Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all 2618 articles
Browse latest View live

Membedakan Musik yang Baik dan Buruk

$
0
0

Foto dari: http://piccsy.com

Tanpa kita sadari saat lagu mulai diputar, irama musik membawa kita pada suatu kenangan. Jemari tangan perlahan mengikuti irama sang lagu. Pinggul kita bergoyang menikmati kesyahduan. Bibir ini menggumamkan tiap baris syairnya.

Ya, itulah musik. Musik mampu menghipnotis pendengarnya. Musik mampu memengaruhi pikiran kita untuk melupakan peristiwa buruk. Bahkan, musik malah dapat mengingatkan pada suatu kenangan yang telah lalu. Musik Jazz, pop, rock, bahkan punk dan mewarnai hidup kita sehari-hari. Tapi tahukah anda apa alasan musik sangat berpengaruh dalam hidup?

Konon, di Hungaria, ada sebuah musik yang syairnya setelah di dengarkan membuat orang-orang cenderung melakukan bunuh diri. Ini menunjukan bahwa banyak sekali unsur dari musik yg berdampak pada psikologis. Misalnya saja, nada, ritme, dan tempo bisa membuat kita tanpa sadar  goyang-goyang kepala.

“Kalau kita mendengar lagu dengan tempo cerpat maka detak jantung kita terpengaruhi. Jantung kita jadi cepat berdetak. Atau mendengar musik klasik dapat  menstimulasi keluarnya gelombang beta,” kata Adriano Rusfi, Konsultan SDM dan pendidikan saat ditemui Salman Media Sabtu (1/11).

Menurut pria yang akrab disapa Adri, gelombang beta dapat menimbulkan ketenangan, “Ada jenis suara tertentu yang menimbulkan ketenangan. Suara bariton banyak disukai. Suara  Bariton enak didengar,  tenang, nyaman, dan menimbulkan kesiagaan. Berbeda dengan suara cempreng,” kata alumnus Psikologi UI itu.

Namun, efek musik tentu masih kalah dengan bila kita melantunkan dzikir. Dzikir yang dialunkan dengan cara yg benar dan terus menerus bisa berefek jauh lebih dahsyat. “Kata kuncinya,  yang menggerakkan, mengatur, ritme dalam tubuh itu darah,” ungkap Adri.

“Darah dialirkan oleh jantung, jantung punya detak. Musik-musik yang punya detak, kira-kira ritme nya bisa menstimulasi jantung bekerja dengan optimal. Itu musik yang bagus untuk di dengarkan,” ujar Adri.

Musik yang ritme dan temponya terlau keras tidak dianjurkan untuk didengarkan oleh Adri. Namun, musik terlalu lemah gemulai juga membuat kita mengantuk.

 
Dunia Islam Menggenggam Musik

“Seni dalam pengertian akademik tentu memiliki banyak bentuk, diantara yang paling populer dalam khasanah Islam adalah syair termasuk didalamnya puisi dan musik, arsitektur dan kaligrafi,” ujar Iip Fariha, seorang psikolog dari Rumah Sakit Pindad.

Perkembangan seni Islam terutama musik sejalam dengan tumbuhnya peradaban Islam. Kekayaan seni islam selalu melahirkan seni lokal yang khas, tak terkecuali dalam musik. Biasanya pengaruh utama berasal dari budaya para pendakwahnya.

“Syair adalah bentuk seni yang lebih merakyat dan banyak di kenal dan di terima masyarakat awam sampai para pujangga, akademisi, teolog maupun filosof. Tak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian kelompok muslim -berdasarkan ijtihad ulama-  yang mengharamkan syair,” ungkap teh Iip yang beberapa kali menjadi pemakalah untuk Diskusi Tafsir Ilmiah di Masjid Salman.

Tak perlu kita pungkiri, syair yang banyak di dendangkan oleh musisi di kalangan kita terlalu banyak yang menjurus pada kesia-siaan. Bahkan, para musisi terlalu sering memprovokasi budaya mengumbar syahwat atau pergaulan bebas.

“Untuk hal yang satu ini saya sepakat untuk “mengharamkan”, setidaknya memberlakukan aturan keras kepada generasi muslim agar tidak terpengaruh oleh musik seperti itu. Harus ada pembatasan diri,” pungkas teh Iip. [Tr]


Lika-liku Perjalanan Sang Dokter Menuju Gaza

$
0
0

Foto: bookoopedia.com

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)

Ada rasa berdecak kagum akan seorang dokter berani datang langsung ke suatu negara konflik. Negara tersebut adalah tempat dimana penuh dengan dentuman bom sana-sini yang tak disangka-sangka. Dentuman, desingan bom rasanya sudah bersahabat dengan satu negara ini, Gaza, Palestina.

Sebuah perjalanan panjang sang dokter yang merelakan seluruh jiwanya untuk satu, berjihad dalam agama Allah. Dr. Joserizal Jurnalis menuangkan kisahnya melalui sebuah buku Jalan Jihad Sang Dokter. Perjalanannya bermula dari menonton berita terkini yang terus mengabarkan kondisi di Gaza lewat saluran televisi Al-Jazeera.

