpa sekat apa pun.
Obrolan-obrolan santai namun hangat semakin sering terjadi. Sesuai dengan tema acara tersebut, di pembicaraan-pembicaraan selanjutnya ia banyak berbicara soal negara Indonesia. Tak hanya soal cinta kasih antar sesama, tetapi untuk urusan politik sekali pun. Pidi yang terlihat santai duduk manis dengan celana jeans belel yang melekat di tubuhnya plus topi yang selalu ia kenakan berkata,”Rakyat adalah mulut yang menjadi bisu karena suaranya diambil saat pemilu…”
Untuk persoalan renovasi toilet DPR yang menyedot anggaran negara hingga milyaran rupiah, ia mengatakan, “Toilet itu memang seharusnya mewah. Kalau bisa toiletnya tingkat dua! Kan itu tujuannya mereka (para anggota DPR) dipilih, untuk mendapatkan kemewahan bukan?” tentu saja sebuah lelucon yang sebenarnya begitu menyindir para pejabat negara yang duduk di Senayan.
“Seharusnya warga demonstrasi, naikkan harga BBM!” para peserta tertawa terbahak-bahak. Tawa peserta beradu dengan gemuruh hujan yang deras. Ia kemudian menambahkan,”Biar para pejabat kebingungan, hingga akhirnya BBM tak jadi ditaikkan.” Tawa peserta makin menjadi.
Begitu pun untuk soal kekalahan Timnas Indonesia yang kalah telak dari Bahrain hingga skor 10-0. Pidi mengatakan, “Seharusnya bisa kalah sampai 20-0! Biar PSSI mikir. Belum apa-apa para pemainnya sudah jadi artis. Biarlah kalah telak, biar para pemainnya juga bisa mikir …”
Matikan Televisi
“Matikan Televisimu. Kita sedang diserang oleh budaya Jakarta! Tayangan Televisi itu kan budaya orang-orang Jakarta…” celetuk Pidi.
Dampak televisi juga jadi perhatian seorang Pidi Baiq. Ia menanggapi demam yang Korea sedang menyerang remaja Indonesia. Trend busana hingga gaya lainnya juga ikut meniru artis-artis korea. Tak hanya soal demam Korea, tayangan televisi yang menampilkan hal-hal yang kurang mendidik juga jadi masalah yang sangat serius.
Lebih lanjut, Pidi mengatakan, “Aku takut anak-anakku mindset-nya diatur oleh budaya Jakarta!” kalimatnya tersebut mencerminkan keprihatinannya mengenai tayangan-tayangan televisi yang semakin banyak yang tidak berkualitas.
Jika Pidi Baiq Jadi Presiden
Moderator acara tersebut bertanya,”Bagaimana jika Pidi Baiq jadi presiden?”
Dengan santai ia menjawab, “Jika aku jadi presiden aku tak mau punya rumah. Biar semua rakyat berbondong-bondong menawarkan diri dan memintanya untuk tinggal di rumahnya.” Sesuatu hal yang tentu saja tak mungkin dilakukan oleh pemimpin kita dewasa ini.
Pidi melalui anekdotnya, ingin menyadarkan banyak orang untuk bersikap lebih sederhana dalam memandang kehidupan. Seperti yang selalu ia katakan,”Ujung-ujungnya pasti ke kamar …”[ed: Tr]
Semua Urusan Berakhir di Kamar… from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami