oleh: Dhitta Puti Sarasvati*
Berbicara mengenai kesetaraan pendidikan, dalam bahasa Inggris ada istilah “equal opportunities”, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama (dalam hal ini untuk memperoleh pendidikan). Ada juga istilah “equity” yang artinya kesempatan tidak sama, tapi lebih adil. Artinya, yang membutuhkan memperoleh lebih banyak support daripada yang tidak membutuhkan.
Dalam bahasa sederhana, “equal opportunities” di bidang pendidikan berarti setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang berkualitas tanpa terkecuali latar belakang sosial, ekonomi, budaya, maupun kondisi siswa.
Sedangkan kalau “equity” di bidang pendidikan berarti bahwa mereka yang termasuk kelompok marginal, mereka yang misalnya memiliki kebutuhan khusus, mereka yang tidak punya tempat tinggal, mereka yang punya masalah belajar, dan sebagainya justru memperoleh dukungan lebih untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Mereka yang sudah tergolong privilliged atau sudah memperoleh keuntungan (karena kondisi sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, dan sebagainya) tetap memperoleh support dalam hal pendidikan tapi yang justru lebih di-support adalah mereka yang benar-benar membutuhkan.
Di Indonesia sendiri, boro-boro dalam hal “equity”, di level “equal opportunities” saja belum tercapai. Masihkah ada yang dipersulit dalam memperoleh pendidikan? Apakah setiap anak di Indonesia, tanpa terkecuali, diberikan akses untuk memperoleh pendidikan berkualitas?
Ambil contoh, ada beberapa teman-teman yang mengajar anak di rumah tahanan. Mereka adalah anak-anak yang berasal dari kehidupan yang biasanya sangat sulit, dari keluarga-keluarga broken home, secara ekonomi juga sangat sulit kehidupannya, dan biasa hidup dalam lingkungan yang keras.
Mereka justru butuh perhatian lebih dari pemerintah. Pendidikannya tidak bisa seperti anak-anak lainnya, mereka butuh dukungan psikologis, program pendidikan khusus, sehingga akhirnya kalaupun mereka keluar dari rumah tahanan mereka bisa hidup dengan lebih baik, punya keterampilan, dan secara emosional pun lebih stabil.
Faktanya, anak-anak ini justru hanya memperoleh pendidikan yang sangat minim. Hanya dua kali seminggu, kurang lebih dua jam setiap pertemuan. Itu pun hanya belajar baca tulis dan belajar beberapa keterampilan lainnya.
Belum lagi kalau kita bicara mengenai anak jalanan, anak-anak yang berkebutuhan khusus, dan sebagainya. Banyak diantara mereka yang malah ditinggalkan, diabaikan, dan dibiarkan berjuang sendiri untuk memperoleh hak pendidikan. They are left behind.
Kasus-kasus tersebut baru kasus-kasus yang terjadi di kota. Itu belum bicara yang di daerah. Di daerah masih banyak sekolah yang kekurangan guru, akses terhadap informasinya sangat terbatas, baik secara kuantitas maupun kualitas, kondisinya sangat memprihatinkan. Yang jelas kondisinya masih sangat parah.