Jika konflik dan bencana begitu identik dengan MER-C, nama dr. Joserizal Jurnalis sangat menyatu dengan organisasi ini. Sebagai sesama muslim, Jose terenyuh hatinya ketika melihat saudaraya sendiri tertindas. Tanpa pikir panjang Jose mengambil sebuah keputusan. Hatinya tak akan bisa tenang selama dia belum turun tangan. Misi Palestina yang pernah dimiliki oleh MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) harus segera berjalan.

Bukan hal mudah untuk memasuki jalur Gaza. Ada banyak hal yang menghalangi rintangan Jose bersama Tim MER-C nya. Salahsatunya saat kelima anggota MER-C tiba di perbatasan Raffah. Satu-satunya jalur yang ditempuh untuk sampai di jalur Gaza adalah melalui Mesir.

Penuh kesabaran adalah kunci untuk sampai di jalur Gaza, segala perizinan, biaya pun tidak sedikit yang mereka keluarkan. Begitupun dengan fasilitas yang disediakan untuk menolong masyarakat Palestina. Beratus-ratus juta dikeluarkan untuk membeli obat, mobil ambulan, dan perjalanan menuju jalur Gaza. Uang yang tak sedikit itu berasal dari kedermaan rakyat Indonesia.

Sempat menyeruak ketidakyakinan Tim MER-C untuk memasuki Gaza. Sepanjang perjalanan, Jose senantiasa menyelipkan dzikir dan mengajak bersama-sama kepada timnya untuk berdzikir pula. Hanya pertolongan Allah yang diandalkan oleh Joserizal.

“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.”

Pada akhirnya Jose dapat menginjakkan kaki juga di Jalur Gaza. Benar-benar mengerikan, karena dentuman Bom bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Gaza bagaikan penjara terbesar di dunia.

Bayangkanlah ketika Jose mulai bekarja di RS. Asy-Syifa, Gaza. “Meja” operasinya adalah teras Masjid. Tidak ada kasur, bahkan alas koran sekalipun. Beberapa kali mereka bekerja di bawah sorotan lampu senter karena aliran listrik sering mati. Pernah, Jose menemukan kasus korban yang tangannya putus terkena bom. Karena tidak ada alat, akhirnya dia menggunakan gergaji kayu untuk operasi tulang.

Melalui buku ini, kita seakan merasakan langsung bagaimana kondisi Gaza pada saat agresi militer Israel yang berlangsung tiga tahun silam. Walaupun sampai saat ini pun Gaza masih belum bebas dari serangan Israel. Namun penduduk Palestina begitu tabah menjalaninya. Bahkan darah pejuang palestina tidak berbau amis tatkala Jose melakukan operasi di Gaza. Selain itu tentang keikhlasan, dan jihad karena Allah.

Walaupun alur cerita dalam buku ini melompat-lompat, namun setiap ceritanya begitu berhubungan. Hal ini tidak menimbulkan kebosanan ketika membaca buku ini. Deskripsi peristiwa dan lokasi sangat jelas dan nyata. Seakan-akan kita bisa melihat langsung kondisi di Gaza, Palestina.

Lewat buku ini membuat pembaca bisa belajar ilmu ikhlas tatkala membantu orang lain. Selain itu, membuat pembaca semakin yakin dan percaya bahwa pertolongan Allah sangatlah dekat. Dia akan selalu ada untuk hamba-Nya yang membutuhkan. Pengalaman menakjubkan dr. Joserizal Jurnalis dan real.

Buku ini cocok dibaca semua orang khususnya bagi orang-orang yang bergerak di bidang kerelawanan. Royalty buku ini pun sepenuhnya adalah untuk dana kemanusiaan di Gaza. Sampai saat ini Indonesia memberikan kontribusi nyata melalui pembangunan sebuah rumah sakit di Gaza bernama RS. Insonesia. [Tr]

 

Blue Like Jazz, Paras Langka Religiusitas dalam Perfilman Hollywood

$
0
0

Foto: thegospelcoalition.org

 

Sutradara: Steve Taylor
Pemeran: Marshall Allman, Claire Holt, dan Tania Raymonde
Tahun rilis: 2012

Donald Miller, seorang pemuda religius, terkejut bukan main. Ia memiliki ibu yang selalu membimbingnya untuk menjadi penganut Kristen yang taat. Ia pun berhubungan akrab dengan Kenny, pendeta gerejanya dalam berbagai kegiatan sosial.  Namun, ternyata ibunya berhubungan seks di luar nikah dengan Kenny! Don yang pada saat  itu berencana berkuliah di lembaga kristen (merujuk pada saran ibunya), ngamuk berat. Ia memutuskan untuk banting setir berkuliah di kampus yang disinyalir sangat liberal, Reed College.

