(Rumah Amal Salman, Bandung) – Sabtu, 24 Oktober 2020 Rumah Amal Salman melaksanakan Grand Opening Beasiswa Baraya 2020 secara virtual melalui aplikasi Zoom. Kegiatan ini mengangkat tema “Bentangkan Layar, Hadapi Tantangan Bersama Beasiswa Baraya” dengan tujuan untuk memotivasi para penerima beasiswa agar tetap tangguh, kuat, dan bersemangat dalam situasi apapun, terutama di tengah masa pandemi seperti sekarang ini.
Kegiatan ini dihadiri oleh pengurus internal Rumah Amal Salman diantaranya Agus Eka Prasetyo S.Si. selaku Manajer Program, Agis Nurholis S.T. selaku General Manajer, Prof. Dr. H. Rer. Nat. Umar Fauzi sebagai perwakilan Ketua Umum Yayasan Pembina Masjid Salman ITB. Selain itu, turut hadir para donatur dan orang tua adik. Tidak kurang dari 156 adik dan 30 kakak fasilitator turut mewarnai kegiatan pada hari ini.
Pada salah satu sambutan, Agis Nurholis menyampaikan pesan semangat kepada adik-adik Baraya. Meskipun dalam keterbatasan, semoga esensi perjuangan dalam pendidikan tidak berkurang. Terutama, adik-adik Baraya ini termasuk anak-anak yang beruntung, sebab tidak hanya mendapatkan bantuan dana tetapi juga pembinaan karakter dan motivasi. Harapannya tentu saja, adik-adik dapat memanfaatkan kesempatan ini sebagai ajang untuk bersyukur kepada Allah.
Senada dengan hal tersebut, Umar Fauzi berpesan agar adik-adik Baraya dapat meningkatkan prestasi dari yang sudah berhasil dicapai saat ini. Prestasi merupakan sebuah nikmat dari Allah SWT yang perlu disyukuri, sebab tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk berprestasi. Oleh karenanya, adik-adik perlu menjaga amanah prestasi ini agar bisa memotivasi adik lainnya.
“Sama seperti motto Masjid Salman, adik-adik Baraya harus memiliki nilai aman, nyaman dan mengesankan dengan prestasi yang telah diraih. Jadilah khairah ummah bagi generasi berikutnya, mengharumkan agama Allah, menjadi rahmatan lil ‘alamin,” ucap Umar Fauzi, memberi semangat.
Pada dasarnya, Grand Opening Beasiswa Baraya merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membuka program secara resmi. Biasanya kegiatan ini laksanakan setelah proses selesksi yang terdiri dari pendaftaran, seleksi berkas, wawancara, home visit, dan pengumuman kelulusan. Adapun Grand Opening kali ini diadakan sebagai momen aktivasi program Beasiswa Baraya yang sebelumnya sempat terjeda karena pandemi.
“Sebetulnya Grand Opening sudah dilakukan di bulan September tahun lalu dan kegiatan pembinaan baru berjalan setengah periode. Kemudian kami mengadakan sesi evaluasi keberjalanan Program Baraya, termasuk keaktifan adik-adik Baraya dalam kegiatan pembinaan. Selanjutnya pengumuman hasil evaluasi disampaikan pada orang tua adik pekan lalu”, kata Firda Syafriyanti, Ketua Program Beasiswa Baraya.
Setelah Grand Opening Beasiswa Baraya 2020 selesai, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh para motivator. Adik-adik bergabung dalam ruangan breakout Zoom berdasarkan jenjang (SD, SMP, SMA) untuk mendapatkan pembinaan rutin bulanan. Untuk jenjang SD pembinana di isi oleh Bunda Zhera, sedangkan SMP diisi oleh kang Maududi, dan untuk SMA diisi oleh ustadz Dani Ramdani dengan sebagian besar materi berisi tentang karakter tangguh yang harus dimiliki para adik. *
(Rumah Amal Salman, Bandung) – Rumah Amal Salman bekerjasama dengan Pusat Halal Salman ITB serta Bidang Mahasiswa, Kaderisasi dan Alumni Salman ITB mengadakan online talkshow dengan tema “Menebar Dakwah di Negeri Sakura”. Acara ini dilaksanakan pada Sabtu, 17 Oktober 2020. Hingga acara usai, acara ini dihadiri 190-an peserta yang tersebar dari berbagai kota di Indonesia bahkan terdaftar pula peserta yang berdomisili di Jepang dan Turki.
Acara dimulai pada pukul 09.30 WIB atau 11.30 JST dan langsung dibuka oleh ketua YPM Salman Prof. Dr. Ir. Suwarno, MT. yang sekaligus memberikan pesan untuk mengambil hikmah dari saudara-saudara kita di Jepang dalam perjuangan ibadah maupun dakwahnya. Selain itu, beliau juga berharap acara serupa juga dapat dilakukan dengan narasumber muallaf dari negara lain.
Online talkshow kali ini menghadirkan dua orang muallaf asal Jepang, Kaiji “Kadir” Wada dan Tazuke Noriaki (Muhammad Zaki). Kedua narasumber yang hadir pada online talkshow kali ini merupakan muallaf yang dulunya juga sempat belajar dan beraktivitas di Masjid Salman ITB. Kisah menarik disuguhkan oleh kedua narasumber. Kaiji-san menuturkan ada tiga hal utama yang membuat dirinya memutuskan untuk masuk Islam setelah sebelumnya dia tidak memiliki agama. Tiga hal itu adalah mengenai tujuan hidup, kepentingan keluarga, serta adanya kepercayaan dunia akhirat. Sementara itu, Tazuke-san bercerita bahwa dirinya tertarik dengan Islam setelah dirinya banyak berinteraksi dengan teman perusahaannya berasal dari Indonesia dan beragama Islam. Disini dia melihat, meskipun banyak teman kerjanya yang usianya lebih muda, tetapi memiliki kebaikan dan kesabaran. Karena itulah, Tazuke-san tertarik untuk masuk Islam.
Proses masuknya mereka berdua ke dalam agama Islam tidak semulus yang dibayangkan. Selain karena pandangan masyarakat Jepang secara umum yang masih asing tentang muslim dan hanya terpapar dengan “terorisme” yang sering dikaitkan dengan muslim, ada pula hambatan dari keluarga atau orang terdekat. Ibu Kaiji-san yang tidak beragama bahkan menolak semua jenis agama. Namun, dengan pendekatan yang baik, Kaiji-san mampu membuat ibunya menerima keputusannya. Bahkan kini, tidak jarang ibunya mengirimkan daging halal kepada Kaiji-san. Begitu juga dengan Tazuke-san, latar belakang keluarganya yang beragama Shinto pun membuat keluarganya sempat bertanya-tanya mengapa pada akhirnya memutuskan untuk masuk Islam. Namun, setelah Tazuke-san sudah menikah, keluarganya pun Kembali bersikap baik kepadanya.
Dalam acara ini pun diceritakan bagaimana mereka berdua mengenalkan agama Islam, dan mendakwahkannya dengan cara mereka masing-masing. Di akhir sesi, disampaikan hikmah yang disampaikan oleh 2 peserta. Hikmah yang disampaikan berkaitan dengan bagaimana kita bersikap sebagai duta muslim di tempat tinggal kita sehingga Islam tidak terlihat seperti apa yang banyak di media. *
Dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw., YPM Salman ITB, Wakaf Salman ITB dan Salman Hospital menyelenggarakan acara Virtual Tour Masjid Salman Rasidi. Acara tersebut bertujuan memberikan informasi kondisi terkini dari Progres Wakaf Masjid Salman Rasidi. Acara dihadiri oleh Prof. Hermawan K Dipojono, MSEE, Ph.D selaku Ketua Pembina YPM Salman ITB, Prof. Dr. KH.Miftah Faridl selaku Ketua MUI Kota Bandung dan Anggota Pembina YPM Salman ITB, serta diikuti kurang lebih 150 peserta dari beberapa daerah di Indonesia seperti Padang, Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Masjid Salman Rasidi dibangun di atas tanah wakaf seluas 1.700 m2 dengan luas bangunan masjid 40×40 m2 di kawasan Kompleks Rumah Sakit Salman Hospital Soreang, Kab. Bandung. Penamaan Masjid Salman Rasidi sendiri diambil dari nama keluarga muwakif yaitu Muhammad Rasidi Partadinata serta nama YPM Salman ITB. Keluarga dari muwakif sendiri berharap masjid yang berada di atas tanah wakaf tersebut bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Dalam sambutan acara, Kyai Miftah Faridl memberikan nasihat yaitu “Allah memberikan jaminan kepada siapapun yang membangun masjid maka ia akan dibangunkan yang indah di surga.” Perjalanan Virtual Tour Masjid Salman Rasidi kali ini, jamaah dipandu oleh Agus Setianto selaku Pengawas Kontraktor Masjid Salman Rasidi. Masjid ini memiliki bentuk yang unik, terinspirasi dari kebudayaan Jawa Barat yaitu gudang beras memiliki fasilitas yang ramah lingkungan dan disabilitas dengan daya tampung 500 jamaah.
Di akhir kunjungan Pak Agus mengucapkan, ”Saya bangga bisa membangun rumah Allah yang sangat bagus, terima kasih banyak untuk semua donator yang sudah menitipkan amanah wakafnya untuk pembangunan Masjid Salman Rasidi, semoga menjadi berkah untuk kita semua.”
Setelah berkeliling Masjid Salman Rasidi, acara dilanjutkan dengan program Lelang Wakaf Masjid Salman Rasidi per bagian meliputi Lantai dan Tangga, Bangunan per meter persegi, Sarana dan Prasarana, dan Paket Interior dan Eksterior. Adapun besaran paketnya yaitu,
1.
Paket Lantai dan Tangga mulai dari Rp 500.000 s.d Rp 1.000.000,-
2.
Paket Luas Bangunan / m2 mulai dari Rp 3.000.000,- s.d Rp. 6.000.000,-,
3.
Paket Sarana dan Prasarana mulai dari Rp. 10.000.000,- s.d Rp. 25.000.000,-
4.
Paket Interior dan Eksterior mulai dari Rp. 50.000.000,- s.d Rp. 100.000.000,-
Dari program lelang tersebut menghasilkan penghimpunan sebesar Rp 274.498.094,-.
Wakaf Salman menargetkan akhir tahun 2020 pembangunan Masjid Salman Rasidi sudah selesai dan bisa digunakan oleh masyarakat luas. Acara virtual tour terselenggara atas kerjasama antara YPM Salman ITB, PT. Salman Rasidi Semesta, PT. Salman Global Medika, Wakaf Salman ITB, Akuberbagi.com dan Bank Muamalat serta rekan rekan media yang turut serta hadir dalam acara virtual tour masjid salman rasidi ini.
Mari bantu Masjid Salman Rasidi agar segera rampung di akhir tahun 2020. Donasi terbaik dapat disalurkan melalui call center (0811 2441 444). Acara Virtual Tour Masjid Salman Rasidi bisa disaksikan kembali melalui link bit.ly/VirtualTourSalmanRasidi
(Rumah Amal Salman, Bandung) – Puncak proyek akhir Beasiswa Aktivis Salman 2019/2020 tinggal menghitung hari. Untuk melecut semangat beswan, Rumah Amal Salman kembali menggelar pembinaan rutin, Ahad (25/10). Mengusung tema “Keringat Terakhir Menuju Garis Finish”, para beswan antusias menyampaikan perkembangan karyanya via Zoom.
