Kesadaran lingkungan harusnya tak dipahami secara terpisah dengan aspek kehidupan lainnya. Manusia sendiri hakikatnya adalah bagian integral dari lingkungan. Bagai sebuah unsur yang satu padu, bila salah satunya rusak, maka unsur lain pun akan mengikuti.
Salah satu contohnya adalah Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Lingkungan di salah satu daerah yang terdaftar dalam program Kampoeng Bangkit Bidang Pelayanan dan Pemberdayaan Masyarakat (BP2M) Salman ITB ini kumuh dan tidak terawat. Kali Pademangan, yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat bantaran kali, sudah 12 tahun tidak dikeruk. Lumpur tebal mengendap di dasarnya, membuat Pademangan kerap dilanda banjir besar setiap musim hujan datang.
Menurut Yandi Ginanjar, Koordinator program Kampoeng Bangkit, suasana yang tidak sehat tersebut berpengaruh ke berbagai aspek. Mulai dari kesehatan, hingga aspek pendidikan. Lebih jauh lagi, lingkungan yang sangat kotor dapat mempengaruhi pola pikir penduduk di sekitarnya.
“Banyak orang yang berpenyakit kulit, malaria, demam berdarah, dan segala macamnya. Yang kedua ngaruh ke pendidikan. Dengan kumuh, ternyata adik-adik yang masih SD, SMP, itu jadi malas. Karena mereka tidak punya ruang yang nyaman, ruang yang bagus dan sehat untuk dia belajar menyerap pelajaran sekolah,” tuturnya, saat diwawancarai di Sekretariat BP2M Salman, Jumat (1/11).
Pria yang bertahun-tahun berperan dalam pemberdayaan masyarakat di wilayah tertinggal ini juga mengatakan, kerusakan ekologis pun dapat berpengaruh ke aspek ekonomi. Intinya, setiap masalah berkaitan satu sama lain. Pada akhirnya kunci permasalahan dalam kasus kerusakan lingkungan tadi adalah pola pikir masyarakat.
Yandi menilai, lingkungan yang kumuh dan dipenuhi sampah dapat menggambarkan karakter masyarakat yang pemalas. Pengetahuan agama Islam pun minim, Islam ‘abangan’ belaka. Tak ada cerminan akhlakul karimah di lingkungan yang jorok.
“Yang jadi solusi, yang paling bisa menyelesaikan permasalahan yaitu masyarakat itu sendiri. Kalau saya sih bagaimana menginisiasi masyarakat supaya masalah cepat selesai, itu saja,” kata Yandi.
Ia berpendapat sebenarnya penduduk memiliki kunci untuk permasalahannya sendiri. Kita tak perlu menjadi pihak luar yang ‘sok jadi pahlawan’, yang memaksakan ide. Cara yang paling efektif, menurutnya, ialah dengan mendorong masyarakat untuk bermusyawarah. Meski terjadinya konflik tak dapat dihindari, yang penting begitu rapat selesai, selesai pula momok yang mengendap di lingkungan mereka selama bertahun-tahun.
“Kita mah mediator saja. Kalau nanti sudah mentok, baru kita terlibat di dalamnya,” lanjutnya.
Taktik yang tak jauh berbeda diterapkan pula di kawasan Katapang, Kabupaten Bandung, yang berdekatan dengan aliran Sungai Citarum. Tiga belas tahun sudah Warga Peduli Lingkungan Citarum (WPL Citarum) berdiri. Selama belasan tahun itu pula, sang pendiri, Sunardi Yogantara (56 tahun) bergelut dengan masalah pencemaran Sungai Citarum yang bisa dibilang merupakan “halaman rumah”-nya sendiri.
Tinggal di sisi Sungai Citarum, Yoga merasakan betul dampak ekologis, sosiologis dan psikologis yang diakibatkan kerusakan sungai yang sempat dijuluki sungai terkotor di dunia tersebut. Selama bertahun-tahun bersama rekan-rekannya, lulusan Sekolah Analis Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengajak tetangga-tetangga mereka untuk peduli pada lingkungan tempat tinggal mereka.
“Itu yang cukup capek, karena dinamika di masyarakat tinggi. Tentu sedikit banyak dipengaruhi oleh dinamika suprastruktur juga, dinamika politiknya, ngajak masyarakat untuk satu padu, care pada lingkungan. Ini barangkali juga pengaruh dari bagaimana interaksi pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat tidak terbiasa berpartisipasi. Dulu kan partisipasi itu dibacanya sebagai ikut apa kata pemerintah,” tutur Yoga saat diwawancarai di Masjid Salman ITB, Senin (21/10) lalu.
Yoga berpendapat, metode yang digunakan pemerintah dalam mengedukasi, membentuk pola pikir masyarakat bisa dibilang menjadi “mata duitan”. Selain cara pikir yang terus mengharapkan imbalan, Yoga pun mengalami kesulitan saat menghadapi tokoh masyarakat atau stakeholder. Kadang kala, gerakan grass root yang ia prakarsai malah dipandang negatif, karena dianggap “melangkahi”.
Banyak hal yang perlu dipikirkan dalam pergerakan konservasi lingkungan. Melalui pengalaman-pengalamannya, Yoga juga belajar bahwa peran gender juga perlu dipertimbangkan. Misalnya dalam hal sanitasi, ternyata peran perempuan sangat signifikan. Mereka yang paling tahu urusan domestik. Namun di dalam pengambilan keputusan kaum perempuan sering termarginalisasi. Yoga mengakalinya dengan mengadakan pertemuan terpisah antara perempuan dan laki-laki.
“Karena secara empiris di mana kaum perempuannya bisa kita ajak bangkit, itu berhasil, sustainable. Mereka bisa bersuara, terus kita salurkan suaranya. Makanya dalam proses penyiapan masyarakat itu ada juga gender analysis, gender role, kita petakan peran perempuan terkait sanitasi apa, peran laki apa. Menarik, sebetulnya,” jelasnya.
Perihal kerusakan ekologis dan sosiologis memang cukup pelik dibicarakan. Berbagai unsur saling terkait di dalamnya. Berdasarkan dua contoh tadi, bisa dilihat bahwa konservasi lingkungan tak sekadar ‘proyek asal jadi’ seperti pengerukan kali, bersih-bersih sampah, tanam 1000 pohon, dan lain-lain.
Saat lingkungan butuh dikonservasi, saat itu pulalah terlihat suatu fenomena bahwa ‘manusia’-nya pun butuh ‘dikonservasi’. Saat lingkungan suatu daerah mengalami kerusakan, perhatian penduduk sekitarnya juga harus dipertanyakan. Pada akhirnya, semua berujung pada pola pikir.[ed: Tr]
The post “Mengonservasi” Manusia, Mengonservasi Lingkungan appeared first on Masjid Salman ITB.