
“Lewat Djam Malam”, salah satu karya Usmar Ismail, film maker yang memiliki visi budaya. (Foto: lewatdjammalam.wordpress.com)
Meski semakin banyak bermunculan, film-film karya anak bangsa ternyata belum cukup dalam pesannya. “Saat ini, banyak film maker kita, termasuk anak-anak muda, masih berkutat pada aspek teknis. Bangga jika berhasil membuat film di gunung misalnya,” ujar Iqbal Alfajri, dedengkot Salman Films pada Sabtu (11/1) sore lalu. Menurut Iqbal, belum banyak film-film Indonesia saat ini yang mengusung sebuah visi budaya. Berbeda halnya menurut Iqbal dengan film-film di era Usmar Ismail misalnya.
Iqbal melontarkan pernyataannya tersebut dalam diskusi perdana Majelis Budaya Salman ITB di Rumah Alumni Salman, Masjid Salman ITB Sabtu lalu. Diskusi ini dihadiri antara lain oleh Iqbal Alfajri, Alfathri Adlin, Adriano Rusfi, Yus Kadarusman dan Imam Choirul Basri (Sekretaris Bidang Humas, Personalia dan Administrasi Salman ITB). Kegiatan ini diadakan oleh Bidang Pengkajian dan Penerbitan Salman ITB.
Visi budaya sendiri menurut Yus Kadarusman dalam diskusi tersebut, adalah bagaimana membuat perubahan sosial terasa “menyenangkan”. Hal ini jelas terlihat dalam film. Pembina Teater Menara Salman ini mencontohkan film Ayat-Ayat Cinta. “Bagaimana poligami yang sebelumnya kontroversial, digambarkan dalam relasi interpersonal yang menyentuh. Yang muncul kemudian adalah perasaan simpati,” ujar Yus, yang juga pendiri Studi Teater Islam Karisma (STIK) dan Studi Teater Unisba (STUBA).
Masih terkait dengan pentingnya pesan dan visi dalam sebuah film, Adriano Rusfi–anggota Dewan Pakar Salman ITB, menyorot keunggulan Hollywood. Menurutnya, “dakwah” yang paling berhasil di dunia saat ini adalah “dakwah”-nya Hollywood, “Sebab mereka berhasil menyentuh fitrah manusia, yang sayangnya kemudian lebih banyak diajak pada kebatilan,” ujar Adriano.
Kesadaran akan pentingnya kekuatan pesan ini juga menyebabkan karakter perfilman Hollywood yang berbeda dengan film-film Eropa. ”Dari segi seni, film-film Eropa mungkin lebih bermutu karena 80 tema misalnya, bisa menjadi 80 film. Sementara di Amerika, 1 tema dibuat menjadi 80 film. Namun akibatnya, pesan yang disampaikan (film-film Amerika) menjadi lebih kuat,” tutur psikolog lulusan UI ini.
Dalam diskusi perdana Majelis Budaya Salman sore itu, para peserta sepakat bahwa Salman ITB perlu merumuskan visi kebudayaan yang akan melandasi content program-program kebudayaannya. Diskusi bulanan ini akan terus dilangsungkan sebagai wadah tukar pikiran untuk merumuskan konsep program-program kebudayaan di Salman ITB seperti film, teater, diskusi, festival, seminar, orasi budaya dll. Majelis Budaya akan menghadirkan para pemikir maupun praktisi kebudayaan dari dalam maupun luar lingkungan Salman ITB.[ed: Tr]
The post Film Perlu Visi Budaya appeared first on Masjid Salman ITB.