Hadir dalam kegiatan kali ini, para pengurus Internal Rumah Amal Salman, di antaranya General Manajer Agis Nurholis, S.T., Manajer Program Agus Eka Prasetyo, S.Si, dan Kepala Program Beasiswa Aktivis Salman Sinta Nurhia Dewi, S.Si.
Mengawali acara, Agis Nurholis memantik semangat dengan memutarkan dua video. Video pertama berisi motivasi tentang tujuan, prestasi, dan talkative power.
“Saya teringat pesan Mas Hari pimpinan Rumah Amal Salman, bahwa sebuah momen itu tidak akan berulang sama, maka pastikan memberikan momen terbaik!” ucap Kang Agis.
Kang Agis lantas menuturkan tentang perjalanan proyek akhir Beasiswa Aktivis Salman 2019/2020 ini ibarat ‘Summit Attack’. Istilah ini mengacu pada perjuangan para pendaki gunung ketika hendak mencapai puncak. Menurutnya, sebelum mencapai puncak gunung, ada anggota yang merasakan semakin semangat, ada yang memilih menyerah dan berhenti karena tertatih-tatih di jalan.
“Itulah ujian kita sekarang. Boleh jadi ketika sampai garis finish, kita butuh kekuatan kolektif agar bareng-bareng sampai puncak,” tuturnya dengan penuh keyakinan.
Untuk menguatkan pendapatnya, Kang Agis memutarkan video kedua tentang pentingnya kekuatan kolektif. Video itu menampilkan kumpulan penguin yang berhasil mengalahkan hiu karena kompak merapat satu tim. Video itu juga menampilkan beragam hewan kecil lainnnya yang mampu mengalahkan predator karena kompak bersatu.
Sebagai penutup sambutan, Kang Agis mengingatkan bahwa dana untuk Beasiswa Aktivis Salman tidak lain bersumber dari dana zakat dan infaq. Untuk itu, Kang Agis mengingatkan kembali tentang tujuh nilai leading figure yaitu Unggul, Visioner, Ambisius, Empati, Influencer, Kreatif dan Karya Nyata, serta Rahmatan Lil ‘Alamin.
“Bicara nilai Ambisius, berkaitan dengan peran tentang tugas dan amanah. (Katakan) Saya harus ambisius karena momen ini tidak akan berulang!”, ulasnya mencontohkan penjabaran nilai.
Selanjutnya, pembinaan diisi oleh Romi Hardiansyah selaku Manajer Marketing Rumah Amal Salman yang memaparkan materi seputar zakat dan dilanjutkan dengan kuis untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan zakat para beswan aktivis.
Kegiatan pembinaan semakin seru ketika Dewan Pengurus Pusat proyek yang bernama BAS Sinema, serta dua sekutu yang bertarung memaparkan progres akhir karya nyata mereka, sesuai dengan tema yang diusung “Keringat Terakhir Menuju Garis Finish”. Karya nyata kedua sekutu akan segera selesai dan disalurkan kepada sasaran manfaatnya. Progres karya sekutu utara mencapai 72,44% dan sekutu selatan mencapai 75,93%. Hasil karya mereka dapat disaksikan dalam film yang akan tayang perdana secara live di youtube pada bulan November 2020.
Senada dengan hal tersebut, Mas Agus Eka Prasetyo selaku Manajer Program Rumah Amal Salman menyampaikan pentingnya menjadi orang dengan ‘Billionaire Mind Set’.
“Nomor satu, mereka itu selalu bertanya, hal besar apa yang sedang dihadapi hari ini?” Katanya kepada 67 beswan yang hadir menyimak. Sebagai informasi, ada 71 penerima aktif Beasiswa Aktivis Salman hingga Oktober 2020. Namun 4 beswan berhalangan hadir karena sakit.
Agus meneruskan bahwa mindset kedua ialah mereka, para Billionaire mindset itu membayangkan untuk menghadapi nomor satu, jika mereka bisa menyelesaikan masalah itu, akan jadi expert apa mereka di masa depan.
Oleh karenanya, para beswan diharapkan untuk selalu siap menghadapi setiap masalah yang ada di proyek karya angkatan, karena dari sekian cerita dan sekian keringat akan menghasilkan karya yang bermanfaat untuk masa depan.
Kegiatan dilanjutkan dengan prosesi wisuda 7 beswan Aktivis Salman yang telah menyelesaikan studinya dari universitas masing-masing pada bulan Oktober 2020.
“Ketika pembinaan Bulan September Mas Agus bertanya kepada saya “Apasih real benefit yang saya dapatkan selama menjadi beswan BAS?” Nah, saat itu entah mungkin karena gugup, saya hanya menjawab bahwa BAS sangat menginspirasi saya. Jika boleh dikoreksi benefit yang saya dapatkan di BAS itu tidak terhitung, saya merasakan banyak sekali perubahan dalam diri saya semenjak bergabung dengan BAS,” ungkap salah satu wisudawan Tazkia Alby, A.Md., Jaminan Mutu Pangan 2017 – Institut Pertanian Bogor.
Semoga gelar dan ilmu yang diperoleh berkah, selalu berkontribusi untuk umat serta menjadi Leading Figure masa depan sesuai dengan jargon andalan Beasiswa Aktivis Salman. *
Sinergi Masjid dan Komunitas dalam Membangun Kemandirian Bangsa Menghadapi Dunia Pasca Pandemi
A. Latar Belakang
Di tengah upaya menjawab tantangan memakmurkan masjid sekaligus masyarakat di sekitarnya, bangsa Indonesia beserta masyarakat dunia diterpa ujian dahsyat berupa pandemi COVID-19. Pandemi ini tidak saja mengancam kesehatan miliaran penduduk dunia, akan tetapi juga mengancam dan membongkar berbagai aspek tatanan kehidupan. Cara kita beribadah, bekerja, berbelanja, belajar dan mengajar, makan-minum, berolahraga dan bahkan berekreasi telah dan akan terus berubah drastis ke depan. Sejumlah proyeksi dan prediksi telah dikemukakan para analis dan pemikir mengenai dunia pasca pandemi di masa depan. Dunia pasca pandemi adalah tantangan bagi segenap elemen bangsa termasuk para aktivis dan pengurus masjid.
Beragam ancaman dan
tantangan yang muncul akibat pandemi COVID-19 sekaligus membuka mata akan
besarnya ketergantungan kita kepada bangsa-bangsa lain. Mulai dari alat-alat
dan perlengkapan kesehatan yang sangat vital di tengah wabah, bahan-bahan
pangan, hingga teknologi informasi yang kita gunakan untuk tetap beraktivitas
di tengah pandemi, sebagian besar diperoleh dari impor. Munculnya wabah,
memaksa kita untuk kembali memikirkan kemandirian bangsa.
Dari uraian di atas,
upaya-upaya untuk memakmurkan masjid sekaligus masyarakat sekitarnya, kini
tidak dapat dilepaskan dari pembangunan kemandirian bangsa dalam konteks
menghadapi tantangan dunia pasca pandemi ke depan. Karena itu, kiranya para
aktivis, pengurus masjid maupun para cendekiawan Muslim di Indonesia maupun
dunia perlu memikirkan, menggulirkan dan menyebarkan gagasan maupun
aktivitas-aktivitas kemasjidan yang mendorong kemandirian bangsa ke depan.
Demi mensistematiskan
penghimpunan, pengkajian serta publikasi aneka gagasan dan aktivitas tersebut,
YPM Salman ITB bekerjasama dengan Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI)
menggulirkan program Webinar Ilmiah Masjid II. Program Seminar Ilmiah Masjid I
telah dilaksanakan sebelumnya pada tahun 2019 dengan menghadirkan 31 pembicara
dan pemakalah serta total 146 peserta.
Pada tahun 2020 ini,
menyikapi kondisi persebaran COVID-19 yang masih mengancam, acara akan
dilakukan dalam format webinar. Event ini adalah bagian dari rangkaian Bulan
Ilmiah Masjid sepanjang November 2020, yang antara lain juga akan diisi dengan
Webinar Adiwidya Pascasarjana ITB dan Kompetisi Teknologi Inventra Salman ITB.
Webinar Ilmiah Masjid sendiri akan diisi dengan pemaparan dan diskusi mengenai
hasil kajian maupun model-model program masjid di bawah tema besar: “Sinergi Masjid dan Komunitas dalam
Membangun Kemandirian Bangsa Menghadapi Dunia Pasca Pandemi”.
Event ini akan berlangsung insya Allah pada Jumat-Ahad, 13-15 November 2020 pkl. 13.00 – 14.45 WIB (hari Jumat) dan pkl. 08.00 – 15.00 WIB (Sabtu & Ahad). Pelaksanaan event selama tiga hari tersebut akan dibagi menjadi Sesi Diskusi Panel (Jumat siang dan Sabtu-Ahad pagi pkl. 08.00 – 11.45 WIB) dan Sesi Presentasi Makalah (Sabtu-Ahad pkl. 13.00-14.45 WIB).
B. Jadwal Kegiatan
Diskusi Panel
Webinar #1 “INVESTASI SYARIAH UNTUK MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI: Bagaimana Investasi Syariah Bermanfaat untuk Masa Depan Pribadi, Keluarga dan Masyarakat yang Produktif “
(Jumat, 13 November 2020 pkl. 13.00-14.45 WIB – ONLINE VIA ZOOM)
PEMBICARA
Gentur Wibisono (Deputi Direktur Bank Indonesia Jawa Barat)
Pimpinan OJK Regional II Jawa Barat
M. Khirzan N. Noe’man (Direktur Wakaf Salman)
Ustadz Setia Irawan (Ketua Koperasi Pondok Pesantren Al-Ittifaq)
Daftar ke: http://bit.ly/webinarinvestasisyariah2020 untuk tautan Zoom (peserta juga otomatis terdaftar untuk keseluruhan rangkaian acara Webinar Ilmiah Masjid II – 1442 H/2020 M).
Webinar #2 “KEMANDIRIAN EKONOMI DAN POLITIK MENGHADAPI DUNIA PASCA PANDEMI”
Image may be NSFW. Clik here to view.
(Sabtu, 14 November 2020 Pkl. 08.00-11.45 WIB – ONLINE VIA ZOOM)
PEMBICARA
Dato’ Seri Dr. Anwar Ibrahim*)(Menteri Keuangan Malaysia, Wakil PM Malaysia 1991-1998) – “Positioning Negara-Negara Muslim dalam Tarik Ulur Pengaruh Kekuatan-Kekuatan Dunia di Tengah dan Pasca Pandemi”
Prof. Dian Masyita, SE, MT, Ph.D. (The Top 10 Most Influential Women in Islamic Business and Finance 2019 by Cambridge Institute of Islamic Finance) – “Peluang dan Tantangan Pengembangan Ekonomi Syariah Berbasis Masjid dan Komunitas di Tengah dan Pasca Pandemi”
(*) Dato Anwar Ibrahim masih dalam konfirmasi
Webinar #3 “MEMBANGUN KEMANDIRIAN LEWAT PEMBERDAYAAN JAMAAH DAN KOMUNITAS”
Image may be NSFW. Clik here to view.
(Ahad, 15 November 2020 Pkl. 09.00-11.45 WIB – ONLINE VIA ZOOM)
PEMBICARA
Imam Shamsi Ali (Director/Imam of Jamaica Muslim Center, New York, USA – President of Nusantara Foundation, USA) – “Merintis Komunitas Muslim yang Mandiri di tengah Masyarakat yang Heterogen”
Ustadz Muhammad Jazir A.S.P. (Ketua Dewan Syuro Takmir Masjid Jogokariyan, Tokoh Perubahan Republika 2019) – “Penumbuhan Kemandirian Ekonomi Masjid dan Komunitas Lewat Pemberdayaan Jamaah”
Presentasi Makalah
(Sabtu-Ahad, 14-15 November 2020 pkl. 13.00-14.45 WIB – ONLINE VIA ZOOM)
Simak sekitar 60 pemakalah dari kalangan takmir masjid, akademisi maupun umum dengan tema-tema makalah sebagai berikut:
Menyiapkan Pemimpin dari Masjid Menyongsong Dunia Pasca Pandemi
Peran Masjid dan Komunitas dalam Membangun Kemandirian Teknologi
Gerakan Ekonomi Berbasis Masjid dan Komunitas untuk Membangun Kemandirian
Membangun Kemandirian Pangan dari Masjid dan Komunitas
Pendidikan yang Memerdekakan lewat Masjid dan Komunitas
Peluang dan Tantangan Gaya Hidup Halal di Dunia Pasca Pandemi
Kontribusi Masjid dan Komunitas dalam Membangun Masyarakat Tangguh Wabah dan Bencana
Manajemen Masjid Modern yang Memakmurkan dan Dimakmurkan Jamaah
Perancangan dan Pengelolaan Fasilitas Masjid yang Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan
Pembinaan Keluarga Berbasis Masjid dan Komunitas untuk Melahirkan Generasi Berdikari
C. Agenda Penting
Batas akhir pengumpulan makalah lengkap : 10 November 2020
Pengumuman jadwal & ruangan presentasi : 12 November 2020
Pelaksanaan webinar : 13 November 2020
D. Pendaftaran
Daftar ke: http://bit.ly/webinarilmiahmasjid2020 untuk tautan Zoom. Transfer infak terbaik Anda ke Rekening Virtual Account BNI No. 9881518900664612 a.n. “BPP – Webinar Ilmiah Masjid” (besaran infak tidak mengikat).
E. Informasi & Narahubung
Website https://salmanitb.com/seminar-ilmiah/ Whatsapp Mulki (085220748252) dan Khadik (08882031601) Facebook Fanpage Studia Humanika Instagram Salman ITB E-mail bpp@salmanitb.com
F. Kerjasama dan Kolaborasi
Acara ini terselenggara atas kerjasama Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB, Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI), dan Bank Indonesia Jawa Barat. Tak lupa kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas dukungan kolaborasi dari OJK Regional II Jawa Barat, BPRS Al-Salaam, Tokopedia, Wakaf Salman, Rumah Amal Salman dan Studia Humanika.
Keberhasilan program GARUDA (Donasi GAdget untuk guRU Dan siswA) inisiasi Wakaf Salman ITB, menarik perhatian banyak pihak. Salah satunya, PT. Tempo Scan Pacific, Tbk. yang menyambut baik ajakan kolaborasi Wakaf Salman. Kolaborasi itu terwujud dalam penyaluran dana sosial perusahaan di bidang pendidikan melalui salah satu brand-nya, yaitu Bodrex. Melalui kampanye BODREX MERAH PUTIH BERBAGI X GARUDA, penerima manfaat akan menerima smartphone beserta kuota internet yang akan disalurkan hingga bulan Desember 2020.
Managing Director Brand Portfolio and Communication Cosmetics Consumers and Health Care PT. Tempo Scan Pacific, Tbk. Aviaska D. Respati mengatakan, program #Bodrexmerahputihberbagi X Garuda diluncurkan sebagai bagian dari rangkaian program kepedulian yang dilakukan dalam rangka ulang tahun ke-50 Bodrex.
“Program tersebut, akan menghimpun, mengonversi serta menyalurkan donasi berupa smartphone dan kuota internet kepada anak-anak SD dan SMP yang membutuhkan di wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat. Penyaluran ini bekerja sama dengan Jabar Quick Response dan YayasanOne Ummah Movement untuk area Jawa Barat, dan Gerak Bareng Community untuk area Jabodetabek,” kata Aviaska, di sela konferensi pers virtual, yang diadakan pada Kamis (8/10) lalu.
Adapun kriteria penerima donasi
program ini adalah anak-anak sekolah yang berdomisili di area Jabodetabek
(Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan Jawa Barat, diutamakan untuk
kawasan zona merah; anak sekolah tingkat SD dan SMP (diutamakan SD kelas 3 ke
atas), serta diutamakan untuk anak sekolah yang yatim dan berasal dari keluarga
dari sosial ekonomi lemah atau dhuafa.
Program ini pun diharapkan sebagai reaksi cepat dalam mendorong pendidikan Indonesia di tengah pandemi agar mereka bisa tetap bersekolah. “Anak-anak di Indonesia bisa memiliki kesetaraan untuk mendapatkan pelajaran ilmu, dapatkan pendidikan di masa pandemi ini. Ada anak-anak kurang beruntung sehingga mereka mendapatkan akses yang sama dengan teman lain,” tutup Aviaska.
Di sisi lain, pihak Wakaf Salman menyatakan apresiasi dan impresi positifnya atas kesediaan Bodrex untuk melibatkan lembaga Nazhir Wakaf tersebut. Wakaf Salman berharap kontribusinya dapat menjadi penggugah semangat berbagi untuk pendidikan anak Indonesia di masa pandemi. Wakaf Salman pun akan memberikan dukungan lewat perannya sebagai lembaga penghimpun, pengonversi, serta penyalur dana donasi pada calon penerima manfaat.
Penyaluran manfaat dari program ini sendiri telah berlangsung sejak Oktober lalu. Pada Kamis (15/10) lalu, dihadiri oleh Wakil Bupati Kab. Bandung Barat Hengky Kurniawan, Wakaf Salman menggelar seremoni penyerahan donasi di Sekolah Alam Tugu Laksana, Punclut. Kemudian pada akhir bulan Oktober, seremoni penyerahan donasi kembali diselenggarakan bersama dengan Yayasan One Ummah Movement. Donasi diserahkan kepada siswa yang tinggal di area Ciporet, Ujungberung, Bandung. Total penerima manfaat yang telah mendapatkan donasi di bulan Oktober berjumlah sebanyak 54 anak. Di bulan November, penyaluran donasi akan dilaksanakan di area Jabodetabek dengan menggandeng Komunitas Gerak Bareng.[]
Image may be NSFW. Clik here to view.
Image may be NSFW. Clik here to view.Ery Djunaedy. (Foto: www.facebook.com/erydjunaedy)
Oleh: Ery Djunaedy (Ketua Umum Karisma Periode 13/tahun 1992-1993)
Setelah aktivitas pagi, saya berhenti sejenak untuk sholat Dhuha. Selepas sholat saya berdoa, agar Allah menunjukkan saya jalan yang lurus. Agar Dia memudahkan saya memilih aktivitas yang sesuai dengan kehendak-Nya. ‘Kan dari berbagai aktivitas yang antri di hadapan kita, hanya ada satu yang paling haq untuk kita kerjakan saat itu.
Karena menurut pemahaman saya yang saya harus lakukan adalah fokus ke program marketing, maka terucaplah doa saya. Agar Allah memudahkan saya dalam mengerjakannya. Agar Allah melunakkan hati audiens saya, untuk bisa menangkap pesan yang ingin saya sampaikan. Gampangnya mah, sing payu dagangan, teh.
Sounds familiar?
Yang menjadi masalah adalah: apa efek dari doa tadi? Pastinya kita wajib berprasangka baik kepada Allah. Sehingga setelah berdoa, maka kita tidak boleh berpangku tangan. Saya pun langsung kembali ke program marketing kami. Menyusun materi, merumuskan pesan, menyiapkan email, dan berkeyakinan bahwa yang sampai bukan hanya email-nya, tapi juga pesan yang terkandung di dalamnya. Minimal jadi ilmu, syukur-syukur jadi duit.
Image may be NSFW. Clik here to view.Ilustrasi: Pixabay.com
Kenapa? Karena saya sudah memanggil-Nya dengan nama-Nya Al-Razzaq, Yang Maha Memberi Rejeki, pastilah Dia akan memberi saya rejeki. Saya sudah memanggil-Nya dengan nama-Nya Al-Lathif, pastilah Dia akan melembutkan hati manusia dalam menerima pesan kami.
Sounds familiar? Begitulah asumsi kita tentang cara kerja doa. At least, itulah asumsi saya tentang cara kerja doa.
Sampai datanglah seorang ibu tua berjualan keset. Pintu pagar yang tertutup dibukanya sendiri, dan dia tiba-tiba sudah ada di depan pintu rumah yang terbuka. Saya keluar, dan bertanya. Beliau menjawab mau menawarkan keset. Saya langsung bilang, bahwa saya tidak perlu keset, dan langsung balik kanan masuk lagi. Tanpa menutup pintu.
Sesampainya di dalam, istri saya bertanya ada apa, dan saya jelaskan kejadiannya. Eh, ternyata dia memang sedang perlu keset. Jadi keluarlah istri saya ke halaman. Ibu tua penjual keset sudah tidak ada lagi.
Saat itulah saya menyadari, bahwa ibu tua itu adalah doa saya yang datang kepada saya.
Image may be NSFW. Clik here to view.Ilustrasi: Pixabay.com
You see, ketika kita meminta kepada Allah sebagai Al-Razzaq, maka kita selalu berharap dapat rejeki. Ketika kita meminta kepada Allah sebagai Al-Lathif, maka kita selalu berharap bahwa Allah melembutkan hati orang lain. Itu asumsi kita.
Bisa seperti itu, tapi ternyata tidak harus seperti itu.
Ketika kita meminta Allah sebagai Al-Razzaq, boleh jadi Allah akan mendudukkan kita terlebih dahulu sebagai jalan rejeki untuk orang lain. Ketika kita meminta Allah memberi kita rejeki, Allah juga ingin melihat apakah kita ridho bila didudukkan sebagai penyalur rejeki orang. Allah akan melihat apakah kita menerima kedudukan itu dengan senang hati, atau dengan enggan? Lhah, sedang minta duit, tapi belum dikasih duit, malah diminta menyalurkan rejeki untuk orang lain.
Bukankah kita belajar Asmaul Husna agar kita bisa mengadopsi nilai-nilai sifat Allah itu ke dalam diri kita. Kita berharap Allah akan berlaku Al-Razzaq kepada kita, tentunya Allah ingin melihat apakah kita juga bersedia menyalurkan rejeki orang lain dengan harta yang diberikan kepada kita.
Begitu juga ketika kita meminta Allah untuk berlaku Al-Lathif, agar Dia melunakkan hati orang lain kepada kita. Maka Dia akan mendatangkan skenario untuk melihat, apakah hati kita juga lunak kepada permintaan orang lain?
Ternyata saya belum ke situ. Ternyata saya terlalu dismisif, dan melihat segala sesuatunya hanya dalam kerangka syariat: saya tidak perlu barang itu, ya sudah mohon maaf, saya tidak beli. Padahal Allah sudah ingin melihat kita beroperasi dalam kerangka yang lebih tinggi dari itu.
Bersediakah kita menyalurkan rejeki kepada orang lain, dengan uang kita yang sedang dalam keadaan terbatas, di saat kita berharap Allah melihat kita dengan wajah-Nya yang Al-Razzaq?
Bersediakah kita berlaku lembut kepada orang lain, di saat kita berharap Allah Al-Lathif akan melembutkan hati orang lain?
Ibu tua penjual keset itu menawarkan dagangannya yang berharga puluhan ribu rupiah saja. Boleh dibilang, kalau kita beli pun, tidak akan mengurangi uang kita. Ini pun sudah membuat saya menyesal tidak membeli.
Tapi yang paling membuat saya menyesal tidak membeli adalah sikapnya dalam menghadapi penolakan: amat sangat bermartabat. Setelah saya meminta maaf karena tidak membeli, yang dia lakukan adalah langsung keluar dari halaman rumah saya, dan menutup kembali pintu pagar, dengan tenang, tanpa suara. Tidak ada menawar, tidak memanggil-manggil lagi, tidak berteriak, tidak banting pintu. Sangat bermartabat.
Mungkin ibu itu tergolong mereka yang disebutkan oleh Nabi Saw., bahwa “Orang yang benar-benar miskin adalah orang yang tidak berkecukupan, keadaannya tidak diketahui orang sehingga ia tidak menerima sedekah, dan ia juga tidak bangkit untuk meminta-minta.”
Ibu tua itu hanya ingin berjualan, tidak meminta-minta. Saya saja yang terlalu tumpul hatinya, sehingga tidak bisa melihat ketika doa saya sedang datang menghampiri saya.
Image may be NSFW. Clik here to view.Foto: Dok. Rumah Amal Salman
Oleh: Ahmad Miftahul Anwar
Bagi alumni ITB, mahasiswa ITB ataupun orang-orang yang pernah melewati Plaza Widya Nusantara mungkin tidak asing dengan kutipan kata-kata berikut ini,
“Supaya kampus ini menjadi tempat anak bangsa menimba ilmu, belajar tentang sains, seni, dan teknologi; Supaya kampus ini menjadi tempat bertanya, dan harus ada jawabnya; Supaya kehidupan kampus ini membentuk watak dan kepribadian; Supaya lulusannya bukan saja menjadi pelopor pembangunan, tetapi juga pelopor persatuan dan kesatuan bangsa.”
Kata-kata tersebut dituliskan oleh Prof. Wiranto Arismunandar, rektor ITB kala itu yang tertulis tanggal 28 Desember 1996. Tulisan ini bukan sekadar tulisan yang mampu menginspirasi banyak mahasiswa sebagai penyemangat di tengah orasinya. Beliau sendiri memiliki semangat untuk selalu bermanfaat dan menebar kebaikan kepada orang lain.
Kamis, 19 November 2020, bertepatan dengan 87 tahun usia beliau, diadakan syukuran dalam bentuk donor darah dan pembagian makanan di 2 panti asuhan di kota Bandung. Usia tidak menjadi hambatan untuk beliau menyebarkan semangat kebaikan. Kegiatan semacam ini sebenarnya sudah sejak tahun-tahun sebelumnya dilakukan sebagai rasa syukur Prof. Wiranto untuk umur dan kehidupan yang masih diberikan oleh Allah. Khusus tahun ini, pandemi sempat menjadi kekhawatiran acara donor darah tidak bisa dilakukan. Namun, dengan kolaborasi yang dilakukan Bersama Palang Merah Indonesia (PMI), YPM Salman ITB, Rumah Amal Salman, dan Badan Wakaf Salman acara donor darah tetap bisa dilakukan. Dengan tetap menjaga interaksi yang sesuai dengan protokol Kesehatan yang berlaku acara donor darah bisa terlaksana.
Donor darah kali ini bisa mendatangkan antusiasme 69 orang dan berakhir dengan 44 labu darah. Di tengah suasana pandemi ini, persediaan darah PMI Bandung memang sedang menipis. Adanya acara ini turut membantu PMI Bandung dalam mencukupi kebutuhan darah yang terus ada di tengah kondisi yang tidak menentu seperti sekarang ini.
Tujuan mulia dari Prof. Wiranto dan keluarga, diharapkan juga dapat menjadi contoh bagi pendonor, dan menjadi inspirasi bagi banyak orang jika berbuat baik bisa dilakukan kapanpun, dan dengan kondisi apapun. Dengan adanya kolaborasi, segala penghalang yang ada pun bisa dicari jalan keluarnya.[]
Image may be NSFW. Clik here to view.
Image may be NSFW. Clik here to view.Foto: Dok. Rumah Amal Salman
Sebagaimana kita tahu di masa ini, banyak sektor yang terdampak penyebaran infeksi virus COVID-19. Sejak pandemi, beberapa kebijakan pemerintah untuk menjaga kesehatan masyarakat cukup ketat diberlakukan. Anjuran social distancing, physical distancing, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa waktu lalu, juga memberikan dampak bagi Palang Merah Indonesia (PMI), sehingga ketersediaan darah di sana juga berkurang.
Dilansir dari beberapa pemberitaan media, kegiatan donor banyak diberhentikan. Ditambah lagi munculnya informasi terkait bahayanya donor darah di saat pandemi. Padahal banyak penderita penyakit tertentu seperti demam berdarah dan thalasemia yang membutuhkan transfusi darah secara rutin.
Oleh karenanya, untuk mematahkan kekhawatiran masyarakat, PMI membuat aturan protokol kesehatan terkait pelaksanaan donor darah di masa pandemi. Mulai dari pemeriksaan suhu, mengisi formulir seleksi donor COVID-19, serta wawancara terkait kemungkinan tertular COVID-19.
Pada kesempatan kemarin, Kamis, 19 November 2020, untuk memenuhi stok darah di PMI, Fakultas Teknik Mesin dan Digantara (FTMD ITB) berkolaborasi dengan Rumah Amal Salman, YPM Salman ITB dan juga Badan Wakaf Salman untuk mengadakan kegiatan donor darah. Kegiatan ini dilaksanakan di Gedung Serba Guna (GSG) Salman ITB dari pagi hingga tengah hari. Kegiatan ini juga merupakan usulan kebaikan dari Prof. Wiranto Arismunandar (FTMD ITB), bertepatan dengan hari jadinya yang ke 87 tahun.
Di sisi lain, antusiasme masyarakat ternyata cukup baik. Dari 69 pendaftar, alhamdulillah terkumpul sebanyak 44 labu darah. Salah satu pendonor bernama Muhamad Daris Al Husna menyampaikan bahwa dirinya tidak merasa khawatir melakukan donor darah di masa pandemi, sebab kegiatan ini tetap memerhatikan protokol kesehatan.
“Selama masa pandemi saya sudah melaksanakan donor darah sebanyak 2 kali. Pertama di PMI, dan sekarang di Salman. Saya tidak merasa khawatir sebab para pendonor melaksanakan protokoler kesehatan. Seperti kegiatan kita di 14 hari sebelumnya dicek, begitupun kesehatan fisik kita”, ucap Daris.
Pada dasarnya, donor darah di masa pandemi tidak dilarang, selama dilakukan sesuai protokol Covid-19. Sebagaimana redaksi awal, justru donor darah di masa pandemi ini sangat membantu dan menjadi sesuatu yang berharga bagi pasien di luar sana.
“Kami berterima kasih atas terselenggaranya donor darah di Salman. Terima kasih juga sebab kegiatannya dilaksanakan sesuai protokol, semua jaga jarak, sehingga kegiatan berjalan terkendali,” tutur dr. Triwenda Putri.[]
Image may be NSFW. Clik here to view.
Image may be NSFW. Clik here to view.Faiz Manshur. (Foto: swa.co.id)
Oleh: Faiz Mansur (Pengurus Yayasan Odesa Indonesia)
Setiapkali teman-teman dari Kota datang di tempat kami di Odesa, saya sering mendengar ungkapan, “Enak ya di desa; udara segar, tidak macet, masih melihat air mengalir berkelok-kelok, bisa melihat orang mencangkul,” dan apresiasi sejenisnya.
Ungkapan itu memberikan sesuatu pesan bahwa di kota ada ketidakenakan, polusi, kemacetan, dan sejumlah persoalan keseharian akibat ketercerabutan manusia dari alam.
Sementara orang desa bilang ke orang kota; “Ya, beginilah hidup di desa. Susah nyari uang. Sulit pekerjaan. Tidak ada sinyal, anak saya tidak bisa melanjutkan sekolah SMA, penghasilan tak jelas,” dan keluhan sejenisnya. Dua kutub pemikiran yang berbeda melahirkan keluhan yang berbeda. Masing-masing melihat sisi kelebihan. Kita pun bisa memperjelas perbedaan itu dengan memasukkan dikotomi di atas sebagai perbedaan antara kehidupan modern dengan tradisional. Yang hidup dalam modernisasi punya keluhan, yang tradisional juga. Ini kasus hampir serupa dengan teman saya yang anaknya mengatai “Bapak ketinggalan zaman”, karena anaknya kepingin ponsel baru sementara bapaknya mengeluh dengan bilang ”Dasar anak sekarang. Handphone masih bisa dipakai saja masih minta yang aneh-aneh.”
Supaya lebih lengkap lagi, perlu juga saya masukkan dua kutub keluhan, basisnya kelas. Ada kelas penikmat hidup (kelas menengah yang berkecukupan) dan kelas bawah yang kekurangan. Keluhannya tentu saja berbeda. Sama-sama di perkotaan dan tertimpa macet misalnya, kelas penikmat hidup akan menonjolkan keluhannya pada objektivitas kemacetannya karena mengganggu kenikmatan pertemuan makan malam dengan temannya. Lain urusannya dengan pekerja jasa transportasi; dia mengeluhkan macet karena mengganggu perolehan pendapatannya.
Sayang, saya tidak tahu apakah hewan itu sering berkeluh-kesah. Jika tidak, barangkali keluh-kesah itu akibat kita memiliki kemampuan berpikir lebih maju dari hewan. Jika itu masalahnya, Anda bisa memilih tidak berpikir atau kalau perlu menjual otak agar hidup Anda bebas keluhan.
Adakah cara lain? Ya tentu ada. Orang beragama bisa memakai kaidah bersyukur; jangan memperbanyak keluh-kesah sehingga hidup penuh gundah-gulana. Jika Anda kurang suka pakai dasar keagamaan, bisa juga dengan caranya sendiri, misalnya pakai teori ndableg, atau bahasa anak gaul sekarang memilih jalan “egp” terhadap segala macam problem. Ada pula teori yang intelektual, menerapkan akuntansi mental untuk urusan sosial. Tapi semuanya berujung pada tujuan sama, yakni jangan banyak keluhan terhadap situasi karena lingkungan hidup yang kita keluhkan itu tidak bisa kita ubah, termasuk oleh penguasa, termasuk oleh orang yang banyak uangnya.
Saya tidak sedang mengajak menghilangkan keluh-kesah. Sebab barangkali juga memang habitatnya manusia. Tetapi “memilih” jenis keluhan jelas dibutuhkan. Kata memilih ini menandakan kemerdekaan karena budak tidak punya pilihan, termasuk perbudakan situasi.
Kalau keluhan kita sama dengan keluhan kebanyakan, itu pertanda kita bagian dari kawanan. Seperti kita ketahui, kawanan ternak sekalipun rajin memprotes keadaan, pada akhirnya nasibnya tetap sama, lehernya putus tubuhnya dicincang-disantap predator.
Jadi keluhan kita apa? Coba daftar semua keluhan. Barangkali ada pula nanti pembagian keluhan urusan pribadi yang kurang penting dan keluhan milik orang lain yang lebih penting untuk dibahas lalu dijadikan bagian dari gerakan sosial. Kita sortir semua keluhan. Sebagian kita packing, dijual ke toko online, sebagian kita lempar ke laut.[]
Image may be NSFW. Clik here to view.Ilustrasi: Pixabay.com
Oleh: Irawan Barnas
Ibu membangunkanku.
“Hah… Ado apo ma?” tanyaku.
“Pasa tabaka (pasar terbakar),” kata beliau. Kulihat beliau menangis. Kulirik jam dinding. Pukul 3.30 pagi. Entah kenapa ingatanku melayang ke pertandingan Elyas Pical vs Caesar Polanco beberapa malam sebelumnya.
Saat itu dada Sabang – Merauke berdegup menyaksikan perjuangan Pical, dan dini hari itu dada kami berdebar menyaksikan api yang berkobar-kobar melahap pasar. Bergegas aku berlari ke teras belakang rumah toko kami. Dari teras lantai dua tersebut terlihat lidah api yang besar, terasa demikian dekatnya dengan rumah kami.
Aku, remaja 13 tahun, berpikir dan khawatir apakah api akan menjalar dari pasar ke perkampungan dan juga akan melahap ruko kediaman kami. Aku diberitahu bahwa papa sudah ke pasar bersama anak-anak tokonya. Besok adalah hari pasar, hari di mana pasar akan jauh lebih ramai dengan kedatangan pedagang dan pembeli dari luar kota. Artinya, satu hari sebelumnya papa sudah mengisi toko beliau di pasar inpres tersebut dengan barang-barang yang cukup banyak, untuk persiapan dagang di hari pasar, Rabu dan Sabtu.
“Aku mau ke pasar,” kataku. Nenek ikut. Beliau juga yang sehari-hari ikut membantu papa berdagang di toko, selain hari Jumat pagi, hari di mana beliau pergi mengaji dan kadang juga mengajak aku. Kami bergegas berjalan kaki. Menyusuri jalan kecil ke arah pesawahan di belakang pasar.
Ada rumah Andung di situ, saudara nenekku. Kami lihat Andung yang sudah 70-an tahun dan bungkuk, sudah dibawa keluar rumah oleh seorang kerabat -yang juga sepuh- yang menjaga beliau. Dari depan rumah Andung kami melihat kobaran api yang tinggi. Sejarak 100 meter, panasnya kuat menerpa ke wajah kami. Sekelebat muncul tanya di kepala, ini masih di dunia, terpaan hawa panasnya sudah luar biasa, entah bagaimana hawanya neraka, batinku.
Aku bertanya-tanya papa ada di mana. Tiba-tiba nenek rebah. Pingsan. Mungkin beliau syok menyaksikan api yang demikian besar, mungkin karena teringat betapa besar perjuangan papa dalam dagangnya yang baru naik kembali dalam 4 tahun terakhir. Masih melekat kuat di ingatan, 4 tahun sebelumnya, toko beliau di Pasa Ateh, pasar utama di kota kecil kami ketika itu, juga habis dilahap api. Masih kuat di memori, hingga hari ini, bagaimana aku dan kakak mengais-ngais barang sisa kebakaran, mencari-cari sekiranya ada yang masih layak pakai. Atau mungkin karena nenek menahan gemuruh di dadanya.
Entahlah. Yang pasti, nenekku dengan tubuh kecilnya itu adalah pribadi yang tangguh. Yatim piatu sejak usia 5 tahun. Dirawat berganti-ganti oleh kerabat sejak belianya. Menikah di usia 16 tahun. Berdagang sampai ke pinggang gunung Marapi dan Singgalang di jaman Belanda dan Jepang. Jika ada sesuatu yang sampai membuat beliau pingsan, mungkin itu adalah kesedihan atau kekhawatiran yang tak terkendalikan.
“Mak… Mak… Jago, Mak…” kata orang-orang.
Saat itulah aku lihat Papa datang. Berkeringat. Jam 4 pagi. Wajah beliau terlihat serius, seperti menahan sesuatu. Aku amati mata beliau, tak setetes pun aku lihat ada air mengambang di sana. Wajah beliau menyiratkan pikir, tapi tak ada raut kesedihan yang terbaca. Lelaki yang begitu tegar, dibentuk oleh jalan kehidupannya.
Beliau mendekati nenek yang masih setengah sadar. “Mak… Awak kamari indak baok apo-apo. Nanti pulang pun indak baok apo-apo juo (Mak, kita datang ke sini (ke dunia) tidak bawa apa-apa. Nanti pulang pun (ke akhirat) juga tidak bawa apa-apa),” kata Papa. Beliau menenangkan nenek. Nenek ber-istighfar.
Kejadian di atas melekat kuat di memoriku. Sampai hari ini. Empat tahun sebelumnya, kebakaran pasar membuat Papa harus memulai kembali dagangnya dari awal, pindah lokasi dari pasar utama ke samping rumah kami. Di samping kesulitan, ada kemudahan. Begitu kata ayat suci. Takdir kemudahan pun Allah tetapkan.
Tak lama. Terminal dan pasar utama dipindah Pemda ke dekat rumah kami. Hal yang justru membuka jalan beliau untuk sebuah skala dagang yang lebih besar. Dagang maju, pembeli ramai, orangtua terdampingi, anak-anak pun punya kesempatan untuk melatih jiwa wiraswastanya.
Papa adalah satu dari sedikit saudagar pribumi yang berhasil saat itu di kota kecil kami. Pasar adalah tempat bermainnya sejak usia 10 tahun, sejak beliau mengikuti kakek yang juga pedagang. Beliau memilih mundur dari kuliahnya di Geologi UGM, demi membantu ekonomi keluarganya di pertengahan tahun 60-an. Berulang kali mengalami ujian, kebakaran toko, ditipu pembeli, dikemplang piutangnya, di-bully aparat atau buruh setempat. Sejak masih usia sekolah dasar aku ikut terbiasa menyaksikan, “kerasnya” kehidupan pasar tradisional.
Cerita di atas, adalah cara papa mengajariku melihat kehidupan. Sebuah warisan ilmu yang bermanfaat. Tanpa banyak kata-kata, beliau berjuang untuk penghidupan, hasilnya serahkan pada Tuhan. Boleh memiliki, tapi tidak mengikat hati. Semua adalah titipan. Ketika diberi, terima dan syukuri.
Ketika diambil kembali, lepaskan, relakan, karena semua adalah titipan. Yakin bahwa Allah memperhatikan, bahwa Dia Maha Mengatur Segala.
Teruntuk Ayahanda… Semoga tulisan ini menjadi sebentuk warisan ilmu yang bermanfaat dari Ayahanda, bagi anak cucu, bagi karib kerabat dan generasi berikutnya.
Hutang kita adalah ikhtiar, hasilnya Allah yang menentukan. Apapun, terima dengan tegar dan lapang dada. Ayahanda sudah berulangkali buktikan, dalam tindakan. Tanpa banyak kata.[]
Image may be NSFW. Clik here to view.
Image may be NSFW. Clik here to view.Ilustrasi: Pixabay.com
Oleh: Faiz Manshur
(Pengurus Yayasan Odesa Indonesia)
Apa yang Anda pikirkan saat ini?
Saya melontarkan pertanyaan itu bukan untuk menjawab masalah
dalam pikiran Anda. Hanya saja kita sedang punya masalah yang sama yaitu
situasi corona—yang belum sepenuhnya kita terima. Fakta bahwa kita belum bisa
menerima realitas ini adalah: masih kuat kecenderungan kita berpikir tentang
pemulihan seperti sedia kala. Realitas pandemi wabah Corona sudah berjalan
kelewat 9 bulan. Dan ini tak realistis kita berharap pulih sebagaimana situasi
sebelum Pebruari 2020 lalu.
Bulan Maret kita semua resah. Pemerintah mengambil tindakan baru yang sebelumnya tak diprediksikan semua orang. Akhir April kita berharap COVID-19 tuntas. Akhir Agustus mungkin kita berpikir mewujud dan kita pun mereka-reka awal 2021 semuanya sudah normal kembali. Sekarang kita masuk bulan Desember 2020. Adakah yang berpikir semuanya akan normal seperti sediakala?
Saya kira tidak ada. Dilihat dari satu fakta bahwa pergerakan COVID-19 terus merajalela dan membesar, justru kemungkinan tindakannya adalah lebih memperketat interaksi sosial yang bersifat massal.
Berpikir “situasi tidak akan normal dalam jangka panjang” saya
kira lebih realitis. Tidak enak dirasa tetapi lebih masuk logika. Sebab, banyak
sekali elemen yang mendukung agar kita lebih mengedepankan nalar, artinya harus
menghadapi pandemi panjang—ketimbang terus berharap normal yang arahnya
sebenarnya lebih ke arah “menghindari masalah”.
Corona adalah masalah besar kesehatan sekaligus kultur kehidupan Dan itu perkaranya meliputi virus yang harus dilawan dengan dua cara umum, yaitu menghindari dan membasminya dengan vaksin. Yang kedua, corona telah menimbulkan petaka sosial dan itu harus disikapi. Dan ketiga, kita harus tetap survive.
Kebetulan kita punya otak. Semoga tetap terpakai dan terus
terasah. Semoga pula dengan otak yang kita miliki sikap dan kehendak kita bisa
cepat-cepat berubah. Masalah corona adalah masalah konkret yang kita hadapi.
Ada yang mendadak kehilangan peluang bisnis, ada pula yang mendadak kehilangan
pekerjaan, ada juga yang stabil tetapi dengan kecemasan karena situasi yang tak
menyakinkan untuk diprediksi.
Jadi, bagaimana?
Kalau kita pusing, itu baik. Pertanda otak kita masih bekerja.
Memusingkan apa, itu yang mesti menjadi fokus untuk dibahas. Jangan-jangan yang
kita pusingkan itu urusan yang sekunder. Sebab sebelum corona kita juga punya
kepusingan yang barangkali juga kadar atau nilainya sama dengan situasi
sekarang.
Mungkin karena kita tak terbiasa fokus dalam urusan internal
–yang produktif–yang membutuhkan konsistensi kerja jangka panjang
bertahun-tahun sehingga banyak di antara kita dipusingkan oleh urusan yang tak produktif
juga, misalnya hanya urusan kehilangan tempat berhura-hura, kehilangan eksis
karena kebiasaan bergerombol, atau kehilangan acara pamer. Ada sekian bukti
kegiatan sosial berkerumun yang membawa celaka itu juga tidak produktif seperti
nekad menggelar acara massal kawinan, belanja bergerombol, dan acara olahraga
dengan berkerumun.
Harus diakui, ada masalah sosial di dalam kebudayaan kita yang
tidak produktif. Sementara kita sering mengabaikan masalah produktivitas dalam
ruang kerja yang lebih penting seperti kewirausahaan, keilmuan, pendidikan anak
dalam rumah tangga, dan juga urusan sosial produktif berhaluan empati.
Lebih dari sekadar pusing, ada gunanya kita memperkuat
sendi-sendi internal kita; diri kita dalam keluarga dan ladang usaha tempat
kita bekerja, keilmuan kita, juga pengembangan komunitas kita agar semakin kuat
dalam memperbaiki keadaan.
Setiap kenyataan membawa “pesan di balik kejadian”.
Saat makmur pesannya adalah waspada dan yakin bahwa roda kemakmuran tidak akan
terus berlangsung. Karena itu harus ada manajemen kontrol untuk investasi
(bukan sekadar investasi materi, tapi ilmu dan pengalaman dan jejaring sosial).
Saat terjadi kemelaratan, pesannya adalah, berdamai dengan kesengsaraan,
mencoba mencari jalan keluar dan harus percaya bahwa kesengsaraan itu tidak
akan selamanya terjadi.
Malapetaka Corona sebenarnya bisa diarahkan untuk membangun
konstruksi nalar hidup yang baru yang bisa diharapkan menjadi perbaikan,
terutama kualitas kehidupan bangsa Indonesia yang sejak dulu tak beranjak membaik
dalam hal ekonomi, pendidikan, dan juga kesehatan.
Sebelum ke arah yang lebih rinci dalam perbaikan sendi-sendi kehidupan kultural, ada baiknya kita fokus pada urusan survive. Tentu pengertian survive bagi kelas menengah yang berkecukupan ekonomi bukan sekadar makan dan tempat tinggal, melainkan meliputi aktivitas men-survive-kan manusia dalam konteks terjaganya kesejahteraan.
Ada dua cara survive, yang pertama produktif dan bisa berkontribusi men-survive-kan pihak lain. Ada juga cara survive lain, yaitu kita ingin hidup tetapi merusak, bahkan mematikan pihak lain.
Dari sinilah kita memulai membentuk kultur baru. []
Image may be NSFW. Clik here to view.
Image may be NSFW. Clik here to view.Foto: gaya.tempo.co
Oleh: Agus Kurniawan
(Alumni Salman Komunikasi Aspirasi Ummat (SKAU), goweser dan Pekerja IT)
Suatu sore saya menerima telpon Ibu, “Gus, kamu sementara gak usah kirim duit. Penghasilanku masih cukup.”
Usia Ibu 71 tahun. Berprofesi sebagai dukun bayi, di lereng Gunung Andong, Kab. Magelang.
Bulan Desember tahun 1991, PBB mempublikasikan resolusi bernomor 46/91 tentang 5 prinsip memuliakan lansia (orang lanjut usia). Prinsip seperti perlindungan dan perawatan sudah banyak kita pahami. Yang “agak” baru adalah pengakuan hak para lansia:
untuk menentukan hidupnya sendiri,
diperlakukan sebagai sosok manusia utuh (bukan orang yang sudah tidak berguna),
dan dihormati sebagai manusia mandiri dan produktif (bukan beban keluarga).
Sebelumnya kita memang sering berstigma tentang lansia. Mereka diperlakukan sebagai sosok yang sudah tidak berfungsi. Hidupnya bergantung pada yang muda. Dan — lebih jauh lagi — menjadi beban keluarga. Masyarakat — umumnya di negara maju — ujungnya menempatkan mereka di tempat yang para lansia sendiri tak menginginkan, misalnya panti wreda. Atau jika ikut keluarga, mereka ditempatkan di kamar afkiran. Tentunya ini bisa masuk ranah diskriminasi.
Para penggiat pemuliaan lansia di negara maju mulai merumuskan berbagai konsep. Salah satunya yang disebut “Aging in Place” (AIP), atau menua di rumah. Ringkasnya, para lansia memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan dimana dia harus menjalani masa tuanya (misalnya di rumah) dan hak-hak lain yang berkaitan dengan perlindungan dan perawatan.
Lho itu bukan hal yang aneh bagi kita? Betul. Suatu riset internasional memang menempatkan Indonesia pada posisi yang tinggi dalam budaya memuliakan lansia. Budaya kita menghargai para lansia dengan sangat baik. Tetapi — sayangnya — itu hanya dalam hal budaya. Karena jika ditinjau dari praktek perlindungan dan perawatan, kita masih kalah jauh dari negara maju, atau bahkan dari negara tetangga.
Sikap luhur ini berasal dari tradisi turun temurun. Bagi masyarakat muslim, para lansia bahkan menempati posisi terhormat. Dalam ajaran Rasulullah Muhamad SAW, memuliakan lansia — khususnya orang tua kandung — adalah keutamaan yang bernilai tinggi. Secara kultural, restu mereka bahkan dihargai secara sakral.
Ibu saya tentu saja senang jika kami — anak-anaknya — memberikan perlindungan dan perawatan. Tetapi beliau lebih bahagia jika mampu mencukupi diri sendiri. Sebab, manusia akan merasa utuh (fulfilled) ketika tidak menjadi beban tanggungan orang lain, termasuk keluarganya.[]
Image may be NSFW. Clik here to view.
Image may be NSFW. Clik here to view.Foto: itb.ac.id
Oleh: Adhi Fikri
(Alumni Unit Pembinaan Anak Salman (PAS) Semester 36)
Dulu orang Arab menamai hari sesuai dengan jumlah bilangan, 1, 2, 3, 4 dan 5. Sehingga hari pertama disebut احد ahad, artinya satu. Hari kedua disebut اثنين itsnain, artinya dua. Dalam bahasa Indonesia disebut Senin. Hari ketiga disebut ثلاثاء tsulasa — dari kata ثلاثة tsalatsah artinya tiga —dalam bahasa Indonesia disebut Selasa. Hari keempat disebut اربعاء arbi’a, dari kata arba’ah artinya empat — dalam bahasa Indonesia disebut Rabu. Hari kelima disebut خميس khomis, dari kata خمسة khomsah artinya lima —-dalam bahasa Indonesia disebut Kamis.
Kelima hari di atas adalah hari kerja buat mereka. Uniknya adalah hari keenam tidak dinamai; سادس sadis, artinya enam. Mereka memang bekerja 5 hari saja. Hari keenam mereka sebut hari arubah (يوم العروبة), Hari Berbangga Diri sebagai orang Arab.
Mereka berkumpul di pasar-pasar untuk menunjukkan hasil kerjanya. Para pedagang akan memamerkan kekayaannya. Para penyair akan memamerkan syair-syairnya. Para dukun akan memamerkan mantra-mantra ajaibnya. Sementara para penyihir akan memamerkan rumus untuk mencelakakan orang lain. Lalu, pemenangnya akan dijadikan tokoh bagi orang arab. Bahkan syair yang terindah, akan ditempelkan syairnya di Ka’bah.
Ya, hari keenam adalah hari saling memamerkan kehebatan, agar tampak hebat di depan orang banyak. Sementara Kaum miskin, bodoh dan lemah semakin tersingkir dari pergaulan.
Sebelum nabi hijrah ke Madinah, turunlah ayat berikut,
ياأيها الذين امنوا اذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فسعوا لاىي ذكرالله وذوا البيع ذلكم خير لكم ان كنتم تعملون
“Hai orang beriman, apabila diseru untuk shalat pada hari Jumuah (Jum’at) maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah aktivitas jual-beli (segala bentuk interaksi). Itu lebih baik untuk kamu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumuah [62]: 9)
Setelah itu hari arubah berganti nama menjadi hari jumuah.Jumuah (جمعة) dalam bahasa arab berarti (الألفة المجموعة) “keakraban yang dikumpulkan” (perkumpulan keakraban), saling memperhatikan dan peduli satu sama lain. Jadi jumat itu bukan perkumpulan biasa, yang dalam bahasa Arab disebut ijtima’ (اجتماع).
Ingat, bukan kumpul biasa, shalat lalu pergi tanpa saling mempedulikan keadaan orang sekitar. Orientasi dari hari ini juga berubah, dari hari berbangga diri dengan berpamer, menunjukkan kehebatan diri sendiri, menjadi dzikrullah (mengingat kebesaran Allah).
Kita diajarkan oleh Nabi, untuk mengenali orang-orang sekitar kita. Bagaimana keadaannya? Apa kebutuhannya? Apakah dia butuh pertolongan? Kalau orang-orang berkumpul dan saling memperhatikan satu sama lainnya, InsyaAllah tidak ada orang susah yang tidak terbantu.
Itulah hakikat Jum’at yg dalam bahasa Arab disebut jumuah. Hari berkumpul yang penuh keakraban. Tempatnya di tempat terbaik yaitu masjid (rumah Allah), dan yang mengundangnya adalah Allah Swt.[]
Image may be NSFW. Clik here to view.Foto: Syarif Hidayat.
Oleh: Syarif Hidayat
(Warga Negara Indonesia beragama Islam, Dosen ITB yang bergiat di Masjid Salman)
Sahabat sekalian, saya mohon izin berbagi pandangan
soal radikalisme.
Hari Selasa kemarin (05/01/2021) beberapa kawan
bertanya bagaimana sikap saya sehubungan dengan beredarnya surat terbuka dari
kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Anti Radikalisme. Ini jawaban saya:
Saya tidak tahu persis apa yang dimaksud kelompok ini dengan radikalisme dan kelompok mana yang dimaksud. Tetapi, bila yang dimaksudkan dengan sikap radikal adalah sikap memaksakan pandangan diri atau kelompoknya kepada publik (baik secara verbal ataupun secara fisik), saya sepenuhnya setuju untuk melawannya.
Saya yakin kita sepakat bahwa sikap radikal memang ada pada kelompok SARA manapun. Tetapi, kendati pun suaranya nyaring, prosentase orang yang bersikap atau menyetujui sikap radikal relatif kecil.
Saya juga yakin kita sepakat bahwa sebagian besar di antara kita adalah insan moderat multi dimensi yang bersyukur atas kebhinekaan kita, mengisinya dengan karya-karya yang memberi manfaat untuk bangsa dan sesama, sambil meniti jalan menuju surga (menurut keyakinan kita masing-masing). Pada saat yang sama kita juga tidak terpikir untuk memaksakan pendapat kita kepada orang lain.
Saya yakin kita sepakat bahwa manusia bukan makhluk sempurna. Walaupun kita telah berniat baik, belum tentuk tindakan kita tanpa cela, belum tentu pula disetujui orang lain. Akan tetapi adalah bijaksana bila kita memperbaiki diri dengan mencerna kritikan orang lain, walau pun kadang terasa menyakitkan.
Saya yakin kita sepakat bahwa sikap memberi cap atau stigmatisasi tanpa dasar merupakan sikap kerdil, tidak adil dan tidak produktif. Stigmatisasi tanpa dasar hanya menimbulkan permusuhan dan memancing balasan dari kelompok sasaran.
Saya mengajak kepada sahabat yang merasa telah bersikap moderat tetapi dijadikan sasaran stigmatisasi, untuk tetap ajeg memelihara sikap moderat dan tetap berkarya dengan penuh keyakinan tanpa merasa terganggu atau terpancing untuk membalas tudingan yang memang umumnya tidak cukup berdasar.
Saya mengajak kepada sahabat yang merasa gerah dengan sikap radikal dari kelompok yang “bukan kelompok kita”, apa pun keyakinan kita, apapun ideologi kita, apapun afiliasi kita, untuk terus ajeg memelihara sikap anti radikal tanpa terpeleset untuk bersikap radikal dengan memaksakan generalisasi cap pada kelompok lain tanpa cukup bukti.
Saya mengajak kita semua untuk memperkuat bangsa kita yang bhineka dengan berbincang secara rileks, meninggikan telinga dan merendahkan suara sehingga kita cukup beruntung untuk mendengar banyak dan memungut serpihan kebajikan bahkan dari musuh kita (bila memang ada).
Saya mengajak kita semua untuk memusatkan energi positif kita, menghabiskan waktu untuk mencintai mereka yang mencintai kita, sehingga tidak tersisa waktu untuk membenci mereka yang membenci kita.
Image may be NSFW. Clik here to view.Foto: Dok. Rumah Amal Salman
(Rumah Amal Salman, Bandung) – Di awal pandemi Covid-19, ITB, UNPAD, dan Masjid Salman ITB mengembangkan alat bantu pernapasan yang sangat dibutuhkan oleh pasien Covid-19, yakni ventilator. Ventilator yang diberi nama Vent-I atau Ventilator Indonesia ini merupakan karya anak bangsa, yang telah berhasil melalui berbagai pengujian standardisasi alat kesehatan. Tingginya kebutuhan akan ventilator di berbagai rumah sakit membuat Rumah Amal Salman menggalang dana untuk pengembangan dan produksi Vent-I.
Animo masyarakat untuk mendukung pengembangan dan produksi Vent-I sangat tinggi. Kontribusi masyarakat hadir baik secara personal, komunitas, lembaga, termasuk juga perusahaan-perusahaan besar. Setidaknya dari sana, sebanyak 936 unit Vent-I berhasil diproduksi dan didistribusikan secara gratis ke 348 rumah sakit di seluruh Indonesia (34 Provinsi).
Selain animo masyarakat, tanggapan dari berbagai petinggi negeri pun sangat baik. Orang nomor satu di Indonesia, Ir. Joko Widodo menyampaikan, “Saya kira kalau kita memang kepepet itu semua (inovasi) bisa dilakukan, dan itu dimulai sejak covid Maret, ini langsung bergerak dan ternyata kita bisa membuatnya sendiri tidak usah impor,” ucap Bapak Presiden.
Selain presiden, respon positif juga disampai oleh para tenaga medis. Salah satunya, diwakilkan oleh Dokter Dewi Kusumawati dari Rumah Sakit Santo Borromeus. Katanya, “Terimakasih sudah diberi sumbangan alat buatan anak negeri. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya Vent-I membantu menunda perburukan oksigenasi. Sementara obat-obatan diberikan sebagai simultan untuk mencegah perburukan kondisi pasien covid.”
Sayangnya, memasuki tahun 2021, bencana pandemi masih berdampak di sebagian besar wilayah. Virus yang mudah menyebar, menjadikan jumlah pasien covid-19 semakin bertambah. Ruang rawat di rumah sakit – rumah sakit juga terbatas, sehingga membuat kondisi pasien semakin memburuk.
Oleh karena itu, Rumah Amal Salman kembali berinovasi untuk pengembangan ventilator dan alat kesehatan lainnya. Kedua alat kesehatan ini bernama HFNC (High Flow Nasal Cannula) dan PNPC (Personal Negative Pressure Chamber).
HFNC ventilator merupakan ventilator dengan fungsi memberikan udara dengan laju aliran yang tinggi ke paru-paru secara kontinu yang temperatur dan kelembaban udaranya dapat diatur sehingga membuat pasien tetap nyaman. PNPC merupakan alat kesehatan yang dapat menjadi solusi atas keterbatasan ruang perawatan pasien Covid-19 juga bermanfaat untuk melindungi para tenaga kesehatan dari risiko transmisi infeksi melalui udara. Baik HFNC maupun PNPC, kedua alat ini telah mengalami pengujian fungsi oleh Balai Pengaman Fasilitas Kesehatan (BPFK) Jakarta.
Sejatinya, bencana pandemi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Ini juga menjadi tanggung jawab kita bersama. Pengembangan alat-alat kesehatan, dukungan dana dari masyarakat, semua itu merupakan ikhtiar kita untuk mengurangi resiko kondisi terburuk bagi para pasien covid-19. Semoga pandemi segera berlalu, dan kita semua segera mendapatkan kesehatan jasmani dan juga ruhiyah. * (Marchiana)
Rumah Amal Salman adalah lembaga pengelola zakat, infak, sedekah dan lainnya yang berfokus pada pendidikan dan teknologi.
Rumah Amal Salman Alamat: Jalan Gelap Nyawang nomor 4, Bandung | Call Center +62 811-2228-333 |www.rumahamal.org| instagram.com/rumahamalsalman/
Rumah Allah tersebar di seluruh bumi. Tak terkecuali, di
Negeri Sakura, Jepang. Negara yang berada di kawasan Asia Timur ini bukanlah
negara dengan penduduk Muslim yang banyak. Populasi Muslim hanya sebesar 0,1%
dari keseluruhan. Itu pun, hampir 90 persennya merupakan warga pendatang. Meski
begitu, persebaran Islam tumbuh begitu cepat. Masjid, sebagai sentra dakwah dan
kegiatan umat Islam menjadi kian dibutuhkan. Termasuk di kota Ibaraki, yang
terletak di prefektur Osaka.
Masjid Ibaraki diresmikan berdiri pada tahun 2006. Butuh
waktu 25 tahun bagi komunitas Muslim di sana hingga dapat mendirikan pusat
aktivitas keislaman di utara Osaka tersebut. Masjid itu kerap ramai didatangi
jamaah maupun wisatawan. Lokasinya yang berdekatan dengan Universitas Osaka,
membuat Masjid Ibaraki menjadi tujuan utama mahasiswa asing yang beragama Islam
sebagai tempat ibadah. Tak hanya mahasiswa. Kalangan ekspatriat dari berbagai
negara pun sering mendatangi masjid ini.
Pada Sabtu (16/01/2021) lalu, Masjid Ibaraki “dibuka” bagi
mereka yang ingin “mengunjungi” masjid tersebut secara virtual. Melalui ajang “Discover
Ibaraki Mosque”, Wakaf Salman ITB mengajak peserta “berkeliling”, melihat-lihat
masjid yang ramai didatangi umat Muslim antar negara itu. Dalam virtual tour, peserta dapat melihat
kekhasan interior dan arsitektur bangunan khas Jepang yang tetap dipertahankan.
Bedanya, adanya mihrab untuk imam shalat serta lantai bangunan beralaskan
sajadah. Tersedia pula sudut yang diisi buku-buku dan mushaf Al-Qur’an.
Menariknya, Masjid Ibaraki mulanya adalah rumah tinggal
warga setempat. Bangunan dua lantai itu pun dialihfungsikan menjadi sebuah
masjid. Lantai satu untuk jamaah laki-laki, sedangkan lantai dua untuk jamaah
perempuan. Hal unik lainnya, bagian yang dulu berfungsi sebagai dapur masih
ada, dan kini disulap menjadi tempat penyimpanan frozen food halal. Makanan beku tersebut pun bebas dibeli oleh
jamaah.
Bagi komunitas Muslim di Osaka, Masjid Ibaraki bukan sekadar
tempat shalat. Di sana pulalah, mereka mengadakan perayaan hari-hari besar
Islam, pendidikan agama, serta kegiatan sosial lainnya. Banyak generasi muda
Muslim yang lahir dan besar di Jepang menimba ilmu di sana. Ada pula kelas
intensif belajar shalat bagi mualaf, serta kegiatan cultural exchange dan pemberian bantuan sosial bagi masyarakat yang
membutuhkan.
Jamaah Terus
Bertambah
Perjuangan dakwah di Jepang itu tidak mudah. Menurut Haji
Kyoichuro Sugimoto, Ketua Pusat Kebudayaan Islam Chiba, ada empat tantangan
utama berdakwah di Jepang. Yakni, berdakwah pada nonmuslim, dukungan pendidikan
agama untuk mualaf, pendidikan Islam bagi generasi muda, serta integrasi sosial.
Meski begitu, ada peluang untuk jalan masuk dakwah,
mengingat nilai budaya Jepang dan ajaran Islam memiliki banyak kesamaan. Itulah
mengapa, kehadiran Masjid Ibaraki sangat berperan. Meski, masih terbatas. Dalam
pelaksanaan shalat Id saja pengurus masjid harus menyewa gedung lain, mengingat
kapasitas masjid yang tidak mampu menampung jamaah.
Pengurus sendiri telah berencana mengadakan proyek perluasan area masjid. Perluasan area ini nantinya akan digunakan untuk sarana ibadah dan pendidikan. Wakaf Salman ITB bersama Hajj Kyoichiro Sugimoto pun mengajak masyarakat Indonesia berkontribusi dalam pembangunan masjid tersebut lewat acara “Disover Ibaraki Mosque”. Hingga akhir acara, Wakaf Salman ITB dan pengurus Masjid Ibaraki berhasil mengumpulkan dana wakaf hingga Rp 92.257.712,-. Penyelenggara berharap, pembangunan Masjid Ibaraki dapat memperkuat kegiatan dakwah di negeri Jepang.[Nurul]
Image may be NSFW. Clik here to view.Ilustrasi: www.pixabay.com
Oleh: Adhi Fikri
(Guru, Alumni Unit PAS Semester 36)
Suatu saat saya mendengarkan ceramah seorang ustadz yang sedang viral. Beliau ini kocak sekali, saya suka tak bisa menahan tawa mendengar kelucuan dalam ceramahnya. Suasana hati saya tiba-tiba berubah ketika beliau berkata fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Beliau mencoba menerjemahkan ayat (الفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ) atau (الْفِتْنَةُ اكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ) dengan arti, “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.”
Bagi saya ini fatal, karena bukan itu artinya. Tak pernah ada kitab tafsir manapun yang memberikan makna seperti itu dalam ayat ini. Sebagai orang yang berkecimpung dalam pengajaran kebahasa-araban saya merasa harus menuliskan hal ini, agar kesalahan pemaknaan ini dapat dikurangi atau diminimalisir.
Banyak orang yang salah memaknai kata “فِتْنَةٌ” (dalam bahasa arab) dengan arti fitnah (dalam bahasa indonesia). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Fitnah” berarti perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang). Sementara dalam bahasa Arab terambil dari kata فَتَنَ fatana yang pada mulanya bermakna membakar emas untuk mengetahui kadar kualitasnya.
Kata tersebut kemudian mempunyai makna yang beragam tergantung konteksnya. Bisa bermakna godaan yang menggiurkan, kekacauan, kegelisahan, bencana, siksaan, dan ujian. Di dalam Alquran kata فتنة/ fitnah terulang tidak kurang dari 30 kali, dan tidak ada satu pun yang mengandung makna membawa berita bohong untuk menjelekkan orang lain. Sehingga tidaklah tepat ketika kata fitnah dalam QS. Al-Baqarah ayat 191 (الفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ) diterjemahkan dalam arti “fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan” atau “fitnah itu lebih besar dosanya dari membunuh.”
Fitnah yang dimaksud dalam ayat ini adalah penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Musyrikin Mekah terhadap kaum Muslimin –berupa aneka siksaan jasmani, perampasan harta, dipisahkan dari sanak saudara, teror, dan pengusiran dari tanah air, yang disebabkan masalah perbedaan agama dan keyakinan– itu lebih besar bahaya dan dosanya dari pada pembunuhan. Mengapa demikian? Karena penderitaan fisik dan penderitaan jiwa yang dialami itu lebih lama dari pada penderitaan seseorang ketika dibunuh (rujuklah ke kitab Tafsir Marah Labid).
Contoh lain kata fitnah juga terdapat dalam ayat 15 surat At-Taghabun,
إنما أموالكم وأولادكم فنتة
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).”
