Untuk mempermakmur wawasan, menonton film sejarah sembari leyeh-leyeh bisa jadi salah satu cara. Setidaknya, inilah cara saya. Apalagi, ketika aktiviti-aktiviti perkuliahan nan padat kian menerjang. Buku-buku sejarah bertebal sekian senti seakan hanya menjanjikan perannya sebagai dewa pengantar tidur.
Sudah cukup lama saya menonton sebuah film sejarah. Ini tentang sastrawan tersohor Rusia, Leo Tolstoy di penghujung hayatnya. Perseteruan dengan istrinya soal pembagian harta, dinamika beberapa pengikut pahamnya , serta lalu lalang kehidupan di desa Yasnaya Polyana– didramakan dalam sinema berjuluk “The Last Station”.
The Last Station mengarak Anda ketika Leo (Christopper Plummer) tua mengalami on-off-relationship dengan istri bawelnya, Sophia Andreevna Behrs (Helen Mirren). Sang istri ngotot memperjuangkan harta pribadi keluarganya– hanya untuk keluarganya semata. Sedang Leo, kompak dengan anaknya Sasha Tolstoya (Anne Marie-Duff), berikrar bahwa harta keluarga murni milik rakyat. Semuanya terjadi di Yasnaya Polyana, “ladang” strategis Leo menebar bibit paham Tolstoy-an khas rajangannya.
Bagi mereka yang mendamba makmur, Yasnaya Polyana menjelma bak desa utopis. Jiwa-jiwa resah Rusia tempaan pemerintahan diktator, terbujuk untuk merapat ke dalam. Termasuk seorang pria lugu penganut Tolstoyan taat bernama Valentin Fedorovich Bulgakov (James McAvoy).
Lika-liku berputar pada poros konflik kepentingan. Konfilk terjadi antara pengikut Leo yang kebelet melancarkan revolusi dengan Sophia si familisentris. Valentin, yang kemudian diangkat menjadi sekretaris Leo pun dilanda bimbang. Perlahan, Valentin bersimpati pada Sophia yang doyan curhat. Valentin pun dibikin gelisah oleh penduduk Yasnaya Polyana bernama Masha, dengan segala sexual appeal yang perempuan tersebut miliki. Membuatnya berpikir dua kali mengenai esensi dari keperjakaan. Keperjakaan yang selama ini ia teguh pelihara sampai kelak tiba pernikahan.
Harta dan Keperjakaan
Film ini setidaknya menyembulkan dua perihal yang gatal ingin saya mengupasnya. Tentu dalam perspektif Islam tak seberapa, namun sekiranya saya paham.
Satu, masalah harta kekayaan pribadi.
Islam tidak melarang manusia untuk menjadi kaya. Justru harus! Oleh karena itu, Rasulullah menganjurkan membuka usaha. Satu catatan selingan, sebagai pendakwah, beliau tidak menerima bayaran akan pekerjaannya tersebut. Namun, ia menafkahi segala kegiatan rumah tangganya melalui berdagang. Beberapa melalui hadiah dan shodaqoh yang ia terima dari sesama muslim– tanpa meminta.
Yang dilarang oleh Islam adalah tindakan “menimbun” harta, serta menghalanginya untuk dimanfaatkan oleh manusia secara umum. Oleh karena itu, Islam menetapkan konsep zakat. Konsep zakat sendiri cukup sederhana. Ketika seseorang atau sebuah perkumpulan telah memiliki harta yang melewati sebuah nisab, mereka wajib membayar zakat. Secara umum, seorang Muslim cukup membayar minimal 2,5% dari harta yang mereka miliki pada badan sah pengelola harta umat.
Saya tidak tahu Leo Tolstoy menghibahkan hartanya keseluruhan kepada rakyat– atau cuma sebagian saja. Namun, jika ia memakai konsep pakem zakat– tentu percekcokan dengan istri dapat terminimalisasi. Apalagi, konsep zakat tidak menuntut orang untuk menyerahkan keseluruhan hartanya untuk umat (walaupun Abu Bakar r.a. pernah mendermakan seratus persen hartanya dan percaya Allah akan memberinya rezeki tersendiri). Ini dengan catatan Leo dan Sophia paham dan percaya benar– konsep zakat Yang Maha Kuasa merupakan konsep pakem yang murni keabsahannya. Jadi, pasutri tersebut tidak perlu keroyokan lagi mempertahankan logika manusia yang masing-masing dipunyai.
Dua, mengenai penggambaran tokoh Valentin sebagai seorang yang lugu dan terkesan lemah. Ditambah, Valentin malang ini digambarkan begitu mati-matian mempertahankan keperjakaannya. Ini semakin memperkuat pencitraan yang bagi saya fatal. Orang yang mempertahankan keperjakaan adalah si lugu yang lemah lagi culun. No wonders, pencitraan-pencitraan serupa membuat warga dunia termantrai agar memilih untuk menuntaskan hajat seksual mereka sebebas-bebasnya. Keperjakaan yang dipelihara sampai menikah seolah dipandang sebagai gaya hidup usang. Pemahaman ini bahkan cukup merambah subur di Indonesia, sepemandangan saya.
Sedangkan sebagai Muslim, tentu, berzina adalah salah satu dosa terbesar yang tercantum dalam Qur’an. Simak An-Nur ayat 2-4.
Namun, para sahabat yang mempertahankan keperjakaan pada zaman Rasul tidak dicitrakan sebagai seseorang yang lemah lagi polos. Termasuk Rasulullah SAW sendiri.
Sebagai seorang perjaka, Rasulullah muda begitu disegani. Selain sebagai seorang pedagang handal, beliau pun dipandang cakap oleh elit-elit pemerintahan di Makkah. Dalam menentukan pemindahan Hajar Aswad akibat bencana, Rasulullah bahkan dipercaya sebagai penentu keputusan. Partisipasinya di lembaga swadaya masyarakat bertajuk Hilful Fudhul tak perlu Anda sangsikan.
Merupakan sebuah PR: bagaimana cara untuk membuat tidak melakukan hubungan seksual pranikah is the new trend.
***
Ini hasil telaahan amatir saya.
Mohon maaf jika tulisan ini bukanlah berbentuk sebuah analisis mendalam bak tugas akhir mahasiswa. Dengan tulisan ini, saya berharap agar Muslim-Muslimah lain tidak asal lahap saja ketika mendapatkan “asupan” luar. Baik itu membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, mengamati lalu lintas pemberitaan media, bahkan sampai sahabat yang memberitakan sebuah kabar.
Pun jangan, seorang pribadi Islam menutup mata terhadap realitas yang ada. Walaupun terdapat berjuta hal bathil di depan mata, mau tak mau kita dituntut untuk menelaahnya secara cerdas. Kita dituntut tahu bagaimana cara mengatasinya secara syar’i namun cantik. Demi ummat.
Telaah Film “The Last Station”: Pilih Keluarga atau Rakyat? from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami