Jelang ajang Pemilihan Umum (Pemilu) Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, suasana politik Indonesia makin memanas. Masyarakat diterpa informasi-informasi tak jelas tentang kedua pasang calon. Semakin sulit untuk memilih sumber mana yang kredibel dan dapat dipercaya, terutama dalam konteks kampanye hitam atau black campaign.
Media sosial memiliki sifat lalu lintas yang dinamis. Karakter tersebut kini membuat media sosial kerap dimanfaatkan sebagai medium black campaign. Pelakunya bukan lagi tim sukses atau kandidat sendiri, melainkan pertarungan antara masyarakat yang memiliki preferensi politik bebeda.
Menurut Mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)Pusat, Dadang Rahmat, media sosial banyak dipakai karena akun-akunnya dapat disamarkan. Pengawasan akan hal tersebut juga dirasa sulit, mengingat media sosial tidak tercakup dalam Undang-Udang.
“Tinggal sekarang ini bagaimana masyarakat mau percaya atau tidak. Kalau percaya (pada black campaign-Red) dan sudah punya preferensi politik tersendiri, begitu ada informasi entah berbentuk black atau negative campaign yang menguntungkan preferensinya, akan dia broadcast lagi. Tapi kalau tidak, dia diamkan, bahkan melawannya,” paparnya saat ditemui di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Senin (9/6).
Pria yang berprofesi sebagai dosen ini menjelaskan, black campaign merupakan kampanye yang bersifat fitnah dan tidak berdasarkan bukti yang jelas. Penyebarannya bisa dilakukan lewat komunikasi langsung alias tatap muka, atau lewat media. Black campaign tak bisa disebarkan melalui media massa, karena dapat menimbulkan masalah hukum bagi media yang bersangkutan. Menurut Dadang, hal itu menjadi salah satu penyebab mengapa black campaign menjamur di media sosial.
Negative campaign, di sisi lain merupakan penyebaran informasi negatif dengan tujuan untuk mengurangi citra positif lawan politik, yang bersifat nyata atau faktual. Kampanye macam ini boleh saja dilakukan, karena data yang disebarkan bukan data fiktif. Meski begitu, Dadang mengaku tak terlalu menikmati kedua kampanye tersebut, baik black maupun negative campaign.
“Tidak usahlah membicarakan kejelekkan orang lain. Kita perkuat saja nilai-nilai positif yang ada dalam diri kita. Kalau bahasa saya, menang tanpa mengalahkan, menjadi terbaik tanpa menjelekkan,” tuturnya.
Dadang juga menerangkan, pada prinsipnya proses komunikasi politik bertujuan agar pesan-pesan yang dirancang dapat memberi dampak yang baik. Secara etis, seharusnya proses komunikasi politik menggunakan cara yang sesuai norma, baik norma hukum maupun etika.***