Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Teperdaya Teknologi (1): Pendidikan, Kunci Kuasai Teknologi

$
0
0
(Ilustrasi: yahooka.com)

(Ilustrasi: yahooka.com)

Seorang pria tambun berkulit putih duduk di atas kursi sambil berbincang santai dengan temannya. “Kursi” itu melayang maju, menopang punggung gemuk si pria yang “mengobrol” dengan layar hologram di hadapannya. Tak lama, muncul pria lain, yang bertubuh gemuk dan menaiki “kendaraan” yang sama. Ia pun, ditemani layar hologram yang sama pula.

Oh la la, ternyata ia sedang berbicara dengan pria kulit putih tadi, yang sedang melayang pelan tepat di sampingnya. Leher penuh lemak itu tidak sedikit pun menoleh. Kedua pria tersebut melihat lurus ke depan, ke layar hologram yang lebarnya tak seberapa itu.

Itulah salah satu cuplikan adegan dalam film animasi “Wall-E” – sebuah film dengan tema distopia, atau masa depan fiktif yang diasumsikan eksis akibat kesalahan manusia sendiri. Film animasi besutan Pixar Animation Studios ini menggambarkan masa depan bumi yang suram, yang dipenuhi sampah-sampah elektronik yang tidak bisa didaur ulang.

Mungkinkah terjadi? Bisa saja. Apalagi mengingat betapa “tergila-gilanya” manusia kini akan segala hal yang dikaitkan dengan kemajuan teknologi.

Ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana teknologi seolah mengambil alih kehidupan manusia yang seharusnya kaya makna. Pada dasarnya, teknologi itu mempermudah. Teknologi seharusnya membuat manusia jadi berdaya, bukan terperdaya.

“Melek teknologi itu apa pun yang bisa kita lakukan untuk menyejahterakan manusia,” jelas Praktisi IT, sekaligus Pakar Keamanan Informasi Budi Rahardjo, Rabu (20/1).

Di Indonesia, kemajuan teknologi seolah bukan hal yang jadi masalah. Toh, kebanyakkan orang mengerti cara memakai telepon genggam, ber-facebook ria, atau mengendarai sepeda motor, misalnya. Namun ternyata, bagi Budi, ini sama sekali tidak menjadi indikator “Melek Teknologi”. Penguasaan teknologi harusnya didasari dengan sistem pendidikan yang mumpuni.

“Mengendarai mobil dan motor harus diajarkan. Anak-anak “ditaruh” di atas motor, langsung dianggap bisa. Itu pun harus diajarkan,” katanya.

Ia berkisah, dahulu menggunakan telepon pun ada aturan yang diajarkan. Pertama, putar nomor yang dituju. Sampaikan salam, tujuan, lalu ucapkan terima kasih. “Kalau sekarang anak-anak kan, ‘Ini siapa?’” sesalnya lagi.

Dosen Elektro ITB tersebut melanjutkan, itulah mengapa pemanfaatan teknologi harus disesuaikan dengan pendidikan. Ia berpendapat jika masyarakat sudah bisa mengatur dirinya sendiri, maka tak perlu lagi ada peraturan yang “berlebih” dari pemerintah.

Tiadanya pendidikan penggunaan teknologi yang baik dan benar membuat kita sulit mengendalikan diri. Misalnya penduduk sebuah kampung, yang setelah telepon pintar masuk ke sana, menjadi mudah mengeluarkan uang untuk membeli pulsa. Teknologi bukannya membuat mereka produktif, tapi malah konsumtif.

“Bagaimana agar produktif? Kunjungi konten-konten positif, berkarya, menulis. Itu bukannya menghabiskan duit, tapi malah menghasilkan,” pungkasnya.***


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618