Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Psikologi Daang…. Duuuut

$
0
0
Foto: Bennard

Foto: Bennard

oleh: Adriano Rusfi*

 

Ada hal yang juga menarik bagi saya tentang dangdut : Bahwa dangdut adalah musik milik kaum “campingers”. Saya adalah seorang “campinger” yang selalu camping minimal dua kali setahun sejak SMP hingga sekarang.

Setiap kemping, di manapun, kapanpun dan dengan siapapun, praktis hanya ada dua jenis musik yang laku untuk ditayangkan : Dangdut dan Country. Penggemar musik pop, rock, metal, R&B, Jazz atau klasik tiba-tiba saja berganti selera ke dangdut, yang dalam kesehariannya mungkin mereka anggap sebagai musik kampungan.

Saya sendiri, sebagai penggemar berat musik jazz, ‘bermetamorfosis” menjadi penggemar dangdut saat di ranah caping. Mungkin karena kemping adalah dunia natural, dunia kebebasan, dunia ekspresif dan dunia apa adanya.

Dalam camping manusia larut dalam kebersamaan, membuang segala topeng, menjadi “telanjang” dan kehilangan jaim.

Ini sebabnya, dangdut tiba-tiba menjadi medium ekspresi yang paling pas. Dalam bahasa psikologi fenomenologi dan eksistensialisme, pada camping manusia tidak perlu meng-ada (to become) dan mengada-ada, pada camping manusia cukup menjadi ada (to be) dan apa adanya. Dan itulah psikologi yang diusung oleh dangdut..

***

Dangdut memang sangat Indonesia. Ini adalah sebuah ekspresi dan duta budaya melayu-Nusantara yang paling representatif.

Malaysia yang sangat Melayu akhirnya bukan tempat lahirnya dangdut, karena Malaysia terlalu “jaim” dan “sok beradab” dengan emosinya (walau dangdut juga sangat digemari di sana).

Itulah juga sebabnya kenapa dangdut yang dimainkan oleh group dangdut asli Jepang maupun Amerika dalam tayangan yang saya tonton menjadi seperti kehilangan roh, terlalu “textbook” dan kurang emosiaonal.

Dangdut mewakili hati dan rasa-dalam (emotion) yang ingin dikatarsiskan tanpa sungkan. Ia adalah puisi dan pantun melayu yang menceritakan sedih sepedih-pedihnya, dan meluapkan kegembiraan sesenang-senangnya.

Dalam perspektif psikologis, dangdut sebagai sebuah medium ekspresi hati dan emosi adalah sebuah kajian yang menarik. Pada kesehariannya, manusia selalu membutuhkan sarana katarsis, yaitu medium kanalisasi dan ventilasi untuk menyalurkan, bahkan meluapkan apa yang ada dalam perasaan manusia.

Dangdut dalam hal ini mencoba untuk menyalurkan dua perasaan paling primitif manusia: susah (unpleasant) dan senang (pleasant). Maka, syair, lirik dan langgam dangdut sangat ekspresif untuk kedua hal ini. Bukan saja sangat ekspresif, bahkan mungkin “lebay”.

Ekspresi kesedihan dalam dangdut  begitu begitu dalam, sedangkan ekspresi kegembiraannya begitu eksplosif. Jika musik Barat mencoba mengekspresikan perasaan lewat nalar musik, maka musik dangdut mengeskpresikan emosi langsung dari sumbernya : hati!

Maka, dalam hal ini gendang memang menjadi penyaluran yang paling pas. Gendang adalah bahasa lain dari detak jantung (heart). Gendang adalah sesuatu yang sangat melankolis, itu membedakannya dengan drum.

Pada gendang, ada persentuhan langsung antara emosi manusia dengan alat ekspresinya, sedangkan pada drum antara emosi dengan alatn ekspresinya masih membutuhkan perantaraan dua buah stick.

Beat pada dangdut terasa begitu ekspresif, baik pada keras-lunaknya, maupun pada panjang pendeknya. Maka muncullah nama itu : Dang… Duuuuuut…. Dan secara psikologis kita akan merasakan : “Dang” lebih banyak mengekspresikan emosi senang (pleasant), sedangkan “Dut” lebih banyak mengekspresikan emosi sedih (unpleasant).

Memang kemudian ada tawaran yang sedikit berbeda dari “pakem” dangdut pada musik yang ditawarkan oleh Sang Maestro Dangdut, Bang Haji Rhoma Irama. Dangdut pada versi Bang Haji dengan Soneta Groupnya adalah dangdut yang lebih “bercerita” daripada sekadar “merasa”.

Maka, Bang Haji kemudian lewat dangdut juga masuk ke tataran pengalaman, peristiwa, nasihat dan dakwah. Ini memang bukan dangdut untuk bergoyang. Namun, sebagaimana esensi dasarnya seperti yang diungkap di atas, dangdut ala Rhoma Irama dan Soneta Group tetap saja tak lepas dari ekspresi emosi terdalam manusia Indonesia.

Namun, tentu saja manusia Indonesia “tak boleh” terus-menerus berdangdut ria. Dangdut, sama sekali tidak dalam tendensi melecehkan, bagaimanapun adalah sarana katarsis emosi primitif manusia.

Dalam perspektif psikoanalisis, dangdut adalah perwujudan dari insting eros (gairah kehidupan) dan thanatos (gairah kematian) manusia.

Goyang pinggul pada ekspresi goyang dangdut adalah sebentuk katarsis seksualitas, dan itu pula sebabnya kenapa dangdut adalah musik kawasan prostitusi pinggiran, tradisi saweran organ tunggal Pantura, dan sebagainya.

Terus-menerus bermain pada tataran instingtif, akan membuat kita kehilangan daya kendali, etika, nalar dan adab. Bukankah sesekali “topeng” (persona) itu perlu untuk kita kenakan ? Bukankah di “luaran” sana aurat-aurat itu memang seharusnya kita sembunyikan ? Wallahu a’lam.

 

Jakarta, 8 Maret 2014

 

 

*Adriano Rusfi adalah Konsultan Sumber Daya Manusia (SDM) dan mastermind dari kaderisasi Leadership Motivational Days (LMD) Masjid Salman ITB.

The post Psikologi Daang…. Duuuut appeared first on Masjid Salman ITB.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618