Foto: filmmovement.com
Reda senewen bukan main. Saat itu ialah kesempatan terakhirnya mengikuti sebuah tes akademik. Alih-alih mendukung, sang ayah malah menyuruhnya untuk mengantarkan beliau berhaji. Bukan sekadar mengantar sampai bandara, namun mengantar sampai Mekkah dengan bermobil! Sadar betul akan budaya keluarganya yang masih memegang teguh norma hierarki—Reda menyanggupi walau setengah hati.
Paragraf di atas merupakan latar belakang dari keseluruhan sebuah film tempaan Ismaël Ferroukhi. Sesuai dengan judul filmnya, “Perjalanan yang Besar”—perjalanan yang ditempuh Reda dan ayahnya (selanjutnya disebut Le Pere) ini menghadiahi pelajaran kehidupan yang besar bagi keduanya.
Perjalanan membentang dari Prancis, Italia, Slovenia, Kroasia, Serbia, Bulgaria, Turki, Suriah, Yordan, hingga Arab Saudi.
Tidak ada pihak yang mendapatkan pelajaran kehidupan yang lebih banyak—misalkan Reda saja karena dia seorang anak yang cenderung “tidak menaati agama”. Namun Le Pere yang religius pun terkadang diingatkan Reda mengenai jati diri keagamaannya.
Alur cerita—pada awalnya dibumbui oleh nilai-nilai berbeda yang seolah memisahkan mereka jauh walau berhari-hari duduk berdekatan. Ferroukhi sang sutradara mendeskripsikan film ini sebagai a “father and son who live under the same roof but don’t speak the same language, or know each other”.
“I have to pray.”
“Now?”
“Park over there.”
“Hold on. We’re on customs”
“So what?”
“It’s no place to pray”
“Do you believe in God?”
Reda geleng-geleng kepala ketika di perbatasan Prancis dan Italia, ayahnya memaksakan diri untuk salat di samping jalan. Reda adalah sosok remaja yang sudah tidak mengindahkan ajaran Islam dalam jiwanya. Ia tidak pernah terlihat salat. Kekasihnya berasal dari kalangan non-muslim. Kontras dengan Reda, Le Pere adalah sosok yang berupaya memegang teguh nilai-nilai Islam. Tak pernah ia khilaf untuk salat dimanapun ia berada.
Le Pere seolah menampilkan dirinya sebagai sosok “kolot” yang selama ini dikenal. Ia teguh beragama dan tak peduli jika keteguhannya tersebut tidak rasional bagi sang anak. Fenomena ini mulai menjangkiti masyarakat secara global. Baik sadar maupun tidak, sosok-sosok beragama dianggap sebagai pribadi yang ribet dan tidak logis.
Asumsi saya ini berasal dari sebuah page di facebook bernama Rationalist. Rationalist adalah page yang secara rutin memposting ilustrasi-ilustrasi berteks tendesius. Beberapa ilustrasi yang Rationalist posting memang bermanfaat untuk menstimulasi sifat kritis dalam diri. Namun, tak jarang, terdapat ilustrasi yang menyiratkan si pemilik page merupakan orang yang anti agama.
Jeffrey Lang dalam bukunya, Even Angel Asks, memaparkan kisah dari Muhammad (40 tahun), seorang imam di San Francisco. Muhammad mengatakan ia telah “kehilangan” anaknya. Muhammmad adalah seorang muslim Aljazair yang betul-betul taat. Tetapi anaknya bukan lagi orang Aljazair. Ia benar-benar orang Amerika. Anak Muhammad pun tidak mengindahkan ajaran Islam lagi. Kisah ini mirip dengan Reda yang berkomunikasi dengan ayahnya menggunakan bahasa Prancis—sedang ayahnya konsisten menggunakan bahasa Arab Maroko. Reda yang ogah beragama, dan Le Pere yang religius.
Lang dalam bukunya bertanya, apakah anak-anak muslim Amerika mengalami banyak kesulitan untuk secara logis menerima perspektif dan tradisi masjid seperti yang orangtua mereka lakukan? Ini menjadi pertanyaan yang sama bagi saya. Apakah orang tua membesarkan mereka dengan cara yang salah?