Pada masa-masa pertama perkuliahan, Don bertemu dengan Lauryn. Lauryn adalah seorang biseksual yang bertransformasi menjadi lesbian utuh. Ia menjadi tour guide kultur kehidupan di Reed College untuk Don. Lantas, Don dan Lauryn menjadi teman akrab. Mengikuti kelas diskusi agama juga mengantarkannya untuk kenal dengan “The Pope”. The Pope adalah seseorang yang memakai topi dan jubah a la Paus Vatikan, namun nyatanya ia adalah seorang ateis tulen. Terdapat pula Penny. Penny adalah aktivis lingkungan dan sosial yang sangat gencar melancarkan aksi nyata. Ia dikenal sebagai seseorang yang sulit diajak kencan, apalagi berhubungan intim. Penny—seperti Don—adalah seseorang yang religius.

Tak lama selang waktu setelah perkuliahan, Don sudah mulai menanggalkan identitas kekristenenannya. Ia mulai mabuk-mabukkan tak jelas. Kebaktian di gereja sudah tak pernah ia kunjungi. Bahkan, ia menaruh balon raksasa berbentuk kondom pada atap gereja. Rasa percayanya pada Tuhan pun mengalami goncangan keras. Ia sampai menyempatkan waktu untuk mengikuti debat antara pengarang buku yang ateis dan pengarang buku yang percaya Tuhan.

Timbul pertayaan yang mengusik hati Don. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi dengannya? Apakah ia menjadi “liar” karena takut dipandang tidak keren oleh teman-temannya? Sebenarnya, apakah yang membuat ia berpaling dari identitas kristen yang selama ini ia anut? Ajarannya yang salah atau kesalahan penganutnya?

 

Poin-poin bahasan

 

Tidak lagi taat beragama karena perilaku penganut agama

Bisa jadi, sang pendeta yang berselingkuh dengan ibunya menjadi salah satu faktor utama mengapa Don menjadi tidak taat beragama. Dapat dimaklumi, sebab sang ibu dan pendetanya yang selama ini berperan dalam membentuk religiusitas dari Don. Hal ini pasti membuat Don down dan mempertanyakan agama yang ia anut.

Fenomena ini, saya lihat, terjadi di sekitar lingkungan saya. Banyak orang-orang yang saya kenal menjadi kurang respek terhadap agama karena melihat perilaku penganut agama yang menurut mereka menyebalkan. Contohnya, teman saya mengatakan agama adalah biang keladi karena melihat aksi pengebom yang mengumandangkan semangat jihad. Atau, teman saya malas belajar Islam karena melihat perilaku dakwah sekelompok aktivis yang cenderung memeaksa.

Terdapat lagi fenomena lepas jilbab yang dilakukan Tya Subiakto, seorang komposer handal Indonesia. Ia melepas jilbab karena kecewa melihat ayahnya yang mengajarkannya tentang Islam, malah berselingkuh. Kisah ini sekilas mirip kisah Don.

Jika dilihat dari sudut pandang kisah Don, mestinya, sebagai manusia kita tidak diperkenankan untuk melanggar aturan Allah hanya karena perilaku penganut. Bukankah manusia adalah tempatnya khilaf dan labil? Sedangkan aturanNya yang dianugrahkan pada hamba-hambaNya tentu selalu sesuai dengan fitrah manusia. “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu,” (QS. Al-Ikhlas/2). Beragama pun tentu tidak boleh karena sosok yang menyampaikan, tetapi siapa yang menyampaikan. Siapa tahu saja, sosok tersebut kemudian malah berperilaku 180 derajat dengan ajaran agama.

 

Pilihan beragama secara taat di lingkungan yang sinis terhadap agama

Don yang lagi ngambek akhirnya memutuskan untuk berkuliah di kampus yang dilabeli orang-orang sebagai “ultra-liberal college”, Reed College. Orang-orang yang taat beragama sulit ditemukan Don di kampus tersebut. Teman dekat pertamanya saja adalah Lauryn yang lesbian. Lauryn saja bilang “Oh, jangan bilang kamu orang menyebalkan itu.” ketika mengetahui penampilan Don yang culun dan Don yang pada saat itu masih mengakui jati diri kekristenannya. Kemudian, Don berteman asyik dengan The Pope yang ateis. Bersama The Pope, ia beberapa kali berbuat onar seperti membakar buku dan menaruh balon berbentuk kondom di atap gereja.

Salah satu pesta akbar ia kunjungi. Kehidupan liar mahasiswa benar-benar ditunjukkan dalam pesta tersebut. Don yang tak mau tak eksis dan ditinggal orang yang menurutnya “keren”, The Pope—mengikuti pesta tesebut. Namun, di akhir, ia menyadari bahwa jati diri kristennya tidaklah dipengaruhi oleh orang  lain, tetapi dirinya sendiri.

Terdapat sebuah hadis yang saya lupa redaksi tepatnya. Jika kamu bergaul dengan tukang minyak wangi, kamu akan terbawa wanginya, tetapi jika kamu bergaul dengan tukang besi, maka kamu akan terkena panasnya. Susah sekali memang untuk tetap “wangi” di lingkungan yang “panas”. Butuh usaha ekstra. Pada awalnya, keimanan Don pun tumbang.

