Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Dakwah: Dialog di Dunia Maya

$
0
0
Foto: pinterest.com

Foto: pinterest.com

Medium is the message”, demikian petuah Marshall McLuhan 50 tahun yang lalu. Meski lima dekade telah berlalu, petuah Sang “Nabi budaya” itu masih terus kita buktikan kebenarannya sampai hari ini. McLuhan yang membawa “risalah” determinisme teknologi, mengajarkan bahwa teknologi mengubah cara kita berperilaku. Kita menciptakan teknologi dan kemudian pada gilirannya teknologi menciptakan kembali diri kita. Teknologi dan manusia adalah sebuah simbiosis yang aneh tapi nyata.

Teknologi yang paling menarik perhatian McLuhan adalah teknologi media. Teknologi ini dibahas dalam dua karyanya: “Understanding Media” dan “The Making of Typographic Man”.  Media dalam definisi McLuhan menjadi sangat luas—satu hal yang dikritik banyak ilmuwan komunikasi disamping gaya menulisnya yang nyentrik. Namun, lepas dari kritikan tersebut, McLuhan berhasil membedah sejarah kemanusiaan berdasarkan perkembangan media: era tribal (kesukuan), era literasi, era cetak dan era elektronik.

Era elektronik—demikian menurut McLuhan—adalah era dimana kegemaran berbincang dalam era tribal dilahirkan kembali. Bedanya, jarak dan waktu dalam “perbincangan” di era elektronik menjadi nyaris tak berbatas. “Suku-suku” yang lahir dalam era elektronik tidak lagi didefinisikan oleh batas geografis atau generasi, akan tetapi oleh media yang mengusung perbincangan itu sendiri. Pada zaman McLuhan di tahun 1962, media elektronik tercanggih yang ada adalah televisi dan radio.

Di fajar abad 21 kini, internet (mungkin) akan “menelan” televisi dan radio, membuat keduanya menjadi media yang sama sekali berbeda dengan zaman McLuhan. Perkembangan internet—terutama dengan lahirnya web 2.0—melahirkan alternatif produksi, konsumsi dan distribusi yang non massal. Massa dan budaya massa (mass culture) berkompetisi dengan budaya dan komunitas yang customized dan hiperlokal.

Generasi internet sebelumnya (web 1.0) mengusung karakter consultsurf dansearch di dunia maya. Pengguna internet pada generasi ini mencari informasi dari internet. Dalam web 2.0, ciri yang diusung adalah sharecollaborate danexploit, dimana pengguna berbagi informasi dan membangun makna. Lewat web 2.0, komunikasi massa dikawinkan dengan komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Komunikasi persuasif—sebuah kategori komunikasi yang “memberi tempat” bagi dakwah—dengan demikian mau tidak  perlu beradaptasi.

Dakwah selama ini—termasuk via internet—masih mengusung paradigma komunikasi massa yang satu arah, dengan mengutamakan satu figur besar. Dakwah lewat televisi, radio, surat kabar, maupun facebook dan twitter dalam paradigma ini adalah penyampaian pesan. Karena tujuan akhir dakwah adalah mengubah perilaku, maka pesan yang disampaikan secara masif tersebut tentunya juga bertujuan serupa.

Namun, yang perlu dipertanyakan adalah sejauh mana realitas “massa” itu masih ada? Jangan-jangan, realitas tersebut hanya ada di permukaan. Semakin ke bawah, “massa” semakin tersegmentasi menjadi komunitas-komunitas kecil dengan budaya yang lokal atau malah hiperlokal sebagaimana disinggung di atas. Kyai, ustadz, ajengan atau “figur besar” lain yang muncul di layar kaca atau di speaker radio bukan lagi jaminan efektifnya pesan. Dalam perkembangan teori komunikasi massa, ada peran para opinion leader, “puak-puak suku”, yang menyaring dan menginterpretasikan pesan-pesan para figur besar tersebut bagi khalayaknya.

Dengan perkembangan web 2.0, interpretasi pesan malah bukan hanya menjadi wewenang para opinion leader tersebut. Anggota setiap komunitas saling berbagi informasi dan membangun makna pesan yang lebih personal. Ketika seorang ustadz mengutip hadits atau ayat di wall fb-nya, tidak perlu kaget jika comment pembaca sangat bertolak belakang dengan makna ayat yang dipahaminya. Akan tetapi, dengan sifatnya yang interaktif, teknologi internet web 2.0 memungkinkan terjadinya dialog tentang pemaknaan tersebut.

Dialog tentang pesan, seharusnya menjadi paradigma baru dalam dakwah di dunia maya. Dialog dalam komunitas-komunitas yang hiperlokal tersebut dipandu, bukan dipimpin. Pemandunya pun bukan pula figur ustadz, kyai atau ajengan yang populer dalam pengertian massa, namun mereka yang kredibel dalam komunitasnya. Standar klasik kredibilitas adalah trustworthiness danexpertise. Namun, kedua hal ini kini merujuk pada pengakuan komunitasnya. Seorang da’i zaman kini mungkin saja adalah skatergamer, pecinta bonsai, atau penggemar manga atau anime yang dikenal komunitasnya di seantero dunia karena ketekunan dan integritasnya.

Bagaimana dengan pengetahuan dan otoritas keilmuan agama sang “da’i”? Kita boleh saja berdebat tentang hal ini. Namun, sementara kita berdebat, web 2.0 terus bergerak maju menuju tahap evolusi berikutnya: web 3.0. Web 3.0 mengarah pada terciptanya personal assistant yang cerdas, mampu “menjawab” semua pertanyaan. Seiring dengan pengunggahan informasi-informasi keagamaan ke internet yang semakin intensif, peran ustadz dan kyai sebagai “kitab berjalan” akan semakin berkurang. Yang lebih dibutuhkan kemudian adalah rekan dialog yang mampu terus belajar sekaligus menawarkan refleksi atas timbunan informasi tersebut.

Pada akhirnya, mereka yang ingin berdakwah harus memilih: jangkauan besar dengan pengaruh kecil, atau pengaruh besar dalam jangkauan yang kecil? Penulis memilih yang kedua. Agar dakwah dapat beradaptasi dengan evolusi internet, bentuknya haruslah customized untuk satu komunitas—sekecil apapun itu. Da’i-nya adalah mereka yang menceburkan diri dalam komunitas tersebut. Tugasnya adalah menyusun pesan-pesan untuk dimaknai bersama dalam komunitasnya.[]

 

 

*) Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi UNISBA angkatan 2011, Manajer Divisi Pengkajian dan Penerbitan Salman ITB.
[Tulisan ini telah dimuat di Suplemen "Gadget" Harian Umum Pikiran Rakyatpada Kamis (29/12/2011)]

The post Dakwah: Dialog di Dunia Maya appeared first on Masjid Salman ITB.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Latest Images

Trending Articles