“You are stubborn, but I’m the one who decides here!”
“This is the right way”
“How do you know? You can’t even read!”
Dua penggal dialog di atas mengisyaratkan otoritas Le Pere, sebagai ayah, yang merasa lebih “berkuasa” dibanding anaknya. Sang ayah, melihat kondisi anaknya yang terkantuk-kantuk menyetir mobil, dengan paksa menepikan mobil mereka ke pinggir jalan. Sontak, Reda marah dan sempat memaki ayahnya. Namun dengan mantap, Le Pere malah berkata “You are stubborn, but I’m the one who decides here.”
Otoritas ayah yang terlampau meraja terulang kembali ketika mereka berdua sedang ada di persimpangan jalan. Reda bersusah payah membaca peta untuk mengetahui jalan mana yang harusnya mereka tuju. Ayahnya dengan santai, tanpa memperhatikan peta—berkata “This is the right way…” Refleks, Reda, membalas “How do you know? You can’t even read!”
Terlepas dari benar tidaknya jalan yang akhirnya mereka tempuh—saya menyorot gaya komunikasi yang Le Pere lakukan pada Reda. Sebagai ayah, ia merasa dirinyalah “sumber kebenaran”—meskipun pada adegan akhir sifat itu perlahan terkikis. Orangtua acapkali merasa dirinya lebih benar dan lebih tahu dibanding anaknya. Bahkan, “penyakit” itu kadang kambuh di saat anaknya ternyata lebih memiliki kemampuan expert dibanding orangtua.
Dalam sebuah notes facebook mengenai parenting, saya belajar satu hal. Sang penulis, Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari mengatakan “Berikan kepercayaan kepadanya untuk bersama-sama mencari solusi atas permasalahan yang ia hadapi.” Dengan ini, anak-anak dilatih untuk menjadi ‘problem solver’ minimum untuk dirinya sendiri. Atau setidaknya jika kita pun menawarkan bantuan, ia sendiri yang memutuskan di bagian manakah orangtuanya dapat membantu dirinya. Selain itu, dengan memberikan kepercayaan, anak akan merasa dihargai.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Terimalah kebenaran, walau datangnya dari anak kecil.” Segala masukkan dari orang-orang yang selintas tingkatannya berada di bawah kita—tentu tidak boleh kita tepis secara dini.
“The ocean waters evaporate as they rise to the clouds. And as they evaporate they become fresh. That’s why it’s better to go on your pilgrimage on foot than on horseback, better on horseback than by car, better by car than by boat, better by boat than by plane.”
Jika tadi saya membahas miskomunikasi anak-orangtua dari sudut pandang kesalahan orangtua, kini saya menelaahnya dari sudut pandang anak. Sekadar sharing, sebagai seorang anak—saya seringkali merasa lebih logis dibandingkan orang tua saya. Saya merasa saya lebih menimba banyak pengalaman serta lebih dekat hidup di dunia yang lebih kekinian dibanding orangtua. Ketika orang tua saya berpendapat, saya cenderung menimbangnya dengan otak—bukan dengan hati.
Begitu pun Reda. Pada awalnya, ia tidak habis pikir tentang kelakuan ayahnya yang bisa-bisanya salat di pinggir jalan. Atau, ketika ayahnya memutuskan untuk mempersilakan seorang wanita tua menumpang mobil mereka.
Ketika rehat di tepi jalan yang bersalju, Reda menanyakan keheranannya mengapa sang ayah lebih memilih menggunakan mobil dibanding terbang ke Mekkah memakai pesawat. “It’s a lot simpler,” pikir Reda—dengan rasio yang ia miliki.
Namun ayahnya memiliki rasio tersendiri. Le Pere berkata saat air laut naik ke langit, rasa asinnya hilang dan murni kembali. Air laut menguap naik ke awan. Saat menguap, ia menjadi tawar. Itulah sebabnya lebih baik naik haji berjalan kaki daripada naik kuda. Lebih baik naik kuda daripada naik mobil. Lebih baik naik mobil daripada naik kapal laut. Lebih baik naik kapal laut daripada naik pesawat.
