
Aan Ansori, meski seratus persen asli Sunda, orang-orang lebih mengenalnya dengan sapaan Mas An. (Foto: Fery AP)
Ibu Negara marah besar.
Demikian Aan Ansori menggambarkan kemurkaan sang istri. Marahnya sang istri cukup beralasan. Pria penduduk Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka ini lebih memilih menggeluti seni dibandingkan mencari pekerjaan tetap untuk menafkahi keluarganya.
“Dahulu, di Jatiwangi sering ada pertunjukan musik etnik yang partisipannya bule-bule. Saya jadi kian tertarik,” papar pria yang akrab disapa Mas An ini.
Setelah Aan telusuri, penyelenggara pertunjukan-pertunjukan musik ini berasal dari sebuah bengkel seni di Jatiwangi. Bengkel seni ini bernama Jatiwangi Art Factory atau lazim disingkat JAF.
“Dua tahun setelah JAF didirikan pada tahun 2005, saya bergabung bersama JAF pada tahun 2007,” ujar Aan.
Aan mengaku bukan orang seni. Ia tidak bisa bermusik, menggambar, melukis, ataupun bersastra ria. Namun, minatnya di bidang fotografi dan videografi membuahkan sejumlah karya yang tak kalah ciamik dengan foto maupun video buatan orang asing. Bagi Aan, ini merupakan sebuah investasi.
“Orang-orang kini kian lama kian ingin instan dalam mendapatkan duit. Ketika selesai kerja, ia menuntut harus dapat duit. Sedangkan investasi yang saya lakukan, manisnya baru bisa dirasakan beberapa lama kemudian.”
Kini, setelah genap empat tahun berkegiatan di JAF, Ibu Negara tidak murka lagi. Segenap keluarga akhirnya mafhum. Bahwa investasi dalam bidang yang cocok di hati dapat menghasilkan kepuasan tersendiri.
***
Didirikannya JAF bermula dari pembacaan salah seorang tokoh Jatiwangi, Ginggi Syarif Hasyim terhadap fenomena produk khas daerah.
Apalah kabar Keripik Maicih tanpa Bandung? Bagaimana pula nasib kaus Joger jika ia tak bertaut dengan Bali? Teguhkah keberadaan mereka, tanpa menyertakan embel-embel kota dalam produk mereka?
Faktanya, beberapa produk tenar asli nusantara memiliki keterkaitan erat dengan daerah “kelahirannya”. Selain Bandung dan Bali, tengok industri Dagadu yang menghubungkan diri dengan Yogyakarta. Atau kreasi kuliner Chocodot dari Garut yang kini sedang naik daun.
Cermat mengamati fenomena tersebut, Ginggi yakin benar akan sesuatu. Daya bantu branding daerah-daerah terhadap pelbagai usaha kreatif tidak dihasilkan dalam waktu sekejap. Butuh proses yang panjang bagi sebuah daerah untuk dapat menjadi sandaran branding bagi usaha-usaha kreatif.
“Hal tersebut tercipta karena warganya bangga terhadap daerahnya sendiri,” simpul pria yang pernah menjadi siswa SMA di Bandung ini.

Isi televisi tak ubahnya sampah. Hal tersebut yang coba diungkap dalam salah satu karya seni kontemporer di JAF ini. (Foto: Fery AP)
Ginggi ingin Jatiwangi, daerah tempat ia tumbuh dan berkembang, dibanggai oleh teman-teman sekampungnya. Ia ingin Jatiwangi menjadi tempat berkegiatan menyenangkan sebagai pelipur lara para warga. Oleh karena itu, Ginggi bersama rekan-rekannya kemudian merintis Jatiwangi Art Factory.
“Mengapa namanya Jatiwangi Art Factory? Ah, itu mah kitanya aja yang sok iyey. Siga nu heeuh,” ucap Ginggi cuek.