Menurut saya, jika ingin menjadi pribadi yang benar-benar original, kita perlu rajin-rajin berkontemplasi dan mem-pause hidup. Leo Tolstoy bilang, “When you find yourself in side of majority, it’s time for you to pause your life and reflect yourself.” Akan sayang sekali jika hidup kita malah terbawa arus yang  tidak jelas juntrungan-nya.

 

Jarangnya film bertendensi mendukung religiusitas

Sepengamatan observasi saya yang abal-abal, jarang terdapat film Hollywood yang mendukung religiusitas—khususnya dalam dialektika antara agama dan anti-agama– akhir-akhir ini. Film-film drama dan komedi satir pun lebih mengarah pada pemikiran yang cenderung tidak memedulikan prinsip-prinsip agama. Contohnya saja, Glee. Film remaja  serial yang tenar ini membuat lesbian dan homoseksual seolah-olah menjadi sesuatu yang lumrah. Atau American Pie.

Terdapat satu film lagi yang menurut saya merupakan antitesis dari Blue Like Jazz, yaitu Saved. Saved bercerita tentang seorang penganut kristen taat yang berhubungan seks dengan pacarnya yang gay. Di akhir cerita, terdapat kesimpulan bahwa gay itu diperbolehkan. Hilary Faye, tokoh religius di film Saved digambarkan dengan sangat buruk dan norak. Berbeda dengan Penny dalam film ini yang digambarkan sangat aktif, mulia, tidak cupu (culun punya), dan teguh pendirian.

Pantas saja, seorang Matt  Fagerholm, seorang reviewer film dari HollywoodChicago.com mengatakan  This isn’t a great film, by any means, but it certainly is a step in the right direction for Christian filmmakers aiming to reach a wider audience.”

Sebagai penganut Islam yang ditempa kewajiban berdakwah, film-film religius dalam bungkus yang lebih “umum”  tentu perlu lebih banyak dirintis. Film-film serupa, baik yang menawarkan dialektika antara agama dan anti-agama (Blue Like Jazz) ataupun yang cukup memaparkan nilai-nilai Islam seperti Sang Pencerah dan Negeri 5 Menara perlu direncanakan secara matang agar dapat menjangkau audiens yang lebih luas.***

Wartawan Dapat Berperan Mendinginkan Suasana

$
0
0

Foto: sofiaecho.com

Langit mendung di atas Sumedang. Jam menunjukan pukul 10.00. Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor pagi itu ramai oleh tukang ojek hilir mudik mengantar penumpang, atau hanya iseng duduk-duduk di taman kampus.

Sekelompk orang berkumpul di depan ATM center. Dari sikapnya mereka adalah mahasiswa. Ya, tepatnya mereka adalah panitia Pelatihan Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran, Sabtu-Minggu (8-9/12).

Dengan menggunakan dua angkot, mereka meluncur ke Wisma LAN Jatinangor. Dalam tempo dua hari satu malam itu, peserta akan dijejali materi mengenai kejurnalistikan. Wacana untuk mengembangkan jurnalisme yang damai, penuh cinta dan harmonis mengemuka dalam pelatihan jurnalistik ini.

Abie Besman menjadi pemateri utama pada materi Jurnalisme Damai ini. Ketika terjadi sebuah konflik, adalah tugas seorang jurnalis untuk menyampaikannya kepada publik. Tentu, hal ini dilakukan dengan catatan bahwa wartawan tidak cenderung membela salah satu pihak. Konsep jurnalisme damai sangat diperlukan dalam menanggapi isu keberagaman yang melibatkan ketegangan.

Namun, sayangnya yang terjadi belakangan adalah media turut berperan dalam membangun kekerasan yang berbasiskan agama. Orang yang berada di media massa sering lupa bahwa apa yang dia tampilkan tersebut dapat memengaruhi hidup orang lain.

Pemberitaan media massa saat ini, terutama soal isu keberagamaan kaum minoritas, kerap tergelincir pemberitaan yang cenderung berpotensi mempertajam konflik Pemakaian kata “sesat” dan “penodaan” merupakan tindakan yang berasal dari istilah inisuatif orang-orang yang bertikai.

“Jurnalis menciptakan konflik juga dengan dirinya sendiri,” kata Abie Besman, jurnalis Kompas TV yang tahun ini genap 10 tahun menekuni profesinya itu. Jurnalisme yang ideal tidak hanya memberi informasi. Juga mengajak publik bergerak bersama menyikapi suatu peristiwa.

Abie menegaskan, Apa yang pemirsa baca di koran atau lihat di televisi kadang tidak sesuai dengan kebenaran di lapanagan. Publik dicekoki berbagai macam berita yang berbau kekerasan, perang, dan konflik. Kegiatan jurnalistik akan terancam bila hal ini terus terjadi.

“Jurnalisme damai tidak mengesampingkan fakta, tapi bagaimana mengemas fakta menjadi sesuatu yang menarik,” ujar Abie yang telah menekuni dunia jurnalistik sejak duduk di bangku semester 3 itu.

Netralitas tidak cukup bagi seorang jurnalis. Apalagi ketika meliput isu keagamaan, jurnalis harus benar-benar waspada dalam pemakaian kata-kata. Terutama jika isu tersebut melibatkan konflik.

