Saat itu malam di sebuah bus antar kota. Televisi yang bercokol di bagian depan atas bus tengah menyala. Apa yang ditayangkan sungguh bikin nyali bergidik. Perempuan-perempuan berpakaian “kurang bahan” tengah melakukan manuver goyang yang syurr.
Siangnya tak jauh beda. Kali ini di elf antara Cikijing dan Bandung. Sayup-sayup, terdengar alunan lirik yang dinyanyikan seorang biduanita bersuara binal. Liriknya kira-kira begini, “Nggak zaman, punya pacar Cuma satu… Nggak zaman, jadi cewek harus setia….”
Tampanya, pengemudi maupun penumpangnya sudah “memasrahkan” telinga mereka mendengar lagu atau video macam itu.
***
Dahulu dangdut tidak sevulgar kini. Menurut Mohammad Salafi Handoyo, Pengelola Byar Creative Industry dalam artikelnya yang bertajuk “Membangun Identitas Dangdut” (http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=147 ), bergesernya selera rakyat adalah penanda atas proses pembanding dan gejolak berpikir rakyat atas kehidupan sosial.
Gegar budaya terjadi saat masyarakat mengalami fase perubahan– dari masa Orde Baru yang serba terkekang, ke masa Reformasi, di mana media terbebas dari jerat Departemen Penerangan Soeharto.
Dengan kata lain, evolusi musik dangdut merupakan evolusi dari wajah kehidupan sosial masyarakat Indonesia sendiri. Dangdut, dalam hal ini, merupakan bagian dari produk seni yang ditujukan untuk mencari keuntungan alias berorientasi industri.
Akibatnya, bisa kita lihat. Musik dangdut kini terkenal dengan pakaian dan goyang penyanyi, serta lirik yang tidak senonoh. Tak usah pusing-pusing memikirkan nilai filosofis, toh masyarakat suka.
Protes keras berdatangan dari berbagai kalangan. Banyak yang menilai, tayangan dangdut di televisi telah melanggar nilai asusila. Kesannya, musik dangdut identik dengan pertunjukkan yang mengundang birahi.
Menurut Ketua STSI Bandung, Arthur S. Nalan, kombinasi musik dan lirik yang sederhana membuat dangdut sering dijadikan sebagai pelarian, atau kompensasi untuk menghibur diri dari kepenatan hidup.
Musik dangdut dengan ritme yang dinamis, membuat pendengarnya ingin bergoyang. Saat tubuh bergerak, saat itulah si penikmat mengekspresikan diri. Dengan begitu, kesedihan atau masalah orang tersebut terlupakan sejenak. Inilah mengapa dangdut identik dengan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
“Sebenarnya kalau kita lihat siapa dan untuk apa mereka mencipta musik dangdut, itu cenderung dari pengalaman-pengalaman yang sederhana, tidak rumit, dan umum,” tutur Arthur, saat diwawancarai di ruang kerjanya, Jum’at (21/2) lalu.
”Selain itu juga mudah diikuti, ditiru, dinyanyikan. Sebetulnya tidak memiliki bobot filosofi yang tinggi. Polanya lebih seperti keseharian, karena itu disebut kesenian rakyat,”
Predikat dangdut sebagai ‘musik pelarian’ menguat pada tahun 2000-an, di mana masyarakat dinilai ‘lelah’ setelah mengalami konflik politik berkepanjangan. Musik dangdut a la organ tunggal yang menampilkan penyanyi perempuan berpakaian seksi dan aransemen musik dinamis, semakin terangkat. Lambat laun selera masyarakat bergeser, dari genre Rhoma Irama, ke Inul Daratista.
Di sinilah pentingnya pendidikan apresiasi seni. Arthur, yang lama meneliti soal pertunjukkan dangdut mengatakan, sistem pendidikan Indonesia tak menyokong pengetahuan tentang apresiasi seni. Imbasnya, masyarakat tak terbiasa mengkritisi produk seni.
“Seni itu ragamnya banyak. Prosesnya mengenali dulu. Persoalannya dalam pendidikan kita apresiasi seni tidak dijadikan sebagai upaya untuk mengenalkan,” terang Arthur. Di samping itu seni massa, cenderung tidak memiliki nilai-nilai filosofisnya.
Padahal musik dangdut memiliki potensi besar sebagai penyebar nilai-nilai kehidupan. Musiknya sendiri yang begitu atraktif, tidak usah digugat lagi. Persoalannya kini ialah liriknya.
“Menurut saya dangdut, kalau di dalam konteks liriknya harus dibangun lirik yang tidak melulu berbicara soal keseharian. Sekarang kan ada juga dangdut Islami. Liriknya membahas soal siapa kita, kita mau ke mana,” pungkas Arthur.
Mesti Ditujukan Pada Kelompok yang Tepat
Sosiolog Unisba, Kiki Zakiah Darmawan mengatakan, pesan yang disampaikan media massa akan diterima masyarakat berdasarkan pengalaman mereka masing-masing.
Meski seniman memberikan karya seni bila masyarakat tak memiliki pengetahuan soal seni musik dan pertunjukkan, maka pesan yang dimaksud tidak akan sampai. Jatuhnya, lagi-lagi, hasrat birahi yang timbul. Apalagi mengingat penyanyi dangdut masa kini yang terkenal dengan perempuan berpakaian seksi dan lirik yang seronok.
Seharusnya, apa yang dimaksudkan si pemusik akan sama dengan si penikmat. Kalau sekarang kan tidak. Harusnya ada literasi media,” tutur Kiki, saat diwawancarai pada Rabu (5/3).
Dengan kata lain, tak semua sajian pertunjukkan dangdut dapat diapresiasi dengan tepat oleh masyarakat secara luas. Meski begitu, dari sudut pandang industri, poin penting tersebut sengaja diabaikan demi profit yang besar. “Masyarakat, tanpa disadari telah menjadi pekerja media tanpa dibayar,” imbuh Kiki.
Pertunjukkan dangdut jelas tak bisa dihindari secara utuh. Dangdut pada dasarnya begitu dekat dengan kita. Begitu pula dengan pola seni massa, yang hanya mempedulikan selera pasar tanpa memperhitungkan nilai-nilai konten yang disajikan.
Kita sendiri sebagai konsumen sepatutnya meliterasi diri dan lingkungan kita agar bisa mengapresiasi seni secara tepat. Caranya, tentu tergantung dari koridor paham dan ideologi yang kita pegang kuat.***
The post Menyembuhkan Binalnya Dangdut appeared first on Masjid Salman ITB.