
(Foto: sosok.kompasiana.com)
Apa yang terkesiap di benak Anda tatkala mendengar kata “wacana”?
Mungkin Anda kemudian akan menerjemahkan wacana sebagai rencana belaka. Mungkin kita acap kali berkata pada seorang teman, “Ah, kamu bisanya cuma berwacana doang,” ketika sang teman tidak mempraktekkan rencananya. Atau, ketika kita mendengar BBM akan dinaikkan pada 1 April mendatang, kita pikir itu adalah sebuah wacana.
Benarkah wacana hanya sebatas rencana? Bolehlah common sense bilang begitu. Namun, pluralisme makna dari berbagai aspek nyatanya merundungi si kata “wacana” itu sendiri.
Wacana atau discourse berasal dari bahasa Yunani yang memiliki terjemahan bebas “berlari ke/dari”. Dalam konteks teologi, wacana bermakna sabda-sabda Tuhan yang disampaikan pemuka agama. Dalam budaya Sunda, terdapat istilah “wawacan” sebagai teks-teks lagu-lagu Sunda. Wacana, secara luas, lebih bersifat tekstual.
Mengacu dari sudut pandang ilmu linguistik, wacana didefinisikan sebagai satuan bahasa yang lengkap sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Unsur-unsur yang membangun wacana antara lain konsep dan gagasan, punya persyaratan gramatikal, serta kohesif atau serasi.
Konsep dan gagasan boleh muluk, namun persyaratan gramatikal harus dipenuhi. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi jika dalam wacana sudah terbina kekohesifan. Kekohesifan merupakan keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
Pendekatan wacana dalam konteks linguistik dapat bermula pada suatu periode di Inggris. Ini ketika warga Inggris mulai menggandrungi karya sastra pada sekitar abad 19. Ternyata, fiksi yang dikonsumsi warga Inggris dapat mempengaruhi kerangka berpikir mereka. Lebih jauh lagi, gaya hidup. Contoh lain dapat Anda pelajari ketika menganalisis foto Soekarno dari masa ke masa. Apa maksud media massa zaman Orde Lama menampilkan foto Soekarno yang memakai peci dan kacamata hitam?
Dalam konteks cultural studies, wacana adalah “a language of system of representation that has developed socially in order to make and circulate a coherent set of meanings about an important topic area.” (Fiske, 1987). (“Bahasa dari sistem representasi yang digunakan untuk membuat seperangkat makna yang koheren (serasi) mengenai area topik yang penting.”) Dengan kata lain, untuk menyatakan suatu area topik secara utuh, dibutuhkan simbol “perwakilan” yang dapat mudah dikenali.
Contohnya, ibu yang tersenyum dalam sebuah foto keluarga adalah pertanda kebahagiaan dalam keluarga tersebut– tidak peduli sang Bapak maupun anak tersenyum pula atau tidak. Ibu yang tersenyum merupakan “sistem representasi koheren” yang menggambarkan area topik “keluarga yang bahagia”. Sistem representasi “ibu tersenyum” ini kerap kali digunakan dalam iklan-iklan yang berkaitan dengan kerumahtanggan, semisal deterjen dan bumbu masak. Jika sistem representasi diubah, konsekuensinya adalah berubahnya pula seperangkat makna dari area topik tersebut.
Michel Foucault, pemikir asal Prancis memiliki pengertian tersendiri mengenai wacana. Menurutnya, wacana adalah “something constituted by a group of sequences of signs, in so far as they are statements, that is, in so far as they can be assigned particular modalities of existence.” (“Sesuatu yang dikonstitusi oleh keberlangsungan tanda-tanda yang sinambung, sejauh mereka adalah sejumlah pernyataan, dimana mereka dapat ditetapkan sebagai cara sebuah keberadaan dicanangkan.”) Foucault melihat wacana adalah sebuah tanda-tanda yang berkelanjutan. Ia memandang wacana dari aspek kesejarahan.