“Konsep jurnalisme damai sangat diperlukan. Seorang jurnalis tidak hanya bertugas melaporkan ketegangan dalam suatu peristiwa, tapi juga berusaha mendamaikan dan mendinginkan suasana,” kata  Abie ketika menyampaikan materi jurnalisme damai.

Terdapat pula pemaparan dari Islaminur Pempasa, jurnalis dari Pikiran Rakyat. Berbagai macam kepentingan dan persaingan bisnis telah mendistorsi berita. Tak sedikit jurnalis yang nimbrung mendistorsi berita untuk kepentingan bisnis. Peran jurnalis sebagai pembawa informasi yang benar bagi publik sangat sentral.

“Informasi harus dipilihkan oleh jurnalis. Publik tidak tahu mana yang baik dan buruk. Jurnalis menyediakan informasi agar warga bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri, ” kata Islaminur Pempasa.

Publik, menurut Ipe (panggilan akrab Islaminur), jangan melihat semua informasi sebagai produk jurnalisme. Publik harus melengkapi diri dengan informasi alternatif di tengah arus kepentingan informasi. Publik bisa cerdas apabila diberi banyak informasi.[Tr]

 

Memicu Adrenalin Adik TK PAS lewat Outbond

$
0
0

Foto: Nina D K Hidayat

Nggak mau! Takut!” ungkap Azka Almeera Hadi, adik TK Pembinaan Anak-anak Salman (PAS). Azka lebih memilih bersama Gita Rarasati, ibunya. Azka tidak mau menaiki semua fasilitas outbond di Kampung Bamboo saat mentoring keluar TK PAS. Kendati begitu tidak semua adik seperti Azka, masih banyak adik yang mengikuti semua kegiatan mentoring keluar hari itu.

Pada outbond ini ada berbagai wahana yang harus dilewati oleh setiap adik pada Ahad, (9/12). Wahana tersebut di antaranya seperti Flying Fox, Rafting, High Rope, dan rakit. Awalnya banyak adik-adik yang takut dan malu untuk mengikuti semua wahana ini, namun setelah mencoba akhirnya adk-adik mau mengikutinya bahkan ada yang menaiki dua kali.

Semua wahana yang ada memang tersusun khusus untuk anak-anak. Flying Fox misalnya ukurannya kecil dan sangat cocok untuk anak-anak. Sama halnya Rafting, adik hanya menuruni sebuah pohon besar dengan menggunakan tali. Sedangkan High Rope adik harus melewati seutas tali yang besar, banyak adik yang takut, ada pula yang grogi saat melalui tali itu. Rasa grogi itu hilang sudah saat adik telah melewati tali yang tinggi itu. Adrenalin adik terpicu, sehingga menjadikan adik lebih berani. Wahana terakhir adalah rakit, adik harus membawa dua buah bendera saat menaiki rakit. Adik berlomba-lomba untuk mendapatkan poin yang ada dalam bendera.

Keberanian adik tertantang lewat wahana-wahana tersebut. Usai menaiki semua wahana maka tiba di acara puncak yaitu menangkap ikan. Sebelumnya adik harus melalui rintangan yang panjang untuk sampai di sebuah kolam dengan ukuran kurang lebih 10×10 meter. Ada rintangan tarzan, sarang laba-laba, dan tiarap di lumpur.

“Kakak kotor,” ungkap Haya setelah tiarap di lumpur. Tangan dan setengah badannya dipenuhi lumpur. Kakak kelompoknya mengajak Haya untuk segera membsuh dirinya di pancoran dan mengajaknya ke kolam untuk menangkap ikan.

Adik dan kakak memenuhi kolam ikan berwarna coklat. Mereka tidak peduli dengan keadaan air kotor tersebut. Kebahagiaan jelas terpampang di wajak adik, Kakak, dan Orang tua adik kala ada yang mendapatkan seekor ikan. Setelah semua ikan didapatkan, maka ikan dibagikan kepada kelompok yang mendapatkan ikan. Pembagian hadiah bagi kelompok terbaik dan kelompok yang mendapatkan banyak ikan pada akhir acara. Senyuman terpampang jelas di wajah adik, kakak dan orangtua adik.

Banyak orang tua yang merasa puas atas mentoring keluar kali ini. “Kayaknya ini mentoring keluar yang paling ajib selama 3 semester Semesta ikut PAS,” ungkap Jungjun Rahayat, orangtua Semesta.

Banyak yang merasakan Outbond TK Ceria ini sangat bermanfaat. Selain melatih keberanian adik, juga melatih kesabaran untuk kakak, serta merekatkan kekeluargaan antar kelompok dalam mentoring.[Tr]

Menangi Lomba Young Competition for Disaster Education, Tim KORSA Berangkat ke Jepang

$
0
0

Penampilan tim Korsa dalam ajang YCDE. (Foto: Sari AR)

Rabu lalu (5/12) merupakan saat-saat yang membanggakan bagi Korps Relawan Salman (KORSA) ITB. Pasalnya, mereka menjadi satu dari dua puluh finalis dalam lomba bertajuk ‘Young Competition for Disaster Education’ (Kompetisi Pemuda untuk Pendidikan Kebencanaan). Bertempat di Summitmas Tower 1, Jakarta, seluruh tim berupaya menyuguhkan penampilan terbaiknya.