“Ketika Ayah kecil, almarhum kakekmu berangkat naik keledai. Ayah tak pernah melupakan hari itu. Kakekmu lelaki pemberani. Tiap hari Ayah naik ke atas bukit, disana Ayah bisa lihat cakrawala. Ayah ingin jadi orang pertama yang melihatnya kembali….”
Untuk merasakan lemak manis kalimat ini, tentu bukan logika semata yang kita gunakan. Melainkan hati. Reda—alih-alih defensif menanggapi pernyataan sang ayahnya yang spiritualis—malah tersenyum menyimak perkataan ayahnya. Dinginnya cuaca yang melingkupi dirinya tak menghambat lumernya hati Reda yang sempat beku.
Terlepas dari diutamakan atau tidaknya pergi berhaji menggunakan mobil dibanding pesawat, saya menangkap bahwa Reda akhirnya menyadari satu kebaikan dari sikap ayahnya. Adalah, ketulusan sang ayah dalam berislam. Masalah cara— terlepas logis dan tidaknya—atau shahih dan tidaknya– merupakan wilayah urusan yang lain lagi.
“F**k. Don’t they practice forgiveness in your religion?”
Le Pere tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Suara Reda yang berisik mengusiknya. Ternyata anaknya kedapatan sedang bermesraan dengan seorang gadis bar malam. Marah bukan kepalang, akhirnya ia membanting pintu kamar hotelnya. Keesokan hari, ia nekat jalan kaki ke Mekkah—sementara Reda mengejarnya menggunakan mobil sembari meminta maaf. Le Pere tidak mengindahkan permintaan maaf Reda. Akhirnya Reda pun kesal dan mengumpat, “F**k. Don’t they practice forgiveness in your religion?”
Sang ayah, sadar akan kesalahan sikapnya—akhirnya kembali melanjutkan perjalanan dengan anaknya.
Menanggapi pernyataan Reda, memori dalam otak saya menghadirkan beberapa orang yang cenderung ogah beragama karena perlakuan buruk orang “yang-ngakunya-beragama-baik”. Tak usah jauh-jauh membahas masalah terorisme. Contohlah saja masalah speaker masjid. Kita tentu masih ingat menyoal Boediono yang mempersoalkan azan masjid dekat rumahnya yang menurutnya terlalu memekakkan telinga. Mungkin tempat ditaruhnya speaker masjid yang salah menyebabkan suara azan tidak enak terdengar. Ini jelas bisa meruntuhkan citra Islam yang mengajarkan keindahan.
Oleh karena itu, kendati sudah berkomitmen untuk menempuh jalan kebenaran—yang namanya memperbaiki diri tentu harus terus berjalan. Bahkan, jika proses memperbaiki diri tersebut ditempuh melalui kritikan dari orang yang notabene-nya tidak beragama dengan baik.
“I learned a lot on this trip.”
“So did I.”
Reda tersenyum melihat ayahnya hendak salat. Menjelang akhir perjalanan, meski belum mengimani betul, ia sudah mulai menyadari keindahan akan keimanan ayahnya. Akhirnya, dua sosok berbeda dunia ini saling menautkan pemahamannya masing-masing.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, tidak ada pihak yang lebih diberi “pelajaran kehidupan” dibanding yang lainnya. Baik Reda maupun Le Pere sama-sama mendapatkan porsi pelajaran yang sama—dengan cara yang berbeda. Mutual understanding yang baru terbangun di akhir perjalanan mereka dapatkan dengan kelapangdadaan menerima perspektif baru.
Seolah menjawab pertanyaan Jeffrey Lang– untuk mewariskan nilai yang luhur pada kaum muda— para “orangtua” (pengajar/pendakwah) butuh evaluasi diri pula. Butuh kelapangdadaan yang membuat mereka menyadari bahwa selama ini mungkin cara mereka salah. Sehingga, antara “orangtua” dan “anak” tidak perlu terpisah lagi oleh keterasingan. Wallahu’alam Bish Shawab.