Harta dan anak-anak disebut cobaan karena keduanya dapat membuat hati seseorang terguncang. Guncangnya hati, akibat situasi yang kadang tidak sejalan dengan harapan. Harapannya harta berlimpah, tapi ternyata kekurangan. Harapannya untung dalam berdagang, tapi ternyata rugi. Harapannya anak itu nurut pada orang tuanya, ternyata anaknya berani menentang, dan sebagainya.
Masih banyak kata fitnah yang kita dengar dalam istilah agama seperti fitnah dunia, fitnah dajjal, fitnah alam kubur, dan sebagainya. Hal yang perlu diingat adalah fitnah dalam bahasa Arab itu berbeda dengan “fitnah” dalam bahasa Indonesia.
Lantas, apa sih bahasa Arabnya “fitnah”, dalam arti “menuduh seseorang dengan menyebarkan kebohongan”?
Dalam bahasa Arab itu biasa disebut قَذَف / Qodzaf, yang berarti menjelekkan seseorang, atau بهتان / buhtan, atau berbohong. Semoga bermanfaat.
Image may be NSFW. Clik here to view.Ilustrasi: www.pixabay.com
Oleh: Tessa Sitorini
(Jamaah Masjid Salman ITB)
Kalau kita kagum dengan seorang figur, biasanya segala berita tentang yang bersangkutan selalu menarik untuk diikuti. Tidak hanya itu sebagian yang menyatakan dirinya sebagai fans tidak tanggung-tanggung membaca semua versi biografinya, menonton dokumenternya, tahu banyak detail hidupnya, bahkan sampai diikuti. Tinggalnya di mana, apa makanan favoritnya, apa kendaraannya, siapa pasangannya, siapa nama anak-anaknya, dan sebagainya.
Saking banyaknya informasi yang diserap, maka si fans seolah-olah sudah mengenal figur favorit tersebut. Padahal ketemu saja belum pernah. Tapi kala ditanya, “Kamu kenal si A?” Secara emosional dia akan lugas menjawab, “Iya dong!” Padahal ada perbedaan cukup signifikan antara mengetahui dan mengenal.
Untuk benar-benar mengenal seseorang, khalifah Umar bin Khaththab memberikan tiga parameter yang patut diamati.
1. “Apakah dia tetanggamu, yang mengetahui perilakumu siang dan malam?” Artinya yang benar mengenal kita adalah yang sehari-hari berinteraksi erat, bisa jadi orang itu adalah pasangan, orang tua, adik, kakak, dan orang yang hidup di satu atap.
2. “Apakah kau pernah berbisnis dengannya?”Masalah uang itu hal yang bisa memicu konflik. Kita bisa kenal kualitas seseorang dari tanggung jawabnya memegang amanah, kesadarannya untuk membayar utang dan memenuhi janji, dan bisa terlihat apakah seseorang itung-itungan dan cenderung pelit atau tidak jika kita pernah punya pengalaman bermuamalah dengannya.
3. “Apakah kau pernah bersama dalam sebuah perjalanan (safar) dengannya?” Sebuah perjalanan baik itu secara fisik atau menempuh sekian lama pasang surut kehidupan akan mengungkap kualitas seseorang seperti apa. Seseorang bisa saja tampak sabar dan baik jika di atas mimbar, di depan kamera, atau di lingkungan tertentu. Tapi coba lihat perilakunya saat menjalani keseharian.
Ada orang bijak yang mengatakan bahwa jika ingin mengetahui karakter seseorang, tanya kepada orang-orang yang tampak lemah yang ada di sekitarnya. Tanya kepada pembantunya tentang perilaku si majikan. Tanya kepada seorang cleaning service atau supirnya jika ingin tahu perilaku si boss. Tanya kepada pramusaji di restauran yang dia biasa makan di sana. Tanyakan tentang bagaimana ia memperlakukan mereka semua. Apakah dengan santun atau sombong? Karena orang akan cenderung mengeluarkan sisi lain manakala berhadapan dengan orang yang dia pikir “lebih rendah” darinya.
My point is this. Kita cenderung cepat menyimpulkan sudah mengenal seseorang hanya karena kita banyak tahu tentang orang tersebut. Tapi selama kita belum pernah berinteraksi dekat dengan yang bersangkutan, semuanya dugaan semata. Belum tentu menggambarkan dengan akurat tentang jati diri orang tersebut. Alias, kita sebenarnya belum kenal.
Nah, sekarang kalau ditanya. Apakah kita kenal Allah Sang Rabbul ‘Alamiin? Pasti jawabannya cenderung ya. Karena sudah merasa shalat berpuluh tahun, tambah shaum tiap bulan Ramadhan plus shaum sunnah, dan umrah pun sudah berkali-kali. Al Quran pun ada beberapa versi di rumah. Belum lagu buku-buku agama yang memenuhi rak-rak buku. Kita mengaku ngefans banget sama Dia, sampai suka meneteskan air mata kalau sedang berdoa berjamaah dengan haru biru. Tapi dengan logika yang sama dengan si fans yang mengklaim mengenal idolanya.
Jujur saja, apakah kita benar-benar mengenal-Nya? Atau Dia sebenarnya masih hanya sekadar rangkaian imaji yang kita reka di benak kita tersusun dari sekian banyak informasi yang kita dapatkan sejak kecil. Meminjam pertanyaan-pertanyaan dari Umar bin Khaththab di atas. Apakah kita benar-benar banyak memiliki pengalaman keseharian dengan-Nya, atau Dia hanya sekadar sebuah obyek yang kita hadapkan selama beberapa menit dalam petak sajadah atau sesekali tempat kita meratap saat sedang membutuhkan sesuatu. Dan ya, sambil meneteskan air mata.
Namun kalau boleh jujur sebenarnya bukan air mata yang ditujukan untuk-Nya, tapi lebih karena kita sedih kehilangan sesuatu, sedih ingat orang yang dikasihi, sedih mengenang sebuah nostalgia lama, sedih khawatir masa depan, dan sekian banyak kesedihan yang sebenarnya tidak bekaitan dengan Dia secara langsung. Tapi toh, Dia dengan sabar mendengarkan. Dengan telaten merawat kita. Dan dengan murah hati menjawab dan mengabulkan sekian keinginan kita. Walaupun sekali lagi kalau boleh blak-blakan, Dia bukan objek yang kita tuju. It’s basically based on the love of ourself. A selfish love.
Untunglah Allah menurunkan figur-figur para nabi sebagai contoh orang-orang yang tidak hanya mengetahui Allah tapi juga mengenal-Nya agar bisa kita tiru. Mereka adalah orang yang bertetangga dekat dengan Allah. Setiap saat selalu dalam dzikir, bagi mereka istilah “Allah lebih dekat dari urat nadi” bukan sekadar jargon, tapi mereka hidup dengan itu. Karenanya seorang Zakariya as yang berdoa puluhan tahun memohon dikaruniai keturunan bisa melontarkan sebuah ungkapan yang diabadikan dalam Al Quran, “Aku tidak pernah kecewa berdoa kepada-Mu.”
Bagi orang yang “bertetangga dekat” dengan Allah tujuan dari berdoa adalah agar semakin dekat kepada-Nya, terlepas doa itu dikabulkan atau tidak. Karena ia menjadikan sebuah kebutuhan atau permintaan sebagai sarana saja untuk bisa bermunajat kepada-Nya. Para Nabi juga adalah orang yang sering berniaga dengan Allah. Dan Dia Maha memegang janji, karenanya keteguhan imannya demikian kuat.
Seperti nabi Ibrahim yang walaupun sudah dikepung oleh bara api yang akan melumat habis tubuhnya tetap tenang dan menolak bantuan malaikat Jibril as – karena yakin Tuhannya akan menolong. Dan benar, Allah kemudian membuat jilatan api tidak terasa panas untuk Ibrahim as.
Kemudian betapa kita selalu terkesan atas kesabaran seorang Ayyub as yang menanggung sebuah perjalanan diruntuhkan hidupnya bersama Allah, akan tetapi sesuatu yang baru dibangun di atas reruntuhan itu. Bahwa apa-apa yang hilang akan selalu diganti dengan yang lebih baik.
Sekarang, bagaimana dengan kita? Apakah pernah bertetangga dekat dengan-Nya? Bermuamalah langsung dengan-Nya? Menempuh sebuah takdir-Nya bersama? Di mana posisi Dia di hati selama ini?
Akhirnya kita akan melihat bahwa semua ujian yang pernah menyakiti, sebuah episode kegagalan, sebuah keterpurukan, sebuah kerugian, bahkan sebuah tragedi sekalipun bukan sekadar “kesialan” dalam hidup, tapi itu sebuah sapaan dari-Nya yang ingin memperkenalkan Diri kepada kita. Karena tanpa pelucutan objek-objek tempat kita bersandar dan bertumpu itu, Dia tidak pernah dikenali.
Artinya kefakiran, kesempitan, ketidakpastian hidup itu, adalah sebuah keniscayaan sebagai jembatan untuk mengenal-Nya. Yang dengan itu kita jadi punya pengalaman tidak meminta kepada siapapun, tapi kok, ada yang mendengarkan jeritan hati kita, merasakan pernah disembuhkan oleh-Nya ketika semua dokter sudah angkat tangan, pernah tiba-tiba diselamatkan saat secara logika itu tidak mungkin. Di saat-saat itulah kita menjadi lebih mengenal-Nya Sang Rabbul ‘alamiin. Yang selama ini memelihara kita. Dan itu dijalin di setiap waktu, hingga datang saatnya kita beralih ke alam barzakh kita baru bisa menjawab pertanyaan pertama yang pasti akan kita hadapi nanti, “Man Rabbuka?” (Siapakah Tuhanmu)? Dan hanya mereka yang sudah mengenal-Nyalah yang bisa menjawab pertanyaan itu…[]
Image may be NSFW. Clik here to view.
Beberapa waktu lalu, bencana menimpa Kalimantan Selatan dan Majene-Mamuju. Bencana banjir dan gempa yang melanda, menimbulkan kerugian triliunan rupiah. Korban jiwa berjatuhan, ribuan warga juga terpaksa mengungsi. Kondisi seperti ini membuat para korban bencana mengalami berbagai kesulitan seperti masalah pangan dan air bersih.
Ikatan Alumni ITB bersama Wakaf Salman ITB bergandengan tangan untuk membantu saudara-saudara kita yang terdampak bencana tersebut melalui gerakan Ganesha Peduli Bencana. Salah satunya dengan menyediakan Instalasi Pengolahan Air (IPA) dengan konsep Modular dan Mobile yang memungkinkan untuk penyebaran ke berbagai lokasi bencana dengan cepat, serentak, dan langsung menghasilkan air minum untuk 4.000 sampai 5.000 korban bencana.
Bantu saudara kita korban bencana melalui Ganesha Peduli Bencana dengan 1⃣ Paket Donasi Peduli Rp 1.000.000,- 2⃣ Paket Donasi Simpati Rp 2.500.000,- 3⃣ Paket Donasi Empati Rp 5.000.000,- 4⃣ Paket Donasi Harmoni Rp 10.000.000 5⃣ Di luar besaran paket di atas, kami menerima donasi dengan jumlah lainnya
Mari bergerak bersama dan salurkan donasi terbaikmu melalui: Image may be NSFW. Clik here to view.BNI: 197-592-104 Image may be NSFW. Clik here to view.BCA: 777-085-7605 Image may be NSFW. Clik here to view.A.N YPM Salman ITB
Informasi dan Konfirmasi Donasi: wa.me/628112133444
Salam Ganesha! Bakti kami untukmu Tuhan, bangsa dan almamater!