Kompetisi ini diadakan oleh yayasan Japan Foundation untuk mempererat kerjasama Jepang dan Indonesia dalam hal penanganan bencana. Pasalnya, keduanya merupakan negara yang sama-sama terancam bencana alam. Kedua negara tersebut berada di tepi lempeng pasifik dan dalam lingkaran gunung api dunia (ring of fire).

Tim KORSA diwakili oleh Fery Adi Prasetyo, Angga Kusnan Qodafi, Rifa Khaerunnisa, dan Rizkia Lazuardina. Keempatnya merupakan relawan muda KORSA. Di hadapan sepuluh juri yang berasal dari Jepang dan Indonesia, mereka membawakan program Masjid Tangguh. Program tersebut merupakan program penanggulangan pra bencana KORSA berbasis masjid yang disandingkan dengan program Disaster Area Mapping Nusantara.

Pengumuman pemenang dilaksanakan pada penghujung acara. KORSA bersama lima tim lain diumumkan sebagai pemenang. Takbir pun segera berkumandang.

Hasil ini disambut positif berbagai pihak di Salman. Budiman Dabarsah dan Rahayu Kuswindarti, pembina Bidang Pelayanan dan Pemberdayaan Masyarakat YPM Salman ITB langsung mengucapkan selamat saat itu juga. Darma selaku Komandan KORSA pun demikian. Namun, ia mengingatkan,terpilihnya KORSA sebagai salah satu delegasi YCDE dari Indonesia merupakan amanah yang besar untuk KORSA. Ia juga berharap prestasi KORSA juga bermanfaat untuk orang lain.

Ini Perihal Perasaan, Tapi Ini Logis, Bung! (1)

$
0
0

Foto: http://pinterest.com/

Alkisah, terdapatlah seorang jejaka bernama Rian. Ia dikenal payah dalam membuat puisi. Kata-katanya cenderung kaku. Kandungan isinya tidak membuat perasaan terbuai. Hasratnya dalam menggali realitas secara mendalam tak terasah dengan baik.

Namun, keadaan itu berubah ketika Rian bertemu Rini. Pesona Rini betulan membuat Rian mabuk kepayang. Gejolak asmara yang dialami Rian positif mengubahnya menjadi seorang pujangga. Puisi-puisi buatannya pun mendadak sarat akan rasa.

Nun jauh di belahan nusantara lain, tersebutlah seorang perempuan bernama Astuti. Astuti sangat menggemari dunia pertanian, walaupun dirinya tidak lekat dengan dunia itu dari kecil. Ayah dan ibunya seorang bankir. Lulus SMA, ia langsung ancang-ancang memilih pertanian sebagai fakultas pilihannya.

Mujur, ia pun berhasil diterima di fakultas tersebut. Selama perkuliahan, Astuti sangat rajin menekuni setiap jengkal ilmu mengenai pertanian. Walhasil, ia lulus dengan nilai gemilang—kemudian menjadi salah satu petani kaya yang sukses mempekerjakan banyak orang.

Dua fenomena di atas adalah salah satu contoh mengenai efek dari kejatuhcintaan. Ketika seseorang mencintai sesuatu, segumpal kekuatan tiba-tiba muncul dalam dirinya. Kekuatan tersebut membuatnya dapat melakukan suatu pekerjaan melewati batas kemampuan. Unsur perasaan rupanya dapat menumbangkan unsur rasionalitas.

Namun—ternyata fenomena mengenai “unsur perasaan” tadi dapat diteropong melalui rasionalitas ilmu biologi. Sony Heru Sumarsono, salah satu dosen dari Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (SITH) ITB mengatakan, di otak orang yang jatuh cinta, kadar neurotransmitter menjadi naik sedikit. Dalam kondisi neurotransmitter yang sedikit naik, orang bisa berkreasi lebih baik.

“Ketika orang sedang  jatuh cinta, sebenarnya ia dapat dibilang “mabuk”. Segala perilakunya seringkali di  luar perhitungan, tetapi anehnya semuanya berjalan normal,” ujar Sony.

Menurut Sony, untuk terus menghasilkan karya yang bagus, seniman-seniman akan   lebih baik jika jatuh cinta berkali-kali. Mungkin ini menjelaskan mengapa artis-artis seringkali gonta-ganti pasangan. Namun sebenarnya, jatuh cinta berkali-kali dengan satu hal yang sama pun bisa. Tinggal bagaimana kita menstimulasi perasaan kita.

Namun, efek peningkatan kadar neurotransmitter yang berlebihan akan membuat seseorang cenderung menjadi gila. Peningkatan kadar yang berlebihan ini dapat diakibatkan oleh penggunaan psikotropika. Mencintai sesuatu dengan perasaan yang berlebihan pun berpotensi membuat orang menjadi gila. Lepas pakaian di jalan pun bisa.

