Bukahkah setiap orang berhak untuk mencintai, tanpa memandang status sosial, pendidikan, suku, bangsa dan ras? Bahkan untuk seorang anak jalanan yang tunawisma sekali pun. Cinta bisa hadir dalam kehidupannya tanpa diundang. Begitulah yang terjadi pada hidup perempuan yang biasa dipanggil Neng. Perempuan seperempat abad ini, telah melabuhkan rasa cinta yang dimilikinya pada seorang lelaki yang begitu dikaguminya. Sebut saja lelaki itu Eben.
Namun sayang, cinta yang tumbuh diantara Neng dan Eben itu tak sempat diresmikan dalam ikatan pernikahan yang sakral. Banyak sekali kendala yang menghampiri keduanya. Kemiskinan yang merantai hidup menjadi sebab utama. Ketiadaan biaya menjadi penyebabnya. Kehidupan yang serba sulit di tengah himpitan ekonomi kian hari semakin memberatkan. Ditambah lagi, mereka tak memiliki surat-surat catatan sipil seperti KTP dan akta kelahiran.
Tetapi cinta diantara sepasang anak jalanan tersebut tak bisa terpisahkan. Betapa pun kesulitan menghantam hidupnya, rasa cinta yang tumbuh itu semakin lama kian berbunga. Neng yang sehari-hari hidup di jalanan itu, akhirnya memutuskan untuk hidup bersama dengan lelaki yang sangat dipujanya itu. Meskipun tanpa ikatan yang sah dalam hukum agama.
Apa boleh buat. Jangankan untuk mengurus biaya pernikahan, untuk menyambung hidup sehari-harinya saja susahnya bukan buatan. Cinta yang suci itu, pada akhirnya menjadi terlarang. Cinta Neng pada Eben menjadi benih-benih dosa yang bisa membinasakannya kelak. Alasannya tentu saja, meskipun Neng belum menjadi istri yang halal buat Eben, mereka telah hidup bersama bertahun lamanya.
Tentu Neng tak sendiri. Ada banyak orang yang senasib dengannya. Mereka anak-anak jalanan yang selama ini termarjinalkan. Bukan hanya Neng, dua rekannya yang lain malah ada yang sudah mempunyai anak. Mereka hidup bersama layaknya keluarga yang sah. Padahal tentu saja, tak ada ikatan pernikahan di antaranya.
***
Melihat kondisi seperti itu, sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Kampus Peduli (K-Ped) menggelar kegiatan nikah massal untuk anak jalanan. Acara itu diberi nama “Maret-Merit-Berkah, Ketika Cinta Dihalalkan”. Kegiatan itu sendiri berlangsung di pinggir bantaran sungai Cikapundung. Tepatnya di Jalan Sangkuriang Kampung Manteos RT 06 RW 13 Kecamatan Coblong, Bandung.
Ketua umum K-Ped, Ma’mun Salman mengatakan,”Acara nikah massal ini digelar sebagai upaya untuk menyadarkan para anak jalanan agar tidak melakukan zinah dan sex bebas.” Kampus Peduli (K-Ped) merupakan organisasi nirlaba yang fokus pada kegiatan-kegiatan sosial. Anggotanya merupakan mahasiswa dari 12 kampus se-Kota Bandung. Saat ini tercatat ada sekitar 177 mahasiswa yang tergabung dalam keanggotaan K-Ped.
Hari itu tanggal di kalender menunjuk angka 24 Maret 2012. Sesuatu yang tak biasa terjadi di bantaran 13 sungai Cikapundung. Gubuk yang berada di pinggir sungai itu seketika menjadi indah dan memikat layaknya pelaminan. Sekelompok anak jalanan dengan busana lusuh dan muka kumal datang menghadiri acara tersebut. Tak ketinggalan para orangtua, pengamen, pengemis yang juga tinggal di jalanan pun semua tumpah-ruah di lokasi acara. Warga setempat pun ikut bahu-membahu membantu menyukseskan acara pernikahan.
Satu per satu pengantin pria bergiliran mengucapkan ijab kabul. Tepuk tangan dan sorak gembira dari masyarakat yang menghadiri acara tersebut membahana. Senyum sumringah terpancar jelas dari wajah para pengantin itu. Sesuatu yang lama diimpikan itu, akhirnya mewujud menjadi nyata.
“Akhirnya jadi suami-istri yang sah juga …” ujar salah seorang pengantin pria.
Setelah para pengantin pria selesai mengucapkan ijab kabul, para pengantin perempuan keluar dari gubuk yang disulap menjadi pelaminan tersebut. Acara kemudian dilanjutkan dengan prosesi penyerahan mahar dari mempelai pengantin pria kepada pengantin perempuan. Kemeriahan semakin menjadi. Orang-orang yang berdatangan semakin banyak. Pengantin akhirnya kembali ke pelaminan. Masyarakat yang hadir, satu per satu memberikan salam dan ucapan selamat kepada para pengantin.
Lilis, salah seorang pengantin perempuan mengatakan,”Saya berharap bisa mempunyai surat nikah. Biar ke depannya bisa dimudahkan dalam segala urusan yang ada. Mudah-mudahan pernikahan saya ini bisa langgeng sampai ajal menjemput …”
Suara gamelan bertabuh ceria. Suling, kecapi, kendang saling beradu suara membentuk perpaduan musik etnik sunda yang harmoni. Sesekali suara sinden melengking. Tepuk tangan para hadirin yang hadir, tawa dan keceriaan tampak jelas terlihat dari para pengantin saat bersalaman dengan masyarakat yang hadir….***
Maret-Merit, Menghalalkan Cinta yang Terlarang from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami