Bayangkan sebuah negeri di mana lempeng-lempeng tektonik saling bertaut. Lempeng-lempeng tersebut berpotensi untuk saling bertumbuk tiap saat. Belum lagi, rangkaian vulkanik yang membingkai negeri tersebut dapat saja membatukkan isinya secara akut maupun lemah. Bencana alam begitu rentan terjadi. Mirisnya, negeri di mana saya sekarang menginjakkan kaki ialah pemilik profil geografis tersebut.
Penduduk Indonesia bagai hidup dalam naungan ring of fire. Seolah, rundungan bencana tak kunjung putus di negeri ini. Hal ini karena Indonesia dikelilingi tak tanggung-tanggung dua jalur gempa. Pertama adalah Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) yang merupakan jalur gempa paling aktif di dunia. Sebanyak 90 persen gempa di Bumi terjadi di jalur ini. Jalur kedua adalah jalur gempa teraktif nomor dua di dunia, Sabuk Alpide (Alpide Belt). Adapun Sabuk Alpide menjadi tempat bagi 17 persen gempa di Bumi ini.
Memiliki relief bumi yang ekstrem, tak heran jika Indonesia “berlangganan” bencana alam di waktu-waktu tertentu. Kita masih ingat bagaimana gempa berkekuatan 9,2 skala Richter dan tsunami mengguncang Aceh di tahun 2004 lalu. Sebanyak 131.028 orang tewas akibat gempa tersebut. Gempa-gempa lain yang cukup memakan korban adalah gempa bumi Yogyakarta 2006 (5,9 skala Richter, 6.234 korban tewas), dan gempa bumi Sumatera Barat (7,6 skala Richter, 1.115 korban tewas). Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang meletus pada April 1815 pun bahkan didaulat sebagai salah satu letusan terdahsyat di Bumi.
Timbul beberapa pertanyaan meninjau fakta-fakta yang telah dipaparkan di awal. Apakah Tuhan mengutuk bumi nusantara sebagai tuan rumah dari begitu banyak bencana tahunan? Pertanyaan selanjutnya, apakah kita perlu pindah ke negara lain untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman? Tentu, tidak, sebagai jawaban dari dua pertanyaan tersebut.
Menjawab pertanyaan pertama, bencana alam seperti gunung meletus dan gempa nyatanya dapat bermanfaat bagi kehidupan penghuni nusantara. Mungkin Anda pernah sekilas mendengar energi panas Bumi. Energi panas Bumi berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi. Jika aktivitas tektonik sedang kuat-kuatnya akibat gempa, bukankah akan dihasilkan energi yang sangat besar? Kekuatan pergeseran lempeng tektonik penyebab gempa nyatanya sedang dipikirkan oleh para ahli untuk dijadikan sumber energi. Menelusuri jalur jalannya gempa pun dapat bermanfaat untuk meneliti kandungan-kandungan mineral apa yang terdapat di dalam bumi.
Untuk pertanyaan kedua, jawabannya tidak perlu, mengingat dengan bencana terdapat manfaat yang bisa didapatkan. Apalagi selama ribuan tahun masyarakat Indonesia dapat bertahan untuk tumbuh dan berkembang. Mengapa masyarakat Indonesia zaman dahulu tidak langsung pindah dari Indonesia walaupun mereka telah mengetahui bahwa Nusantara sangat rentan ditimpa bencana? Jawabannya, tentu mereka memiliki cara adaptasi sendiri ketika bencana menghampiri.
Terdapat beberapa poin yang dapat dilakukan jika ingin tetap selamat tinggal di negeri tuan rumah bencana. Pertama, kita dapat membuat rumah tahan gempa atau anti-seismic building. Mungkin Anda pernah bertanya-tanya, mengapa rumah orang-orang terdahulu kebanyakan merupakan rumah panggung? Ternyata, bentuk rumah panggung lebih kuat untuk tetap berdiri kokoh walaupun diguncang gempa berkekuatan kuat.
Rumah panggung dari kayu dan bambu justru lebih kuat dan sulit hancur akibat gempa. Energi yang dikeluarkan dari dalam ke permukaan bumi akan terlebih dahulu hilang di udara, sebelum sampai ke dasar rumah panggung. Jadi ketika gempa menyerang, rumah panggung akan “berjaipong” bersama gempa. Sedangkan rumah yang langsung menapak pada permukaan tanah akan langsung terkena hentakan energi gempa.
Rumah panggung yang banyak diujar banyak orang sebagai bangunan anti gempa yang berhasil adalah rumah adat produksi masyarakat Woloan, Kabupaten Minahasa. Selama ini, hampir tidak pernah ada laporan rumah adat yang roboh meskipun diterjang badai, angin, maupun gempa di Woloan. Selain di daerah Sulawesi, terdapat puluhan jenis rumah panggung lain yang tersebar di penjuru nusantara. Contohnya, rumah adat Aceh, rumah adat Minangkabau, rumah joglo Yogyakarta, Rumah Balileo Ambon, dan lain sebagainya. Ini membuktikan, nenek moyang bangsa Indonesia memiliki kesiapsiagaan yang lebih arif dalam menghadapi gempa.
Selain rumah panggung, terdapat pula konstruksi bangunan anti gempa rasa modern. Jepang merupakan negeri pengembang teknologi arsitektur bangunan anti gempa yang dapat kita tiru. Bangunan yang sedang dikembangkan arsitek Jepang tersebut memiliki sensor pendeteksi gempa. Sensor ini akan mengaktifkan kompresor udara besar yang telah ditanam pada fondasi rumah. Dengan demikian, rumah akan “melayang” setinggi tiga sentimeter kemudian bergoyang. Pemilik rumah juga bisa tetap berada dalam rumah ketika gempa berlangsung karena getaran akan diredam oleh katup udara.
Kedua, untuk meminimalisasi dampak negatif dari tsunami, sebaiknya di daerah pantai dipasang dinding penghalang amukan air akibat tsunami. Jepang telah membangun dinding penahan Tsunami pada daerah pantai yang padat penduduk. Dinding semacam ini dapat digunakan di Aceh atau daerah lainnya (Pangandaran) yang rawan Tsunami. Namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji ketahanan dinding tersebut.
Sebenarnya, terdapat alternatif sederhana lain yang dapat digunakan untuk menghalau kerugian akibat tsunami. Ialah dengan mempertahankan habitat hutan bakau (mangrove). Selain mencegah erosi pantai, barisan hutan bakau dapat meredam bahaya tsunami. Penelitian mengungkapkan daerah yang tertutup oleh hutan pantai, termasuk bakau, lebih sedikit mengalami kerusakan akibat tsunami daripada lahan tanpa vegetasi. Peneliti menggunakan foto-foto satelit di Distrik Cuddalore, India bagian tenggara, dan menyurvei lahan untuk memperkuat kesimpulan mereka. Studi menunjukkan bahwa keberadaan 30 pohon per 100 m2 dapat mengurangi aliran maksimum tsunami lebih dari 90%.
Ketiga, alat deteksi dini (early warning system) mesti tersebar di berbagai penjuru negeri. Daerah-daerah yang telah dipasang alat ini antara lain Provinsi Aceh dan di Sumatera Barat. Daerah sekitar pesisir Pangandaran di Jawa Barat pun memiliki alat deteksi dini. Namun, sayangnya alat di daerah-daerah tersebut rusak. Padahal, alat ini berfungsi vital agar penduduk di suatu daerah dapat mengungsi ke daerah yang lebih aman jika bencana seperti gunung meletus, gempa, atau tsunami akan datang “bertamu”.
Meskipun pemerintah tidak cepat tanggap memasang alat deteksi ini, sepatutnya kita sebagai warga tidak boleh berpangku tangan. Kita dapat mendesak pada pemerintah setempat agar menyediakan atau lekas memperbaiki alat deteksi dini di kecamatan kita. Bahkan, idealnya setiap kelurahan memiliki alat deteksi ini agar sinyal awal mengenai gempa dapat tersampaikan secara cepat. Kecamatan Labuan di Pandeglang adalah salah satu daerah di mana warganya mendesak pemerintah agar menyediakan alat deteksi dini. Dalam waktu dekat, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) akan membangun alat pendeteksi gempa dan tsunami di daerah ini.
Pada dasarnya, bencana alam seperti gunung meletus, gempa, dan tsunami merupakan seruan hati bumi yang ingin mengekspresikan jati dirinya sebagai makhluk Tuhan. Dalam Surat Al-Zalzalah ayat 1-4, tergoncangnya bumi dan keluarnya isi perut bumi merupakan salah satu bentuk komunikasi bumi yang “sedang menceritakan beritanya” pada manusia. Tinggal di negara tuan rumah bencana bukanlah kutukan, melainkan berkah. Tentu, hal ini tergantung kelihaian manusia beradaptasi terhadap bencana—bermula dari menyelamatkan diri dahulu, kemudian memanfaatkan efek bencana tersebut bagi kepentingan khalayak luas.***
*Beberapa konten disarikan dari hasil wawancara dengan T.A. Sanny, Associate Professor Teknik Geofisika ITB
Berkah Hidup di Negeri Tuan Rumah Bencana* from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami