Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Keakhwatan: Menyampaikan Dakwah Dengan Bahasa Keibuan

$
0
0
Akhwat Karisma

Akhwat Karisma ITB

Oleh: Nadya Iriani

“Para pahlawan yang agung mewarisi unsur kebesaran dari Ibu mereka” Dr. Aidh Al-Qarni

Di bawah menara Masjid Salman diadakan sebuah acara khusus untuk akhwat Karisma, “Keakhwatan”, Jumat, (30/8). Keakhwatan kali ini bukanlah keakhwatan biasa. Kami kedatangan tamu-tamu istimewa.

Mereka adalah para alumni Karisma yang telah mencicipi asam manisnya kehidupan di belahan dunia yang lain. Para ibu yang berhasil mengispirasi dan menebarkan cahaya islam di muka bumi. Mereka hadir di Masjid Salman, meluangkan waktu untuk bersilaturahim, berbagi pengalaman, ilmu, dan nasehat bagi generasi penerus.

“Karisma itu penuh dengan kenangan, ikatan yang terjalin antar pembina sangatlah kuat. Sudah 20 tahun ini kami berpisah masih terasa hubungan kekerabatannya,” kata Teh Dina. Teh Dina mengisahkan perjuangannya menegakan label “halal” pada zamannya, hingga kisah saat pertama menginjakkan kaki di Jepang.

“Saya dipertemukan dengan suami sekitar umur 28 tahun, baru dua minggu bertemu langsung menikah. Setelah itu ikut suami ke Amerika dan terakhir suami ditempatkan di Jepang. Keluarga kami di tempatkan di daerah “pedesaan” di sudut Negara Jepang, di Kota Nagasaki,” ungkap teh Dina.

Di Jepang, teh Dina merasa “asing”. Perbedaan yang paling mencolok tentu saja jilbab yang ia kenakan. Pemandangan itu sangat tidak biasa bagi masyarakat di sana. Umumnya karena pengetahuan mereka mengenai agama islam sangat minim.

“Tak jarang mereka menjadi stalker mengenai pribadi dan kehidupan saya. Lucunya, saking penasaran mereka sampai mengintip ke dalam rumah sekadar ingin tahu apa yang sebenarnya saya kenakan dan kegiatan apa yang saya lakukan,” kata teh Dina sambil terkekeh.

Untuk urusan makanan, teh Dina dituntut menjadi ibu yang kreatif dan inovatif. Ketersediaan pangan jelas asal usulnya, halal dan haramnya menjadi penyebabnya. Teh Dina mengolah makanan dengan opsi pilihan bahan yang sangat minim.

“Sebisa mungkin kami menghindari makan daging hewan, ternak maupun unggas, karena tidak jelas apakah menyembelihnya sesuai dengan syariat islam atau tidak,” ujar teh Dina.

Begitu banyak anggapan bahwa agama islam itu rumit dan banyak larangan. Namun, ternayata itulah yang menjadikan masyarakat Nagasaki sangat tertarik dengan agama islam dan mempelajarinya. Teh Dina pun sempat menjadi pembicara dalam sebuah forum tanya jawab tentang agama islam. Dari sanalah jalan dakwah terbuka. “Hasilnya Alhamdulillah, ada sekitar tiga orang yang berhasil masuk islam,”

Ketika di Jepang, teh Dina pun berhasil membawa nama Indonesia. Persepsi warga Nagasaki tentang Indonesia adalah Bali dan Bali adalah Indonesia. Saat ditunjuk untuk demo masakan Indonesia, teh Dina membuat pastel. Kehidupan keluarga teh Dina layaknya selebritas, cerita tentang agama islam dan Indonesia sempat diliput oleh media setempat.

Jalan Dakwah Sang Dokter

Beda tempat berbeda pula kisahnya. Teh Rosita berbagi cerita tentang pengalamannya selama menetap di Amerika Serikat. Ia harus rela melepaskan gelar sarjana keokterannya guna menjadi seratus persen Ibu rumah tangga. Mendidik tiga orang anak yang lahir berturut-turut menjadi sebuah amanah yang dipikul oleh Teh Rosita.

Namun, kini Teh Rosita telah berhasil menjadi seorang ibu super dan menjadi sosok yang berpengaruh di dalam dan luar keluarganya. Melalui buku yang ia terbitkan yang berjudul “Menggenggam Jiwa Anak, Mencetak Generasi Mulia” teh Rosita membagi ilmunya.

“Sulit rasanya melepas sarjana kedokteran yang telah saya tempuh bertahun-tahun di bangku kuliahan. Apalagi tinggal di negeri orang, sempat mengalami shock culture dan merasakan penyakit rindu Indonesia,” kata teh Rosita.

Beruntung konsep tauhid yang ia dapatkan ketika masih menjadi aktivis telah melekat dalam jiwanya. Teh Rosita memaknai kembali arti dari kehidupan ini. Ia sematkan dalam diri bahwa semua yang dilakukan adalah untuk meraih ridha Allah swt. Teh Rosita bertekad untuk menjadi ibu terbaik, mengabdi kepada suami, dan menjadi madrasah utama bagi anak-anaknya,

“Saya sangat bersyukur pernah beraktivitas di Salman, masukan-masukan agama sangat bermanfaat bagi kehidupan saya sekarang, terimakasih bagi para senior-senior terdahulu yang telah berbagi ilmu dan mendidik saya selama di Salman,” kenang Teh Rosita.

Jalan dakwah seyogyanya tidak selalu dengan hal-hal besar, seperti berdiri di atas podium, berceramah, atau berjihad dengan perang. Dengan akhlak mulia yang tercermin dalam sikap hidup dan perkataan pun kita dapat berdakwah. Itulah yang sering ditanamkan Teh Rosita kepada anak-anaknya dalam kehidupan sosial di Amerika.

Teh Dina dan Teh Rosita pun berpesan kepada para akhwat agar menjadi seperti ikan di lautan. Ikan hidup di air asin tetapi tidak berubah menjadi asin. Begitu pula para akhwat jangan sampai terpengaruh oleh lingkungan tempat berpijak, tapi kitalah yang memberi pengaruh bagi lingkungan dengan semangat menebarkan kebaikan dan dakwah. Kita tidak pernah tahu kemana arah perahu akan membawa kita, maka persiapakan segalanya dengan matang dan dari sekarang gali ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya. “Jadilah Ibu terbaik bagi keluarga kalian nanti.” [Ed.FF]

The post Keakhwatan: Menyampaikan Dakwah Dengan Bahasa Keibuan appeared first on Masjid Salman ITB.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Trending Articles