Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Sona Febrina, Diupah Mengajar Cukup dengan Senyuman

$
0
0

Sona Febrina

Ssejak 2008 hingga sekarang, Sona Febrina memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Betapa tidak, dari sebuah gubuk reyot dan sederhana — dengan dipenuhi buku-buku bacaan — ia mengajar anak-anak di kampung halamannya secara tulus lagiikhlas.

Gubuk reyot itu disulap menjadi perpustakaan bernama “Kampung Belajar” sejak September 2008, saat dirinya sedang berada di kelas 3 SMA. Kebetulan Sona adalah relawan “Kampung Belajar”. Kehadiran perpustakaan “Kampung Belajar” di daerahnya merupakan inisiatif dari Tepas Institute, yang diketuai H. Roni Tabroni. Fungsi Tepas Institute adalah untuk memberikan layanan pendidikan gratis pada masyarakat pelosok.

 

 

Gadis kelahiran Bandung Barat, 26 Februari 1991 ini merupakan kader awal relawan yang bersedia memajukan anak-anak di kampungnya. Ia tidak meminta bayaran sepeser pun. “Dorongan hati” yang muncul dari kedalaman hatinya, merupakan pemicu ia menerima kang Roni — Koordinator Kampung Belajar — ketika meminta ia “mengajar”.

“Banyak orang-orang yang mengispirasi saya, apa yang saya lakukan belum berarti apa-apa selain itu anak-anak ini banyak memberikan pengalaman luar biasa pada saya. Mengajar di kampung belajar bukan merupakan suatu beban bagi saya. Kampung belajar sudah menjadi bagian dari hidup saya..” ujar Sona ketika diwawancarai melalui facebook.

Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi Sona Febrina ketika mengajar di “Kampung Belajar”. Ada anak-anak yang putus sekolah karena teganjal biaya dan untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, seiring perjalanan waktu, perpustakaan “Kampung Belajar” pun kian ramai dikunjungi anak-anak untuk sekadar membaca, mengikuti kegiatan-kegiatan mendongeng, dan kegiatan edukasi lainnya.

Ia pun mengaku, kehadirannya bagi anak-anak yang berkegiatan di “Kampung Belajar” kerap dinantikan. Ini dikarenakan oleh ketiadaan relawan yang fulltime dapat mengajari bagaimana mereka harus mencintai buku.

“Semangat anak-anak sangat tinggi terlihat pada saat hujan datang. Mereka datang ke perpustakaan dengan jas hujan berwarna-warni. Malah terkadang saya merasa bersalah jika kebetulan tidak dapat hadir menemani belajar mereka di Kampung Belajar. Padahal mereka sangat menantikan saya untuk belajar bersama mereka,” katanya.

Sona terdaftar menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian UNPAD, Bandung. Setelah dirinya menjadi seorang mahasiswa, secara otomatis terdapat kesibukan-kesibukan yang dijalaninya di organisasi kampus. Namun, sepadat apa pun kegiatan di kampus tak menghalanginya untuk terus mengajar.

“Alhamdulillah, Allah memberikan jalan untuk saya hingga dapat menemani anak-anak belajar. Kebetulan saya kuliah pada hari Senin hingga Kamis, terkadang Jumat pagi; sedangkan anak-anak belajar pada hari Jumat sore, Sabtu sore, dan Minggu pagi,” paparnya

Jadwal ini membuat waktunya tidak bentrok dan Sona pun bisa menemani mereka. Jika pun memang bentrok waktunya, Sona mencoba memilih dahulu mana yang harus diprioritaskan. Apabila kegiatan di kampus benar-benar tidak dapat ditinggalkan, Sona menitipkan anak-anak pada mama.

Anak-anak “Kampung Belajar” dalam kehidupan Sona Febrina telah menjadi sebuah kesatuan keluarga. Kesedihan mereka adalah kesedihannya juga. Penderitaan mereka adalah penderitaannya juga. Kadang, dirinya merasa bahwa anak-anak telah ditelantarkan oleh pemerintahan.Padahal dalam Islam, dijelaskan bahwa keadilan merupakan sistem muamalah yang diprioritaskan dalam kehidupan. Sona berharap, dengan mengajar di “Kampung Belajar” dapat menjadi wakaf ilmu yang berharga untuk kehidupannya kelak.

“Banyak sekali hal yang menjadi motivasi saya, terutama keluarga saya. Anak-anak senatiasa memberikan saya pengalaman baru. Mereka membuat saya lebih peka,  padahal pada awalnya saya adalah tipikal orang yang suka membuat “nangis” anak kecil. Setiap pertemuan dengan mereka adalah anugrah.” ujarnya.

Sebagai wujud pengabdian pada Tuhan, Sona tak pernah mengharapkan balasan berupa materi dari siapa pun. Rekahan senyum yang mengembang pada wajah anak-anak di kampungnya itu, bagi Sona merupakan bayaran yang paling berharga. Ketika ada beberapa anak didiknya yang berterimakasih padanya karena rangking mereka naik, ia mengaku kaget, bingung, tersanjung, dan terharu.

“Mereka bilang gara-gara saya mereka jadi suka membaca, padahal saya hanya seongok daging yang diam menemani mereka bermain dan belajar di “Kampung Belajar”. Hal sederhana (ucapan terima kasih dan senyuman.red) tersebut ialah bayaran mahal yang tidak dapat semua orang rasakan.”

“Jadi siapa bilang saya tidak dibayar? Karena bayaran untuk saya adalah kepuasan melihat senyuman mereka di depan saya untuk kepentingan masa depan mereka.” pungkasnya.

Keikhlasan dan ketulusan Sona Febrina sejatinya menjadi pelajaran bagi Anda; betapa berbagi ilmu dengan yang membutuhkan merupakan panggilan suci dari-Nya. Tertarik menjadi Sona Febrina-Sona Febrina yang baru? Silakan Anda membangun pendidikan-pendidikan alternatif bagi rakyat. [ed:Tr]

Sona Febrina, Diupah Mengajar Cukup dengan Senyuman from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Latest Images

Trending Articles