Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Parlemen Setan dan Perspektif Utuh

$
0
0
Salah satu adegan dalam pertunjukan "Parlemen Setan" Jumat (30/1)lalu.

Salah satu adegan dalam pertunjukan “Parlemen Setan” Sabtu (30/1)lalu.

Hidup ini bagai gambar gestalt. Sebuah gambar yang menyatukan dua bentuk gambar atau lebih. Kita bisa melihat salah satunya dan menafikan gambar yang lain dengan cara menentukan perspektif mana yang akan kita gunakan. Melihat gambar seorang nenek tua pada satu sisi, ataukah memandangi sosok wanita muda pada sisi lainnya.

Begitulah yang saya tangkap dari perkataaan si Reuben dalam novel Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh karya penulis kenamaan, Dee. Dengan jeli, Dee menawarkan sebuah tuntunan pada kita agar menentukan manakah perspektif yang terbaik bagi kita untuk melihat kehidupan. Kiranya agar kita tak tersesat dalam perspektif yang memuakkan diri kita sendiri tetapi dengan terpaksa mesti kita jaga.

Pertunjukan naskah “Parlemen Setan” oleh Teater Menara Salman, Jumat (30/1) dan Sabtu (31/1) lalu, di Gedung Serba Guna Masjid Salman ITB, merupakan salah satu cara pandang dalam melihat kehidupan. Ia menjadi perspektif yang kritis terhadap realitas. Dengan berani, Sutradara Ius Kadarusman mementaskan drama satir yang kontras menjadi sisi di balik cermin realitas saat ini.

Menggunakan sarana “setan”, ia mendeskripsikan bagaimana manusia selalu berkreasi dalam membuat kerusakan di muka bumi. Dalam satu adegan, misalnya, tokoh Wewe Gombel kedapatan sedang menangis oleh Cak Ifrit. Saat ditanya sang jin, Wewe Gombel menjawab, “Aku menangis karena aku sudah tidak bisa mendapatkan bayi lagi. Manusia sekarang lebih dahulu membunuh bayi-bayi tersebut bahkan sebelum mereka dilahirkan. Mereka datang ke dukun-dukun, meminum obat-obatan, untuk mengingkari kenyataan bahwa mereka tidak ingin mempunyai anak dengan cara yang tidak mereka kehendaki.”

Pernyataan tersebut, saya pikir merupakan refleksi dari banyak wanita saat ini yang melakukan tindak aborsi pada kehamilannya atau membunuh anaknya sesaat setelah kelahiran. Sebuah perbuatan tercela karena menghilangkan hak hidup seseorang. Sebuah pemutusan satu generasi umat manusia.

Kemudian, realitas lain yang dipinjam Sutradara Ius Kadarusman terhadap naskahnya, memberikan warna perspektif dalam melihat realitas yang sebenarnya. Ia menjadi stimulus baru yang akan direspon para penontonnya untuk mencoba merefleksikan kehidupan “tidak hanya” dengan satu perspektif saja.

Karena seperti itulah kiranya, bukti keunggulan seni daripada sains. Intuisi daripada positivisme. Estetika daripada logika. Sebuah pertunjukan karya seni, merupakan pengejawantahan sepucuk intuisi dengan menggunakan teknik-teknik yang riil. Ia memakai, atau bisa jadi meminjam, benda-benda fisik untuk menggambarkan satu hal, yaitu keutuhan.

Kata terakhir merupakan cita-cita agung para filsuf kehidupan sejak berabad-abad yang lalu. Untuk mencapai keutuhan, para filsuf tersebut menggunakan cara, atau yang saya tekankan sebelumnya –perspektif, masing-masing. Ada yang memakai keheningan, ada yang memakai dialektika, ada pula dengan eksperimen, dan cara-cara lain.

Kemudian yang paling menarik adalah, bahwa keutuhan merupakan refleksi dari Tuhan dan/atau nilai ketuhanan. Ia Esa, Satu, dan Tidak Terbagi. Maka bisa jadi begitulah kehidupan. Ia adalah lingkaran. Roda yang terus berjalan, sebuah siklus untuk berputar. [ed: Dh]


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Trending Articles