“Istri yang ideal itu, yang pekerjaan utamanya adalah mengurus rumah tangga.”
“Salah! Perempuan harusnya bebas berekspresi mengaktualisasikan dirinya, baik dalam karier maupun pendidikan.”
“Kalau menurut saya, mengurus anak dan suami sambil mengekspresikan diri di luar, mungkin-mungkin saja.”
Pernah dengar ungkapan-ungkapan di atas? Tentu ya. Di era keterbukaan informasi kini, perdebatan tentang peran perempuan –dalam bidang domestik, atau sosial dan masyarakat– kerap terjadi. Dalam beberapa kasus, hal ini sampai memicu keretakan rumah tangga. Biasanya, itu diakibatkan tiadanya kesepakatan soal peran istri dan suami.
“Kunci rumah tangga yang sukses itu, ada kesepakatan bersama. Peran istri dan suami juga harus dikomunikasikan,” kata Ustadz Lili Chumedi, dalam Kajian Muslimah CAKRAWALA (Bicara Perkara Wanita Sholeha) Keluarga Mahasiswa Islam (KAMIL) Pascasarjana ITB, Jumat (15/4).
Dalam kajian bertema “Peran Perempuan di Lingkup Domestik dan Sosial” tersebut, Lili memang menekankan pentingnya kata mufakat antara suami dan istri. Lili yang juga aktif sebagai terapis emosional dan fisik ini mengungkapkan, banyak kisah kehancuran rumah tangga yang disebabkan masalah tersebut.
Misalnya, ia menceritakan sebuah kasus, seorang laki-laki menceraikan istrinya karena sang istri berpenghasilan lebih besar. Kariernya melejit tinggi, melampaui sang suami yang “hanya” seorang pegawai biasa. Ia pun merasa perannya sebagai pemimpin terabaikan.
Ada pula kasus lain yang serupa. Dalam kasus tersebut, sang suami merasa diremehkan. Ujung-ujungnya ia mencari wanita idaman lain, yang ia rasa lebih bisa menghargainya sebagai seorang laki-laki.
Inilah mengapa pilihan apakah seorang istri berkegiatan di rumah saja atau aktif di luar rumah harus melewati pertimbangan-pertimbangan yang matang. Lili menjelaskan, yang pertama harus dimantapkan adalah niat. “Jangan sampai memilih daerah aktivitas karena iri hati,” katanya.
Iri yang dimaksud adalah penyakit hati. Memilih berkarier karena sakit hati pada suami, atau karena alasan-alasan lain yang bukan untuk Allah, hanya akan menambah masalah baru. Bahkan, merusak diri dan orang lain.
Kedua, mempertimbangkan status diri. Maksudnya, apa pun kondisi dirinya suami harus tahu dan mengizinkan. Misalnya ketika akan bepergian, bertemu yang bukan mahramnya, sampai memilih pekerjaan. Bila belum menikah atau sudah bercerai, komunikasikanlah hal tersebut kepada anak, orang tua dan/atau wali yang bersangkutan.
Hal ketiga yang juga penting menurut Lili, yakni “amalan” atau aspek pekerjaannya. Bila istri memilih bekerja, ia harus mempertimbangkan izin dari suami, apakah pekerjaan tersebut syubhat atau haram, aspek pencampuran antara laki-laki dan perempuan, dan lain-lain. Dalam menjalani pekerjaannya itu pun ia harus berhati-hati. Jangan sampai ia berangkat kerja dengan bertabaruj, menampakkan aurat, serta tidak menjaga hijab dengan lawan jenis. Hal yang utama, sang istri harus pandai-pandai mengatur bagaimana agar pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban mengurus rumah tangga.
Keempat, sebelum memutuskan akankah istri bekerja, tidak bekerja, atau mengurus rumah sambil bekerja, istri sebaiknya mengukur kemampuan diri. Mampukah istri menjaga kewajiban pada suami dan anak-anak? Mampukah ia mengendalikan emosi, usai lelah bekerja di luar rumah? Mampukah ia menjaga hakikat kepemimpinan sang suami? Lalu, mampukah sang istri mengendalikan dirinya selama bekerja agar tak terjebak kemungkaran? Apalagi mengingat dunia kerja identik dengan pencampuran laki-laki dan perempuan, yang jika tidak dijaga, akan berpotensi menimbulkan hasrat-hasrat terlarang.
Hal terakhir –yang paling penting, istri mesti menghadirkan keseimbangan, baik dalam masyarakat maupun rumah tangganya. Jangan hanya berprestasi di pendidikan atau karier. Sebagai seorang perempuan, ia juga wajib “berprestasi” di mata suami dan anak-anaknya. Bila semua hal di atas telah tercapai, maka Insya Allah keseimbangan pun akan tercipta.***