Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Publik Dewasa Kritisi Media

$
0
0
Protes publik. (Ilustrasi: blog.heritage.org)

Protes publik. (Ilustrasi: blog.heritage.org)

Secara sederhana, melek media merupakan kemampuan untuk menggunakan media sebesar-besarnya demi kepentingan diri maupun khalayak luas. Indikator pertamanya yakni mampu memahami bagaimana sebuah program dibuat dengan kepentingan tertentu.

Masalahnya, secara umum masyarakat Indonesia belum dapat memahami bahwa realitas pada tayangan televisi merupakan realitas bentukan. Basis penghitungan rating di kota-kota besar yang notabene berpenduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, masih mencerminkan rendahnya kesadaran tadi.

Meski begitu, masih banyak warga yang menunjukkan kepedulian akan konten televisi lewat aksi protes. Bentuk protes baru muncul dari sekelompok kecil kelas menengah dengan pendidikan tinggi. Mereka memiliki alternatif hiburan selain televisi, berbeda dengan kelas menengah ke bawah. Namun protes ini bisa mengawali langkah penyadaran masyarakat bahwa siaran televisi menggunakan frekuensi milik publik.

“Kontrol atas isi siaran TV ini yang masih susah dilakukan, karena para pengusaha TV berdalih layaknya pedagang di Pasar Baru, “nggak suka ya nggak usah beli atau nonton.” Mereka lupa bahwa lapak dagang yang mereka pakai; dalam hal ini frekuensi, merupakan milik publik,” tutur Kunto Adi Wibowo, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran via surat elektronik, Selasa (1/14).

Kunto menjelaskan, publik harusnya bukan diletakkan sebagai audiens yang pasif, sebagai pemilik kepentingan atas siaran televisi. Protes publik harus dimaknai sebagai bentuk kedewasaan publik atas proses informasi/disinformasi di media massa. Secara umum, literasi media sendiri memiliki lima indikator.

Pertama, kemampuan untuk mengakses atau membatasi akses. Misalnya, orangtua memasang sistem Parental Control di pesawat televisi di rumah. Kedua, memahami bahwa sebuah isi siaran diproduksi dengan kepentingan tertentu. Hal ini bisa dilakukan dengan menanyakan “sebenarnya isi siaran TV ini menginginkan saya berpikir/bersikap/berbuat apa tentang sesuatu?” Kemampuan ‘membaca TV’ ini membantu proses seleksi atas isi siaran.

Ketiga, selalu mengajak anak atau orang lain berdiskusi. Memiliki alternatif perspektif menjadi penting agar isi media bermanfaat secara efektif bagi kita. Keempat, mampu melakukan kontrol terhadap media dengan mengirim surat atau petisi. Kelima, adalah kemampuan produksi, memproduksi isi siaran dengan perspektif sendiri sehingga menjadi alternatif tontonan bagi khalayak.

 

Boikot Lebih Efektif

Menurut Kunto, mengirim surat atau petisi pada stasiun televisi yang bersangkutan merupakan bentuk protes paling sederhana. Mengadu ke lembaga yang memiliki wewenang untuk menekan media pun selama ini terbukti mandul akibat kartel stasiun televisi.

Ia berpendapat, salah satu cara yang efektif yaitu dengan melakukan boikot. Baik boikot program, maupun produk yang beriklan di program tersebut. Dengan boikot massal, iklan yang menjadi sumber pemasukkan TV akan hilang. Namun di Indonesia, gerakan boikot belum menjadi bentuk protes yang biasa atau umum.

“Banyak teriakan untuk boikot. Namun nyatanya belum ada aksi nyata, dan secara ekonomi para pengiklan belum merasakan dampak boikot tersebut,” katanya.

 

The post Publik Dewasa Kritisi Media appeared first on Masjid Salman ITB.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Trending Articles