Isu penyakit kejiwaan kembali merebak saat aktor veteran Hollywood, Robin Williams tewas bunuh diri akibat depresi akut. Kondisi naas itu dipicu oleh penyakit Skizofrenia yang dideritanya dalam waktu cukup lama. Seorang mahasiswa Magister Universitas Indonesia, Ryan Ignatius, juga membuat heboh dengan pengajuan disahkannya hak bunuh diri bagi warga. Di sisi lain, meski begitu menyita perhatian publik, kasus penyakit kejiwaan dan penderitanya masih dianggap momok, bahkan tabu untuk dibicarakan.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan 1 dari 9 orang Indonesia mengidap gangguan jiwa. Sekitar 19 juta penduduk menunjukkan gejala gangguan emosional, seperti kecemasan dan depresi. Sedangkan sebanyak 1 juta penduduk, menderita gangguan jiwa berat. Situs resmi Kementerian Kesehatan menyatakan, dari jumlah sebanyak itu sedikit sekali penderita yang datang ke fasilitas pengobatan.
Menurut dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RS Al-Islam Bandung, dr. Untung Sentosa, SpKJ. Mkes. FIAS, mayoritas masyarakat masih malu membicarakan kondisi kejiwaannya. Selain itu, minimnya penyuluhan membuat mereka awam atas gejala-gejala yang dialami.
“Orang menganggap, ‘Oh, dia temperamental.’ Nggak ada juga orang yang ke dokter bilang, ‘Dok, saya sedih.’ Kasusnya dianggap sepele,” kata Untung, saat dihubungi pada Senin (6/10).
Untung pun mengungkapkan, kebanyakkan pasien kejiwaan pun datang karena dirujuk oleh dokter umum atau dokter spesialis. Biasanya, mereka melaporkan keluhan fisik seperti maag berulang, sakit kepala, jantung berdebar-debar, dan keringat dingin berlebihan.
Namun gejala utama yang harus diperhatikan, menurut Untung ialah ketidakmampuan seseorang mengendalikan emosi. Dalam otak manusia, ada ‘mekanisme rem’ yang disebut sebagai ‘inhibisi’. Mekanisme ini memungkinkan kita untuk mengendalikan emosi, khususnya untuk mengalami emosi yang tepat pada saat yang tepat pula. Bagi penderita gangguan emosi, ‘mekanisme rem’ ini blong, sehingga muncul emosi yang salah.
“Sedang berkendara tiba-tiba dia nangis, merasa sedih. Atau pulpen jatuh, marahnya besar sekali. Ia tahu, baik cemas, sedih, marah, atau gembiranya tidak sesuai (dengan keadaan –Red.). Tapi dia tidak bisa mengendalikan,” paparnya.
Ironisnya, penderita kerap mencari pembenaran. Padahal seharusnya ia berkonsultasi pada petugas kesehatan. Stigma negatif pasien psikiatris begitu besar hingga gangguan ditutup-tutupi.
“Psikiater itu kan sering dikaitkan dengan orang gila. Padahal gangguan emosi dan orang gila di jalanan itu beda, mereka biasanya (penderita –Red.) skizofrenia,” tambah Untung.
Bisa Menular
Gangguan emosi pada seseorang dapat menular ke orang-orang di sekitarnya. Misalnya, suami yang sering memarahi istri. Oleh karena tidak paham kondisi suaminya, sang istri kemudian stres karena merasa kehilangan sosok suami ideal. Situasi yang sama dapat terjadi pada bawahan yang sering menjadi pelampiasan amarah atasan. Orang tua yang mengalami trauma kehilangan pada masa kecil pun dapat ‘menulari’ gejala gangguan emosinya pada sang anak.
Biasanya, gangguan emosi muncul akibat rasa kehilangan yang mendalam. Untung menjelaskan, besarnya kemungkinan tertular, karena rasa sakit kehilangan dapat dialami oleh siapa pun. Rasa kehilangan itu dapat sesuatu yang memiliki wujud riil, seperti barang atau sosok yang dicintai, hingga yang abstrak seperti pengakuan orang tua atau harapan dan cita-cita.
“Dia merasa kehilangan, sedih. Dia mencoba me-rem, tapi karena terlalu lama dan berlebihan, akhirnya remnya blong,” ujarnya.
Untuk mencegahnya, jangan memendam emosi negatif dalam waktu yang lama. Untung menyarankan, ekspresikanlah emosi tersebut. Jangan pula menanggulangi trauma kehilangan seorang diri.
Di sisi lain, Untung juga menghimbau agar lingkungan tidak memperlakukan penderita gangguan emosi dengan seenaknya. Jangan pula tersinggung saat orang itu memarahi kita tanpa sebab atau pada situasi yang tidak wajar.
“Sarankan saja dia untuk berobat, tapi jangan waktu dia sedang marah,” pungkasnya.[ed:Tr]