Kata pahlawan seolah sebatas judul puisi yang dibuat Tono si anak kelas 3 SD untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Lalu Tono akan membumbui puisi tersebut dengan kata-kata “…sungguh berjasa dirimu pada negeri ini.. Aku akan selalu mengenangmu!”
Dan 10 November dinobatkan sebagai hari pahlawan karena pertempuran Surabaya yang membahana itu. 10 November 1945 adalah awal mula dentuman meriam Inggris berhamburan di ibu kota Jawa Timur tersebut.
Penentuan hari ini, hari itu, dan hari macam-macam adalah atas dasar kesepakatan. Bisa saja, ketika yang mengajukan tanggal hari pahlawan tersebut malah ingat peristiwa Bandung Lautan Api, ia akan menjadikan tanggal 24 Maret 1946 sebagai hari pahlawan.
Atau jikalau yang bersangkutan ingat perjuangan KH. Zaenal Mustofa dan santri-santri Singaparna melawan Jepang, ia akan menetapkan hari pahlawan berdasarkan tanggal-tanggal yang identik dengan peristiwa tersebut.
Yang jadi pertanyaan, perlukan pengkhususan hari dalam mengenang jasa pahlawan? Seperti hari palentin (eh..Valentine, maklum orang kampung) yang dijadikan sebagai hari kasih sayang? Atau seperti hari air? Hari antitembakau?
Menurut saya, jawabannya “BISA JADI”.
Seorang teman berkata kepada saya, terkadang diperlukan hari khusus untuk mengenang atau merefleksikan segala sesuatunya. Ia adalah seorang Nasrani yang mendukung perayaan hari Valentine.
Menurutnya, hari Valentine dapat dijadikan hari di mana misal, seluruh anggota keluarga terbiasa sibuk—untuk saling bertemu dan menguatkan kembali kasih sayang yang sudah lama putus.
Mendengar alasan itu, saya mengatakan “bisa jadi bermanfaat” jika Valentine dijadikan ajang perekatan seperti itu ketimbang hura-hura, kendati batin saya agak bermasalah dengan latar belakang penentuan hari Valentine tersebut.
Bagi saya, ada dua hal yang patut diperhatikan dalam pengkhususan hari, apapun temanya. Pertama, latar belakang hari tersebut. Apakah bertentangan dengan ruh Islam atau tidak? Sesuai dengan esensi peringatannya atau tidak? Apa tujuan menetapkan tanggal hari pahlawan jika didasarkan pada peristiwa 10 November—misal.
Yang kedua adalah cara memperingati hari khusus tersebut setelah ditetapkan tanggal rutinnya. Apa hanya sebagai formalitas dan rutinitas belaka kita memperingatinya? Atau ada jejak perbaikan yang hendak dicapai dalam momen tersebut? Apakah tujuannya untuk mendekatkan manusia pada fitrah yang seharusnya, apa malah menjauhi?
Apa sampai hati kita menuhankan momen, namun momen tersebut tidak dijadikan sebagai upaya mengembalikan diri pada fitrah yang hakiki? Bahkan buat apa merayakan Idul Fitri jika digunakan hanya untuk berfoya-foya saja?
Jadi, bagaimana sikap saya dalam memeringati hari pahlawan? Ya dengan membuat tulisan ini. Hehe. Ngajakin juga teman-teman yang mau berpikir untuk sama-sama mikirin, “Sudah pas belum 10 November dijadikan hari pahlawan? Lalu enaknya di hari pahlawan besok-besok kita ngapain ya..?”***
The post Bisa Jadi Hari Pahlawan dan Palentinn Itu… appeared first on Masjid Salman ITB.