
Ustaz Maman (kanan) dan para pemeran teatrikal dari unit Aksara Salman ITB saat mengisi acara malam tafakkur budaya Sabtu (28/11) di selasar hijau Masjid Salman ITB. (foto : Bustomi)
Oleh : Mohammad Hasan
Musim berganti. Udara panas menyengat telah berlalu. Berganti udara sejuk nan basah. Sawah yang kering kerontang berganti hijau permai. Sungai pun beriak kecil dialiri air.
Sayangnya manusia terlalu serakah dan tamak. Ketika musim kering tiada air manusia mengeluh. Kekeringan melanda berbagai wilayah. Hujan pun datang membawa air. Tetapi banjir justru terjadi di sana-sini.
Itulah potret manusia yang kurang pandai mengelola alamnya. Manusia hanya hendak mengambil madunya saja tetapi tidak mau disengat lebahnya. Untuk menyadarkan manusia akan pentingnya menjaga lingkungan itulah, Masjid Salman ITB mengadakan Malam Tafakur Budaya di Selasar Hijau Masjid Salman ITB, Sabtu (28/11) yang lalu.
Unit Aksara Salman menampilkan teatrikal yang bertemakan lingkungan untuk memeriahkan acara tersebut. Teatrikal yang dikemas secara apik dan menyentuh ini digelar guna menggugah kesadaran hati para penonton untuk dapat bersama-sama merawat lingkungannya.
Cerita bermula ketika dalam beberapa bulan terakhir, desa tempat Kholis tinggal mengalami kekeringan. Hujan sudah lama tidak turun dari peraduannya. Sawah yang menghijau indah, mengering dan kuning sudah. Sungai yang awalnya jernih dan bersih menjadi kotor dan keruh.
Satu-satunya sumber kehidupan di desanya tinggal mata air yang berada di atas bukit. Mata air itu ditemukan Kholis dan Udin, adiknya, saat bermain-main di sana. Sejak saat itulah, warga desa melakukan semua aktivitasnya di dekat sumber mata air tersebut.
Waktu pun berlalu, mata air di atas bukit mulai mengecil dan surut. Banyak warga yang mulai terserang penyakit dan mual-mual. Kholis menduga hal itu disebabkan oleh mata air di atas bukit yang sudah tercemar dan kotor akibat berbagai aktivitas yang dilakukan warga desa di sana.
Di satu sisi, Bapak Kholis, yang menjabat sebagai kepala desa, justru berpikir picik dengan cara menimbun air bersih untuk kepentingannya sendiri. Pada akhirnya semua penduduk desa mati karena wabah penyakit yang tidak tertangani medis disebabkan kekurangan sarana air bersih.
Tidak mau kalah dengan teatrikal yang ditampilkan oleh unit Aksara Salman, K.H. Maman Abdurrahman juga ikut tampil. Ulama yang konsen terhadap pelestarian lingkungan tersebut menyampaikan orasi tentang lingkungan setelah penampilan aksi teatrikal Aksara.
“Orang-orang yang merusak lingkungan termasuk dalam kategori extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa,” ujar Maman.
Oleh karena itu, menurut Maman, orang yang merusak lingkungan harus dihukum berat. Sebagai contoh adalah pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan beberapa waktu yang lalu. Dalam peristiwa tersebut, bukan hanya hutan yang rusak, tetapi kehidupan binatang-binatang yang ada di dalam hutan juga ikut terganggu. Lebih parah lagi, orang-orang yang tidak terlibat dalam pembakaran hutan itu juga menjadi korban kabut asap selama berbulan-bulan.
Lebih jauh, Maman juga mengatakan bahwa perusak lingkungan bisa dikatakan sebagai “teroris.” Jika teroris yang normal hanya menyebabkan jatuhnya korban jiwa (manusia), maka terorisme lingkungan atau ecoterorisme tidak cukup meminta “tumbal” jiwa manusia tetapi juga tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu, hukuman bagi pelaku ecoterorisme harus lebih berat dari pada terorisme yang biasa.
Selanjutnya, Maman juga menyampaikan ada tiga gaya hidup yang merusak lingkungan. Pertama, gaya hidup berlebihan (israf). Dalam Alquran, Surah Al-A’raaf ayat 31 menyebutkan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Termasuk dalam gaya hidup yang berlebih-lebihan adalah membangun rumah-rumah yang megah diatas gunung. Padahal rumah tersebut jarang dipakai kecuali pada akhir pekan saja untuk berlibur dan bermain-main. Selain berlebihan, membangun rumah mewah di atas gunung juga melanggar aturan karena dapat merusak tanah dan lingkungan.
Gaya hidup yang merusak lingkungan selanjutnya adalah mubadzir atau boros. Orang yang bergaya hidup mubadzir ini di dalam Alquran disebut sebagai saudaranya setan. Padahal, pada ayat yang lain disebutkan setan adalah musuh yang nyata bagi manusia sehingga tidak seharusnya manusia bersaudara dengan setan.
Menyisakan makanan di piring juga termasuk dalam perbuatan mubadzir. Bahkan, menurut Maman, sebuah penelitian menyebutkan setiap mahasiswa rata-rata menyisakan 30 gram nasi di piring makannya. Hal ini sangat bertentangan dengan budaya di suatu daerah di Jepang yang mengharuskan setiap makanan yang sudah disajikan di piring makan untuk dihabiskan. Jika bersisa, maka mereka akan dihukum.
Hal terakhir adalah gaya hidup bermewah-mewahan. Alquran menyebutkan sikap bermewah-mewahan dapat menyebabkan manusia lupa sampai dia masuk ke dalam kuburnya. Hal ini menyiratkan bahwa hidup bermewah-mewahan tidaklah baik.
Sedangkan di Surah Al-Isra’ ayat 16 disebutkan hidup bermewah-mewahan dapat menjadi penyebab Allah menghancurkan sebuah negeri. Hal ini tidak lepas dari kelalaian yang ditimbulkan dari sikap bermewah-mewahan ini. Umumnya, orang-orang yang hidup mewah lupa dengan nikmat yang diberikan oleh Allah sehingga bersikap sewenang-wenang terhadap dirinya dan lingkungannya.
Pagelaran malam budaya ini kemudian dilanjutkan oleh penampilan deklamasi puisi oleh Ius Kadarusman, budayawan dan pembina Teater Menara Salman. Kang Ius, panggilan akrabnya, membawakan puisi bertemakan hutan dan diiringi permainan biola.
Di akhir acara, para personel teatrikal Aksara Salman tampil mendampingi pembacaan puisi oleh Yansa El-Qarni, penggiat literasi di Salman. Ia membawakan puisi berjudul “Sengsengtongtes Sresek Brebek” karya Jose Rizal Manua yang menceritakan tentang hutan-hutan yang digusur lahannya. Acara malam budaya ini merupakan bagian dari acara Salman Days Out Picnic yang kali ini mengangkat tema Pahlawan Lingkungan. (Ed: EA)