 

Tak Melulu Logika

Manusia bergerak dari rasa suka atau tidak suka, bukan melulu logika. Kalimat tersebut tercantum dalam novel jepang Botchan, karya S?seki Natsume. Bahkan, seorang pemikir Jerman bernama Arthur Schoppenhauer pun mengamini jika kehendak adalah sumber dari perilaku manusia. Misalkan, kita tidak menginginkan sebuah benda karena kita mempunyai alasan yang bisa dibuat rasional karena kita menginginkan benda itu.

Donald B. Calne dalam bukunya, Batas Nalar, mengungkapkan bahwa sebenarnya nalar hanya menyambung pada bagian “bagaimana” dalam putusan-putusan tersebut. Bagian yang lebih penting, “mengapa”, didorong oleh naluri mempertahankan diri, kebutuhan emosional, dan sikap budaya. Ini semua terungkap dalam istilah yang manusia ciptakan untuk menutupi kita yang irasional: rasionalisasi.

Anda boleh setuju dan tidak setuju dengan pandangan di atas. Tiap orang yang dikatakan “waras” kemungkinan besar bergerak berdasarkan logika yang dianutnya. Atau, dalam kompetisi debat, kita menggunakan seperangkat logika yang kita pakai untuk menjatuhkan lawan.

Namun, seorang teman berkata, kamu bisa saja menaklukkan “otak”  seseorang, tetapi kamu belum tentu menaklukkan “hati” seseorang. Ia menyayangkan perlakuan beberapa temannya yang mencoba berdakwah dengan mematahkan logika lawan bicara mereka, tanpa mencoba menggerakkan atau memahami penyebab “penyakit” hati sang lawan.

Padahal, bukankah hati adalah “panglima” yang memerintah anggota tubuh lainnya untuk berbuat atau tak berbuat sesuatu? Terdapat hadist riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi, “Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dana apabila ia buruk maka buruklah seluruh tubuhnya. Ingatlah ia adalah hati.”

Atau ada contoh lain. Misal, saya melihat sahabat saya ingin bunuh diri karena ditinggal ayahnya. Jika kita langsung menjejalinya dengan dalil-dalil agama yang melarangnya perbuatan bunuh diri, tentu hal tersebut merupakan hal yang konyol. Mulailah dengan menghiburnya terlebih dahulu dan berempati terhadap perasaan sang sahabat. Setelah itu, saya sekiranya dapat menentukan langkah yang tepat untuk “membersihkan” hatinya.

Kemudian, saya dapat melejitkan kadar neurotransmitter-nya dengan membuat si sahabat kembali cinta pada fitrahnya— hidup.

 

(Bersambung)


Tulisan selanjutnya akan memaparkan mengenai hal sebaliknya– bahaya ketika manusia terlalu memperalat perasaan manusia, tanpa memberi ruang pada logika untuk bernafas.  

Seminar dan Bedah Buku “Cahaya Abadi Muhammad SAW” [14 Desember 2012]

$
0
0

Seminar dan Bedah Buku Cahaya Abadi Muhammad SAW.

Bidang Dakwah YPM Salman ITB bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta akan mengadakan seminar dan bedah buku “Cahaya Abadi Muhammad SAW” karya Fethullah Gulen.

Narasumber

Unsal, Ph.D. (Direktur Fethullah Gulen Chair Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah)

Ustadz Yayat Supriatna dari Bidang Dakwah.

Waktu

Jumat, 14 Desember 2012, Pukul 13:00 – 15:00 WIB

Tempat

Ruang Utama Masjid Salman ITB

Fasilitas

- Sertifikat*

- Snack

- Doorprize

Pendaftaran

Ketik <Daftar>spasi<Nama Lengkap>spasi<Umum/Mahasiswa> Kirim ke 0857 5904 2121 (* Pendaftaran untuk mengambil sertifikat)

Narahubung

0857 5904 2121

 


Seminar dan Bedah Novel “Sang Pemusar Gelombang” [14 Desember 2012]

$
0
0

(Gambar: sangpemusargelombang.blogspot.com)

Aksara Salman ITB akan mengadakan seminar dan bedah novel “Sang Pemusar Gelombang” karya Fatih Zam yang dikemas dalam acara Aksara on Stage.

Narasumber

- M. Irfan Hidayatullah (Penulis dan Mantan Ketua Umum Forum Lingkar Pena Pusat)

- Fastih Zam (penulis Novel)

Waktu

Jumat, 14 Desember 2012, Pukul 15:20 WIB – selesai

Tempat

Ruang Utama Masjid Salman ITB

Fasilitas

Merchandise menarik dengan membawa novel “Sang Pemusar Gelombang”

Narahubung

0821 1811 6055 (Ratih)

0857 2050 3380 (Utomo)

PASundan Camp: Kemah Alamnya PAS ITB [23 Desember 2012]

$
0
0

PASundan Camp

“Liburan sekolah ngapain yah??”

“Ikut PASundan CAMP ajaa!”

“Apaan tuh?”

“Kemah Alamnya PAS ITB”

“Waah, ngapain aja disana?”

