Sebuah video penganiayaan oleh anak-anak tersebar di dunia maya. Video tersebut menggambarkan seorang anak perempuan berkerudung yang dihujani tendangan dan pukulan oleh kawan-kawannya. Disinyalir, peristiwa itu terjadi di sebuah Sekolah Dasar di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Video itu sontak mendapat perhatian khalayak. Mayoritas menyalahkan pihak sekolah dan teman-teman korban yang tidak berbuat apa-apa. Namun tahukah Anda, bahwa dalam setiap peristiwa bullying ada sesuatu yang salah pula pada diri si korban?
Baik pelaku maupun korban bullying rata-rata berasal dari kondisi rumah yang tidak sehat. Konsep parenting yang buruk, membuat anak-anak itu tidak memiliki konsep diri yang kuat. Pelaku bullying justru merupakan korban terberat, karena sampai mampu berpikir bahwa menyakiti orang lain sah-sah saja. Di sisi lain, pihak korban pun memiliki semacam “ciri khas” yang membuatnya rentan dianiaya.
“Karena orang dengan konsep diri yang kuat, bahkan anak-anak pun tahu bahwa bullying itu salah. Jadi bisa membela diri, dengan tegas menunjukkan bahwa apa yang kamu lakukan itu salah. Tapi rata-rata korban bullying kan diam,” papar Koordinator Selamatkan Generasi Emas Indonesia (SEMAI) 2045, Elma Fitria, Senin (14/10) kemarin.
Pencetus gerakan tanam bibit unggul di satu abad usia Indonesia itu menyatakan, ada perasaan yang dimatikan dalam diri anak-anak bermasalah. Misalnya, anak yang menangis atau merengek disuruh diam, bahkan dimarahi oleh orangtuanya. Padahal itu adalah cara si anak menyampaikan perasaan. Akhirnya anak terbiasa memendam pikirannya, seperti korban dalam video tadi.
Dalam SEMAI sendiri, generasi masa kini mengalami BLAAST, yakni bosan (Bored), kesepian (Lonely), takut (Afraid), marah ( Angry), Stres (Stress), dan lelah (Tired). Mereka dipacu agar lebih cepat dalam segala hal, hingga bosan dengan rutinitas. Mereka pun kesepian karena tidak memiliki komunikasi yang baik dengan orangtua. Di sisi lain, anak-anak merasa takut. Takut dengan tekanan pertemanan dan tren remaja. Mereka juga merasa marah, kemudian stres. Pada akhirnya anak-anak itu akan kelelahan, lalu mencari pelampiasan “amarah”-nya pada hal-hal yang buruk, seperti kekerasan dan pornografi.
Ketidakpunyaan anak akan konsep diri sebenarnya berasal dari orangtua yang salah persepsi soal pernikahan. Elma menyayangkan kebanyakkan pemuda saat ini yang menganggap pernikahan sebagai ajang berpacaran yang legal. Padahal ada visi dan misi yang jauh lebih mulia dari itu.
“Itu saling sambung menyambung semuanya. Makanya dari awal orangtua harus benar-benar memahami dirinya dan peran dirinya di dunia, sehingga tahu pernikahan itu membangun apa,” ujarnya.
Anak yang kuat berasal dari rumah yang kuat. Rumah yang kuat pun berwujud dari kerjasama anggota keluarga yang solid. Memastikan dan mengukuhkan jati dirilah yang dapat mewujudkannya. Akhirnya, menentukan tujuan pernikahan mampu mencegah anak dari ancaman bullying, Insya Allah. [Ed: Dh]