Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

The Battle of Red Cliff, Kala Cinta Terbawa ke Medan Laga

$
0
0

Salah satu adegan dalam film "The Battle of Red Cliff". (Foto: homecinemaasia.blogspot.com)

Film dengan tema perang, biasanya memiliki nilai historis tersendiri. Kisah-kisah tentang pertempuran, atau tokoh yang terlibat bisa menambah pengetahuan mengenai sejarah. Apalagi, jika film tersebut dibumbui dengan adegan romantis nan dramatis. Sejarah pun tersaji dengan manis. Begitulah, gambaran umum film “The Battle of Red Cliff”.

Film yang  disutradarai oleh John Woo ini merupakan adaptasi kisah sejarah dari negeri Tiongkok berjudul “The Romance of Three Kingdoms”. The Battle of Red Cliff sendiri merupakan salah satu bagian dalam epik mandarin tersebut.

Latar waktu film yang dibintangi oleh Tony Leung dan Takeshi Kaneshiro ini adalah 208-209 M. Saat itu, Cina yang berada dalam kekuasaan Dinasti Han, terpecah jadi tiga kerajaan. Cao Wei di sebelah utara dan timur, Liu Shu di sebelah barat, dan Dong Wu di sebelah selatan.

Profil Tiga Kerajaan

Cao Wei merupakan kerajaan yang paling besar, wilayahnya pun paling luas. Kerajaan ini dipimpin oleh Cao Cao. Dalam film ini Cao Cao digambarkan sebagai sosok lalim dan arogan. Tak hanya itu, Cao Cao juga dikenal ambisius dan ingin menguasai seluruh daratan Cina. Dalam film ini pun ia digambarkan sebagai sosok antagonis.

Sementara itu, kerajaan Liu Shu dipimpin oleh Liu Bei, berlawanan dengan Cao Cao, ia merupakan sosok yang relatif rendah hati, bijak, dan sederhana. Hal tersebut tergambar saat ia melakoni profesi ‘sampingan’ sebagai penenun sepatu jerami.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Liu Bei dibantu oleh tiga jenderal, Zhang Fei, Guan Yu, yang merupakan saudara angkat Liu Bei, serta Zhao Zhilong. Ketiganya memiliki kemampuan dan sifat yang berbeda.

Zhang Fei terkenal dengan sifatnya yang keras dan tak pandang bulu, ia juga dikenal mampu menaklukkan seratus lawan dalam perang. Guan Yu memiliki pembawaan tenang tapi memiliki kekuatan sebesar Zhang Fei. Sementara Zhilong terkenal akan kelincahannya.

Selain tiga jenderal tersebut, Liu Bei juga dibantu oleh penasihat kerajaan nan legendaris, Zhuge Liang atau yang juga dikenal sebagai guru Kongming. Ia terkenal sebagai ahli strategi, yang mampu memanfaatkan situasi di medan pertempuran. Ia juga memiliki kelihaian dalam membaca pergerakan musuh dan dikenal pandai memanfaatkan kondisi alam hingga cuaca.

Kemampuannya tersebut membuat pasukan Liu Bei kerap memenangkan pertempuran. Kalaupun kalah, jumlah korban dapat ditekan seminimal mungkin.

Di sisi lain, Dong Wu dipimpin oleh Sun Quan. Sun Quan sendiri merupakan seorang raja muda yang merasa inferior. Karena, dibandingkan para penguasa Dong Wu sebelumnya ia merasa belum memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan.

Konflik

Cao Cao yang berambisi menyatukan Cina dalam kekuasaannya, mulai melakukan invasi. Selain itu, ia pun menginginkan istri penasihat kerajaan Dong Wu, Zhou Yu, untuk menjadi selirnya. Kabar bahwa Cao Cao akan melakukan serangan pun santer terdengar.

Merasa terancam dengan invasi Cao Cao tersebut, Zhuge Liang menyarankan agar Liu Shu membentuk aliansi dengan Dong Wu,dengan Sun Quan sebagai pimpinan. Sun Quan yang juga merasa terancam dengan invasi Cao Cao sepakat bersekutu dengan Liu Shu.

Meski demikian, sekalipun jumlah pasukan Liu Shu dan Dong Wu digabung, jumlahnya tetap tidak akan mampu menandingi pasukan Cao Cao. Fakta tersebut membuat Zhuge Liang berpikir keras, taktik terbaik yang akan ia gunakan untuk menghadapi pasukan Cao Cao yang sudah siap melakukan serangan.

Hari peperangan pun tiba, seperti sudah diduga sebelumnya Cao Cao menyerang dengan segenap pasukannya yang jauh melebihi aliansi Dong Wu dan Liu Shu. Namun, kalah jumlah tak membuat semangat pasukan aliansi surut. Dipimpin oleh Zhou Yu dari Dong Wu dan tiga jenderal Liu Bei, mereka berjuang mencegah serangan Cao Cao.

Zhuge Liang sendiri ternyata sudah menyiapkan strategi. Strategi kuno yang dikenal dengan istilah ‘kura-kura darat’. Ia menyiapkan pasukan pancingan di garis depan, kemudian  menggiring pasukan Cao Cao pada pasukan tameng yang sudah menunggu. Hasilnya, serangan Cao Cao pun porak poranda, lantaran tak mampu menembus ‘kura-kura darat’.

Pasukan Cao Cao pun dipaksa pulang dengan kekalahan. Tak hanya gagal menginvasi, ia pun kehilangan sebagian besar pasukannya di pertempuran yang kemudian dikenal dengan “The Battle of Red Cliff”.

Secara umum, film ini dikemas dengan cukup baik. Kalaupun ada yang sedikit mengganggu, mungkin hanya saat adegan jenderal-jenderal aliansi bertarung sendirian melawan mush yang begitu banyak. Kendati demikian, aksi laga yang ditampilkan dalam film ini memang cukup memikat. Reputasi John Woo yang terkenal sebagai sutradara film laga, nyata terbukti dalam film ini.

Selain aksi laga yang menarik, ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari film Mandarin ini. Salah satunya, kesederhanaan yang ditampilkan Liu Bei. Sifat kepahlawanan, kecerdaasan, dan tidak gampang menyerah juga ditunjukkan saat pertempuran.

Dan pada akhirnya, kebaikan yang terencana mampu mengalahkan kejahatan yang kurang terencana.

The Battle of Red Cliff, Kala Cinta Terbawa ke Medan Laga from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Trending Articles