Semula, bengkel tempat Jatiwangi Art Factory (disingkat JAF) berkegiatan merupakan tempat botram (makan bersama sembari ngerumpi). Para duda-duda Arab, begitu Ginggi menyebut pria yang ditinggal istri lantaran jadi TKW, dahulu memiliki kecenderungan untuk menyeleweng.
Oleh karenanya, Ginggi beserta kawan-kawan sekampungnya berinisiatif untuk memberikan wadah kreasi bagi mereka si duda-duda Arab ini. Dari tempat botram, bengkel yang beralamat di Jalan Makmur 604, Jatisura ini bertransformasi menjasi sebuah “pabrik seni”.
JAF secara sinambung rajin mengadakan berbagai event kesenian dari berbagai disiplin. Mulai dari workshop memasak, belajar keramik, pembuatan film, pertunjukan musisi balada, bioskop keliling, hingga pameran seni.
“JAF mendorong warga untuk menjadi penonton. Kami undang warga desa untuk menonton pertunjukan musik lah, atau bahkan performance art yang bahkan mereka pun nggak ngerti,” celetuk pria beranak empat ini.
JAF pun mempersilakan para seniman untuk bermukim selama dua minggu di tempatnya. Biasanya, seniman yang bermukim di bengkelnya menghasilkan sebuah karya yang dipersembahkan bagi penduduk Jatiwangi. Program ini JAF namai “Residensi”.
Residensi paling anyar menghadirkan pasangan suami istri seniman, Irwan Ahmett dan Tita Salina, Bianca Benenti dari Spanyol, Julian Weber dari Jerman, dan Makiko Watanabe dari Jepang. Mereka kemudian mengadakan pameran bertajuk “After The Rain”.
Para seniman lintas negara ini melakukan pemetaan, riset, observasi dan membuat karya yang biasanya melibatkan warga Jatiwangi dan sekitarnya. Workshop dan presentasi juga diadakan pada akhir residensi.
Ginggi dahulu merupakan pemilik pabrik genteng berjuluk PT Asri. Namun, usahanya tersebut terpaksa gulung tikar. Krisis moneter yang menimpa Indonesia pada penghujung dekade 90-an membuat sekitar 95% industri genteng Jatiwangi bangkrut.
“Dulu kehidupan saya berkutat pada urusan genteng dan genteng. Apa-apa ngomongin genteng. Dari industri genteng, saya memang sampai bisa beli mobil,” jelas Ginggi.
Namun, runtuhnya usaha genteng milik Ginggi menampar keras kesadarannya. Bahwa hidup tidak melulu soal genteng. Ginggi kemudian berkelana kesana-kemari untuk belajar bagaimana industri genteng tidak hanya berdaya pakai saja. Ginggi ingin agar genteng memiliki nilai apresiasi yang tinggi.
“Ketika saya berkunjung ke Yogyakarta, genteng-genteng di sana dimodifikasi agar menjadi assesoris menarik,” tuturnya.
Dari hasil kelananya tersebut, Ginggi pun menciptakan berbagai varian keramik yang berdaya pikat unik. Di JAF, dipamerkan berbagai variasi keramik dari genteng yang ia buat bersama teman-temannya.
Mengenai pilihan hidup sebagai seorang seniman, tentu kekurangan dana merupakan suatu ketakutan tersendiri. Namun, bagi Ginggi, kebahagiaan itu dapat diciptakan dari manajemen perasaan kita sendiri.
“Kalau kita yakin dan suka dengan pilihan hidup kita, pasti segala kesulitan tidak akan terasa. Coba lihat Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, dan Abu Bakar… Apa mereka kaya? Tentu. Tetapi bukankah pakaian mereka apa adanya? Bahkan tak jarang mereka menahan lapar karena pengabdian mereka… Apakah mereka mengeluh? Tidak bukan?” Ginggi menyimpulkan.
Onak dan duri yang menyesak di kala laju derap perjuangan, bukankah kerap kali menyimpulkan kisah manisnya di akhir cerita?***
Pabrik Seni “Sok Iyey” Asli Jatiwangi from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami