Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Film, Tak Sekedar untuk Dilihat

$
0
0

Suasana Kajian Film. (Foto: Fery AP)

Banyak cara bisa ditempuh untuk menonton film. Mulai dari menonton film di bioskop, menonton film melalui televisi, bahkan mungkin streaming lewat internet. Hal ini menunjukkan betapa film sangat dekat dengan keseharian kita. Sebagian orang menganggap film sebagai sarana hiburan saja, film kemudian dinilai dari seru atau tidaknya cerita yang dibawakan. Di lain pihak, film juga bisa menjadi object of study.

Hal inilah yang ditawarkan Studia Humanika bertajuk “Film Studies”. Kuliah umum gelaran DPP Salman ini sudah dimulai sejak Jumat lalu (11/11). Dalam delapan pertemuan ke depan, Harifa Ali, sang pemateri yang juga Dosen FSRD ITB, akan memberikan kuliah tentang film.

“Ini bukan kuliah tentang film making,” tutur Harifa. Kuliah “Film Studies” menyajikan film sebagai objek yang akan dipelajari dari kerangka sejarah dan fungsinya sebagai media komunikasi. Dengan mempelajari film, diharapkan peserta akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menonton, mengkaji dan menganalisis film. Harifa menegaskkan bahwa proses menonton berbeda dengan melihat. Pada proses menonton ada imajinasi yang bekerja, sedangkan melihat hanyalah proses yang melibatkan indra saja.

Film sejatinya adalah gambar yang bergerak. Pada masa primitif, salah satu yang menjadi cikal bakal gambar bergerak ini adalah bayangan tangan yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai bentuk-bentuk lain dan diproyeksikan kepada dinding. “Hal ini seperti yang sering kita lakukan sewaktu kecil,” tutur Harifa sambil membuat bayangan burung dengan mengaitkan dua ibu jarinya.

Memasuki era teknologi, mulailah ditemukan alat-alat yang dapat memproyeksikan gambar. Sebuah alat yang disebut sebagai “lentera ajaib” menandai era ini. Lentera ini memiliki prinsip kerja seperti proyektor yang dapat menampilkan gambar. Kala itu, “lentera ajaib” digunakan untuk mempertunjukkan gambar-gambar menyeramkan seperti tengkorak, hantu dan penyihir.

Pada abad ke-19, para saintis menemukan bahwa gambar yang berurutan dapat menghasilkan efek gerak. Hal ini disebut “phi phenomenon” yaitu ketika otak membentuk jembatan mental diantara dua gambar. Jembatan inilah yang memungkinkan otak untuk meyakini ide bahwa gambar bergerak. Keberadaan gambar bergerak ini kemudian berkembang pesat setelah ditemukannya alat-alat fotografi.

Film, Tak Sekedar untuk Dilihat from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Trending Articles