DARI mana asalnya larangan bagi muslim untuk mengucapkan Selamat Natal untuk kaum Nasrani? Banyak ulama merujuk pada Fatwa Majelis Ulama (MUI) tahun 1981. Saat itu MUI Pusat diketuai ulama yang sangat disegani, Haji Abdul Malik Karim Amarullah atau yang akrab kita panggil Hamka atau Buya Hamka.
Nah. untuk soal ini, intelektual Islam Universitas Gadjah Mada Achmad Mundjid melakukan riset untuk meneliti asal usul larangan itu. Hasil risetnya dia suguhkan di The Jakarta Post edisi 23 Desember 2013.
Sungguh mengejutkan, kata dia, fatwa MUI 1981 itu sama sekali tidak ada larangan mengucapkan Selamat Hari Natal bagi muslim. Bahkan secara eksplisit membolehkan muslim mengucapkan Selamat Natal, sebagai bentuk toleransi.
Bahkan tujuh tahun sebelumnya, pada suatu pagi di tahun 1974, Hamka pernah diwawancarai RRI. Seorang pendengar bertanya bagaimana hukumnya seorang muslim menghadiri perayaan Natal. Karena waktu yang sempit, Hamka membahas pertanyaan itu di majalah Panji Masyarakat.
Dalam tulisan itu, Hamka membedakan pemahaman Islam dan Nasrani tentang Jesus. Menurut keyakinan Kristen Jesus adalah tuhan yang mewujud menjadi manusia, sedangkan menurut Islam, Isa adalah Rasul Allah. Namun secara eksplisit Hamka membolehkan muslim mengucapkan Selamat Hari Natal sebagai wujud toleransi. Yang tidak diperbolehkan adalah mengikuti ritual peribadatan Natal. Tentu saja, bagi Nasrani pun boleh mengucapkan selamat Idulfitri, namun tidak boleh mengikuti shalat Ied. Kira-kira begitulah ilustrasi Hamka. Maka pada 7 Maret 1981, keluarlah fatwa itu: sama sekali tidak ada larangan.
Fatwa itu keluar atas permintaan Menteri Agama, karena melihat semakin banyaknya orang Islam di sekolah-sekolah mapun di berbagai forum, ikut mencari dana perayaan Natal Bersama, bahkan ikut bergabung dalam choir yang melantunkan lagu-lagu pujian Natal. Nah dari sisi inilah muncul keberatan MUI, karena ikut ritual itu sudah tidak pada tempatnya.
Yang perlu dipahami adalah fatwa ini keluar saat kekuasaan Soeharto sedang di puncaknya. Namun Hamka kecewa kepada Soeharto yang memberi kekuasaan politik dan ekonomi besar kepada kelompok kecil Nasrani waktu itu. Islam itu mayoritas secara statistik, namun minoritas dalam kekuasaan. Umat Islam yang mayoritas itu merasa terpinggirkan oleh kaum minoritas. Mayoritas secara angka, minoritas secara peran. Ada mental minder dari umat Islam.
Jadi fatwa ini juga dipandang sebagai bargain kepada Soeharto. Fatwa larangan ikut ritual ini kemudian menyebar. Menteri Agama waktu itu, Alamsjah Ratuprawiranegara kecewa kepada Hamka yang membocorkan fatwa ini ke publik. Alamsjah waktu itu sedang gandrung mengkampanyekan Tri Kerukunan: kerukunan di dalam lingkungan umat bergama, kerukunan beragama antar umat berbeda agama, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Alamsjah keberatan dua hal: mengapa fatwa itu beredar ke publik, dan fatwa itu mengancam projek kerukunan yang dia inisiasi.
Dalam pertemuan dengan MUI, Alamsjah menyatakaan kekecewaan kepada Hamka, sekaligus minta restu untuk mengundurkan diri sebagai menteri. Namun kebegawanan Hamka muncul. Hamka menyatakan MUI akan mengeluarkan keputusan untuk menghentikan beredarnya fatwa itu, namun isi fatwa itu tetap valid.
Rupanya keputusan ini tidak menurunkan ketegangan antara pemerintah dan MUI. Alhasil, sang ulama besar ini pun mundur dari posisi ketua MUI. Panji Masyarakat yang dikelola Rusjdi Hamka (putra Hamka) tetap pada posisinya: “Jika diundang dalam perayaan Natal, datang, duduk dan makanlah jika disuguhi, selama muslim tidak ikut dalam ritualnya.”
Lalu dari mana larangan mengucapkan selamat Natal itu?
Intelektual Muslim Mujiburrahman mengemukakan penjelasan yang paling masuk akal. Menurut dia, kemungkinan perasaan terancam yang merupakan ruh atau mentalnya minoritas masih memenuhi batin muslim, kendati sejak 1990-an Islam sudah berada dalam kekuasaan. Kelahiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sungguh sudah membawa posisi politik Islam dari perferi ke tengah pusat kekuasaan. Namun mentalitas terancam masih kuat, sehingga fatwa MUI pun diplintir. Ke depan, mentalitas ini sungguh berbahaya, karena akan semakin membuat wajah Islam buruk.
Begitu ulasan Achmad Mundjid…
The post Betulkah Hamka Larang Muslim Ucapkan Selamat Natal? appeared first on Masjid Salman ITB.