Oleh: Ferry Fadillah*
Aneh sekali. Sudah lama aku tinggal di kota ini. Aku lahir dan besar di sini. Namun mengapa baru hari ini aku tersenyum sepanjang jalan melihat muda-mudi berseliweran di pusat kota? Melihat cara mereka bergaul, obrolan, pengalaman sosialita, dan aktivitas mereka, terasa begitu jauh dari ide-ideku sebagai orang Bandung.
Idea, pola pikir, menurut para filsuf adalah sesuatu yang bersifat dinamis. Idea selalu bergerak menuju ke titik tertentu, dan titik tersebut adalah titik tak terhingga. Lantas sampai kapan proses ini berjalan? Kembali kepada diriku sendiri, dua tahun sudah aku lama di Bali. Walaupun sering pulang ke Bandung untuk melepas hasrat rindu, namun ribuan nilai yang saling ber-oposisi di dua kota ini turut menyumbang idea-idea baru pada jiwaku.
Dulu aku tidak begitu concern dengan lingkungan hidup. Namun setelah melihat filosofi hidup Orang Bali, khususnya Tri Hita Kirana, saya sadar bahwa lingkungan hidup memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Keharmonisan kehidupan antara Tuhan, alam dan manusia harus terus kita usahakan agar hidup berlimpah gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta rahardja.
Kesederhaan. Entah dari mana konsep ini muncul. Aku melihat muda-mudi di kota asalku begitu menaruh perhatian besar kepada style, budaya pop dan budaya post-modernisme lain. Namun aku mulai menarik mundur sejarah melihat kehidupan para leluhur Sunda di tanahnya dahulu. Begitu sederhana, bersahaja dan penuh kekeluargaan. Hal itulah yang berusaha kuangkat ke permukaan. Aku berharap nilai-nilai mulia itu tidak hanya menjadi konsep namun termanifestasi dalam kehidupan.
Yang paling membuat galau adalah hubungan antar lawan jenis. Akuberhadapan dengan dua komunitas yang saling kontradiksi : mereka yang begitu liberal dan mereka yang begitu konservatif. Jawaban para wicaksanaers maupun ahli agama belum ada yang dapat menyentuh secara komprehensif menyoal masalah ini.
Kebanyakan dari mereka hanya berbicara di belakang meja. Tidak studi langsung ke lapangan. Padahal, di lapangan masalah ini begitu kompleks: antara kebebasan/norma, seks/kesucian, pacaran/ta’aruf, libido/akal dan seterusnya. Satu kesimpulan yang sementara saya buat dari keruwetan ini adalah jalan damai tanpa perseteruan teologis dengan dasar kebenaran agama dan tata susila ketimuran.
Sebenarnya masih banyak idea-idea dalam jiwaku yang dijungkirbalikan seiring dengan proses kehidupanku di tanah rantau. Namun daripada menjelaskannya satu persatu, aku berharap dan berdoa kepada Tuhan Yang Kuasa agar perubahan ini membawaku kepada pencerahan, kawicaksanaan, dan keselamatan di dua kehidupan.
Amin Ya Rabb.
*Ferry Fadillah merupakan mahasiswa STAN wilayah Bali. Menulis di beberapa blog seperti cahayakehidupanislam.blogspot.com, canaksaindonesia.wordpress.com, dan ferryfadillah.wordpress.com. Menyukai kajian budaya, filsafat, dan Islam.
**Konsep kesederhanaan dapat kita lihat di Kampung Baduy, Banten dan Kampung Naga, Tasikmalaya. Ferry menilai dua kampung tersebut sebagai manifestasi konsep kesederhanaan yang diwarisi turun menurun dari para leluhur.
Titik Balik Nilai-Nilai from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami