Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Korupsi Politik: Salah Sistem atau Oknum?

$
0
0

(gambar: matanews.com)

Korupsi itu persoalan sistem atau oknum? Demikian salah satu pertanyaan yang mengemuka dalam Diskusi Politik: “Partai Politik Masih Perlu Ga Sih? Mencari Akar dan Solusi Korupsi Politik” di Bale Rumawat Unpad, Ahad (17/03) lalu.

Pertanyaan tersebut ibarat teka-teki telur dan ayam. Tak jelas mana yang lebih dulu muncul. Para narasumber dalam diskusi tersebut mencoba melemparkan sejumlah jawaban.

“Korupsi itu sistemik,” demikian pernyataan Prof. Dede Mariana selaku staf ahli Gubernur Jabar dalam sambutan mewakili Ahmad Heryawan. Sebab, ujar Dede, yang terlibat bukan hanya satu-dua orang melainkan demikian banyak politisi dan birokrat. Korupsi politik muncul karena partai politik membutuhkan sokongan dana. Celakanya, sokongan dana diperoleh dengan korupsi, yang pada dasarnya bermakna “penyalahgunaan kekuasaan”.

Indra Perwira, pakar hukum tata negara Unpad, juga sepakat dengan Dede. “Memang korupsi itu adalah ulah oknum. Akan tetapi ini terjadi karena ada celah dalam sistem,” ujarnya. Ia berpandangan, seharusnya ada aturan untuk mencegah celah tersebut.

Di sisi lain, Lucky Djani, Wakil Sekjen Transparansi Internasional Indonesia, menolak menyalahkan sistem sepenuhnya. Menurutnya, sistem politik apapun akan selalu dimanipulasi untuk mempertahankan kekuasaan.

“Tidak ada sistem politik yang kebal terhadap korupsi!” tegasnya. Menurut Lucky, mengutip Roberto Michels (pemikir politik Italia), partai politik akan cenderung terjebak dalam oligarki: kekuasaan yang dipegang segelintir elit. Para elit ini akan senantiasa beradaptasi dengan perubahan sosial, politik dan ekonomi. Korupsi hanyalah salah satu cara adaptasi mereka dalam mempertahankan kekuasaan.

Sederhanakan Sistem, Pangkas Biaya Politik

Meski demikian, Arif Wibowo dari DPP PDI-P, melihat tetap ada peluang untuk menutup celah korupsi dalam sistem politik. “Kembalikan sistem pemilu kita ke proporsional tertutup!” tegasnya. Yang berkampanye seharusnya menurut Arif adalah parpol, bukan lagi calon. Dengan sistem proporsional tertutup, yang akan membiayai dan bertanggung jawab terhadap kampanye adalah parpol dan bukan lagi calon.

Sistem pemilu proporsional tertutup dulu pernah diterapkan semasa Orde Baru sampai kepada Pemilu 2004 di era reformasi. Dalam sistem ini, calon anggota legislatif akan dipilih berdasarkan nomor urut di daftar caleg yang diajukan parpolnya ke KPU/KPUD. Pemilih cukup mencontreng parpol saja. Selanjutnya, parpol yang akan menentukan siapa yang akan duduk di parlemen. Namun, Arif menambahkan, perlu ada modifikasi dalam sistem ini. Parpol harus menjelaskan secara tertulis sistem rekrutmen dan seleksi calegnya kepada KPU.

Anis Matta, Sekjen PKS juga mendukung desakan Arif untuk kembali ke sistem proporsional tertutup. “Di Pemilu 2009, kita berebut konstituen, multi-front,” keluhnya. Para caleg bertanding bahkan dengan sesama kader partainya. Mau tidak mau, biaya kampanye menjadi membengkak. Parpol pun tidak lagi menjadi “sekolah” kepemimpinan nasional. “(tahun) 2009, sistem mengubah parpol menjadi ‘event organizer’ politik,” tukas Anis.

Mahalnya biaya kampanye dalam pandangan Anis Matta, turut menjadi pendorong timbulnya korupsi. Untuk itu, prosedur kampanye dan pemilu harus dibuat sederhana agar lebih murah. Selain kembali ke sistem proporsional tertutup, Anis mendorong pula agar biaya kampanye dibatasi. Caranya, iklan politik dan pengerahan massa perlu dikurangi, bahkan dihapus. Yang perlu diperbanyak menurutnya justru adalah debat politik untuk menguji narasi tiap parpol.

Arif menyimpulkan bahwa partai akan selalu beradaptasi terhadap realitas sosial yang berkembang, termasuk sistem pemilu yang berlaku. “Kalau sistemnya high cost, mau tidak mau partai akan mengikuti,” ujarnya. Perubahan regulasi pun bukan hal yang mudah karena regulasi pada dasarnya adalah hasil kompromi yang ditentukan mayoritas anggota DPR. “Warna mayoritas di DPR sebenarnya mencerminkan pula masyarakatnya,” ujarnya. Di titik inilah pendidikan politik masyarakat diperlukan. [Fe]

Korupsi Politik: Salah Sistem atau Oknum? from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Trending Articles