Thomas Habermas, pada tahun 1977 mengatakan “Language is also a medium domination and social force. It serves to legitimize relations of organized power… language is also ideological.” (Bahasa juga merupakan alat untuk mendominasi dan kekuatan sosial. Bahasa berguna untuk mengesahkan kekuatan yang terorganisir.. bahasa juga sarat akan kepentingan ideologi.)
Ideologi dapat dikatakan sebagai sistem kepentingan atau agenda. Kepentingan ini mendominasi tidak secara tegas dan utuh. Hal ini dikarenakan jika kepentingan ini dibahas seutuh-utuhnya, tentu akan memakan banyak waktu. Contoh bagaimana sebuah wacana digunakan sebagai bahasa ideologis adalah ketika pengumuman kenaikan BBM pada zaman Soeharto. Kenaikan BBM pada zaman tersebut mayoritas diumumkan pada hari Sabtu, dimana pelajar dan karyawan sedang libur. Demonstrasi pun bisa terhindarkan. Pada keesokan Senin dimana mereka kembali pada rutinitas pun, mereka sudah terlampau lupa terhadap kemarahan mereka mendengar kenaikan BBM pada Sabtu kemarin.
Contoh bahasa lain yang menegaskan sistem strata adalah susunan ruang perkuliahan antara dosen dan mahasiswa. Bagaimana kursi-kursi di susun, pengaturan posisi sang dosen yang mengajar dan sekelompok mahasiswa yang mendengarkan, serta media materi yang akan disampaikan adalah sebuah sistem bahasa. Misal saja, posisi dosen yang mengajar di depan menandakan kedudukan ilmunya yang jauh lebih mumpuni dibanding mahasiswa
Dalam mempelajari ilmu sosial, sudah selayaknya akademisi sadar jikalau setiap orang memiliki kepentingan. Itulah yang dinamakan sebagai sikap humanis– ialah mengakui bahwa setiap orang memiliki kepentingan. Namun seringnya, orang lain diperlakukan sebagai objek kepentingan kita. Saling jujur kepada sesama bahwa kita memiliki suatu kepentingan tersebut mungkin bisa membantu. Kejujuran ini berpotensi agar paradigma yang mengalamatkan orang lain adalah objek dapat terkikis. Kita dituntut untuk mengakui bahwa teman kita pun tentu punya kepentingan.
Terdapat anggapan, semakin dalam mempelajari ilmu sosial, semakin mafhum bagi kita untuk tahu bahwa kita tidak dapat berbuat apa-apa. Namun, dalam salah satu tulisannya, van Dijk berkata, “Beyond description or superficial application, critical science in each domain asks further questions, such as those of responsibility, interests, and ideology. Instead of focusing on purely academic or theoretical problems, it starts from prevailing social problems, and thereby chooses the perspective of those who suffer most, and critically analyses those in power, those who are responsible, and those who have the means and the opportunity to solve such problems. “
(“Di balik deskripsi dari aplikasi yang dangkal, sains kritis dalam tiap disiplin mempertanyakan beberapa topik seperti tanggung jawab, minat-minat, dan ideologi. Daripada terlalu berfokus pada proses akademik yang murni atau masalah-masalah teoritis, alangkah lebih baik jika ilmu sosial diberlakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dengan memihak pada yang paling menderita, serta secara kritis menganalisis siapa yang bertanggung jawab atas masalah tersebut dan siapa yang berpeluang untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang sedang mendera.”)***
*Disarikan dari kuliah Studia Humanika Critical Discourse Analysis Pertemuan 1: Bahasa dan praktik sosial dan Perkembangan CDA/S yang diadakan pada Jumat, 16 Maret 2012 di GSS Masjid Salman ITB.
Pemateri dalam kuliah ini adalah S. Kunto Adi Wibowo, M.Comm. (Dosen FIKOM UNPAD)
Studia Humanika: Wacana Tak Sekedar Rencana* from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami