Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Peduli ODHA: Belajar Empati Tanpa Mencaci

$
0
0
(Ilustrasi: healthlogics.com)

(Ilustrasi: healthlogics.com)

Dia suka melamun, pendiam. Dia tidak terlihat berduka, tapi juga tidak mengatakan apa pun. Dia tidak memperbolehkan petugas medis memberi tahu keluarganya. Dia bilang, mereka tidak akan peduli. Dia sendiri yang akan mengumumkan pada teman-temannya ketika ia sudah siap. Baginya, teman-temannya akan menerima kenyataan ini lebih baik dibanding keluarganya sendiri.

Laki-laki berkebangsaan Malaysia itu gay. Tiga tahun sudah ia hidup bersama sang partner, membuat hubungannya dengan keluarga semakin berjarak. Selama dirawat di Alexandra Hospital Singapura tahun 2013 lalu itu pun, hanya teman-temannya yang datang berkunjung. Keluarga lelaki itu tidak tahu-menahu bahwa ia sudah terdiagnosa virus HIV.

Kecurigaan bahwa dirinya terinfeksi HIV muncul kala demam yang ia alami tak kunjung turun. Setelah diagnosis resmi keluar, ia pun dirawat dalam sebuah ruangan isolasi. “ Saya harap saya bisa tinggal di ruangan itu untuk berbincang dengannya lebih lama,” kisah Enrolled Nurse di Singapore General Hospital, Nurzarifah Binte Mohamed Noor lewat pesan elektronik Ahad (29/11) lalu.

Nurzarifah mengaku sedih setiap merawat pasien tersebut. Laki-laki itu sering menyendiri dan terlihat kesepian. Setiap petugas yang masuk untuk memeriksa parameter dan menyediakan makanan memang selalu mengajaknya berbincang. Namun laki-laki itu lebih banyak diam. Nurzarifah pun bertekad untuk memberinya perhatian sebaik yang ia bisa.

Mengerikan, memang, menerima kabar bahwa diri ini terinfeksi virus berbahaya. Bahwa virus ini sulit disembuhkan, dan bahwa masih banyak stigma yang beredar. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tak hanya harus bertarung dengan dirinya sendiri; tapi juga mesti menghadapi pandangan sinis orang-orang yang belum mengerti.

Secara statistik, virus HIV jelas lebih banyak datang kepada orang-orang yang menganut gaya hidup bebas. Namun masih banyak yang belum tahu, banyak pula ODHA yang terjangkit HIV akibat sebab-sebab lain.

Stigma masyarakat akan ODHA memang tida bisa dipungkiri. Stigma ini muncul akibat ketidaktahuan masyarakat akan seluk-beluk virus HIV. Inilah yang mendorong para mantan pecandu narkoba dan ODHA di Bandung untuk mendirikan Rumah Cemara. Salah satu programnya, pertandingan sepak bola jalanan (stress soccer) dilakukan demi menepis stigma tersebut.

Secara rutin tim sepakbola Rumah Cemara akan mengajak tim jalanan dan masyarakat untuk bertanding tanpa menjelaskan status hidup mereka dengan HIV/AIDS. Setelah bertanding, tim tersebut akan diundang untuk makan bersama sambil menonton video. Di dalam video itu, ditampilkan pula testimoni pemain yang mengakui statusnya sebagai ODHA.

Menurut Humas Rumah Cemara Karmala Wardhani, reaksi yang diterima berbeda-beda. Ada yang menanggapi positif, ada pula yang tidak. “Sebenarnya nggak open langsung ngomongnya, tapi dari body language-nya mereka kelihatan masih ragu,ujarnya, Selasa (30/11).

Meski demikian, tim sepakbola Rumah Cemara terus mencetak prestasi. Di tengah kisruh persepakbolaan nasional, namanya dikenal dunia internasional, terutama setelah diamanahi menjadi organizer Indonesia dalam Homeless World Cup (HWC). KWC sendiri adalah turnamen sepak bola yang diikuti berbagai Negara dengan pemain dari kaum termarjinalkan, seperti ODHA dan tunawisma. Tak heran, tim Rumah Cemara kerap membawa pulang berbagai prestasi. Misalnya menjadi juara di Amsterdam Cup 2015 beberapa waktu yang lalu.

Karmala mengaku, tidak ada yang mampu mengontrol pendapat orang lain akan ODHA. “Yang paling sederhana, kita harus bisa mengontrol diri kita sendiri dulu,” tuturnya. Baginya dan pengurus Rumah Cemara yang lain, menjadikan ODHA sebagai sosok-sosok heroik merupakan solusi. Masyarakat Indonesia notabene senang melihat sosok-sosok inspiratif.

Tim sepakbola Rumah Cemara menunjukkan bahwa terjangkit HIV/AIDS tak selalu berarti dunia telah runtuh. Di sisi lain, orang dengan HIV/AIDS pun tidak selamanya buruk. Alih-alih menghakimi tanpa tabayyun dan empati, mari rangkul saudara-saudara kita itu. Seperti lirik lagu lawas yang sempat populer di radio, “Letakkanlah tanganmu di atas bahuku. Biar terbagi beban itu, dan tegar dirimu.”***


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618