“Ada berpetualang, permainan
tradisional, survival di alam,
petualangan malam, kompetisi
dan orkesta alam!”

“Waw seru..! Ikutan yuk..!”

Kapan kak?

28-30 Desember 2012

Tempatnya dimana kak?
Bumi Perkemahan Ranca Cangkuang, Ciwidey

Siapa aja yang boleh ikut?
Adik kelas 1-6 SD

Biayanya berapa kak?
Rp. 300.000

Daftarnya ke siapa kak?
Via SMS ketik PASundan_Nama adik_kelas/umur_No HP
Kirim ke 085295743611 (Kak Atik)

Atau.. datang langsung ke sekretariat PAS ITB, Gedung kayu lt. 3, Komplek Masjid Salman ITB
Jl. Ganesha No.7, Bandung 40132, Tlp. (022) 350 3645

Buruan daftar! Peserta terbatas hanya 100 adik!
Pendaftaran sampai tanggal 23 Desember 2012

PASundan CAMP . . . ?
Bumi Sunda..
Bumi urang sadayana!

Masjid Tangguh Mengantarkan KORSA ke Jepang

$
0
0

Tim KORSA usai didapuk Tadashi Ogawa, Direktur Japan Foundation, sebagai salah satu pemenang Kizuna Trip to Japan. (Foto: Sari AR)

Oleh: Septian Firmansyah*

“Allahu Akbar!”

Pekikan takbir membahana di Aula Summitmas Tower 1 Jakarta yang berisi seratusan orang. Terjadinya sesaat setelah Dr. Tadashi Ogawa, Direktur Japan Foundation, menyebut “KORSA” sebagai salah satu tim pemenang Kizuna Trip to Japan.

Kizuna Trip to Japan sendiri adalah kompetisi Disaster Mitigation and Education (Mitigasi dan Pendidikan Kebencanaan). Penyelenggaranya adalah Japan Foundation dan LIPI. Enam tim yang memenangkan kompetisi ini berhak untuk melakukan perjalanan ke Jepang dan belajar tentang mitigasi dan pendidikan bencana di sana.

Rabu lalu (5/12) merupakan final kompetisi yang diikuti oleh 139 tim dari berbagai wilayah di Indonesia tersebut. Dari Aceh hingga Makassar. Dari jumlah tersebut, hanya 20 tim terpilih untuk melaju ke babak final. Dalam final kompetisi tersebut para finalis memaparkan program yang akan dijalankan setelah pulang dari Jepang. Korps Relawan Salman (KORSA) ITB yang diwakili oleh Angga Kusnan Qodafi, Fery Adi Prasetyo, Rifa Khaerunnisa, dan Rizkia Lazuardina mendapatkan urutan kelima untuk presentasi.

Sebagai seorang yang ‘agak perfeksionis’, sebenarnya saya sedikit kecewa dengan penampilan sahabat-sahabat saya saat presentasi. Ada beberapa hal kecil yang mengganggu saat itu. Dan jika dibandingkan dengan tim lain, KORSA kalah banyak dari sisi penampilan tersebut. Saat turun dari panggung pun, saya melihat ketidakpuasan dari wajah mereka. Seolah-olah mereka berharap mendapat kesempatan kedua untuk presentasi. But, there is only one chance.

Sepanjang hari hingga pengumuman pemenang, kami lebih memilih untuk nothing to lose. Ada rasa pesimis memang. Namun, secercah harapan belum sirna. Jadi, untuk menghilangkan kegalauan, teman-teman lebih memilih untuk menjalankan misi KORSA yang lain (dan utama), menjalin persahabatan dengan semua tim. Saya sendiri lebih memilih banyak diam saat itu, karena kondisi tubuh yang tidak begitu baik.

Saat pengumuman tiba, nama KORSA disebut pertama kali sebagai tim yang berhak melakukan perjalanan ke Jepang. Hening sejenak saat itu, karena semua masih kaget. Dan tanpa sadar kami telah bertakbir menyambut kemenangan ini. Bahkan ada yang sujud untuk memuaskan rasa syukurnya. Lalu kami sadar untuk tidak larut dalam euforia yang berlebihan ini. Karena, kami tahu bahwa ada tim lain yang berduka.

Masih di antara percaya dan tidak, kami pun berinisiatif untuk menyapa salah seorang juri. Beliau menyampaikan ucapan selamatnya. Tanpa diminta beliau memberitahukan alasan kemenangan kami. Saat menentukan pemenang, hal utama yang menjadi pertimbangan adalah program yang diusung. Dan satu alasan terkuat kenapa KORSA yang dipilih adalah keberanian KORSA membawa simbol Islam dalam program, yaitu Masjid.

Pada awal-awal diskusi di Masjid Salman ITB, faktor ini memang telah kami pertimbangkan. Di satu sisi, membawa simbol Islam dalam kancah internasional adalah sesuatu yang riskan. Bagaimanapun juga, dunia internasional masih masih memiliki fobia tak berdasar pada Islam. Sedangkan di sisi lain, kami yakin bahwa tim lain tidak akan mengusung Masjid sebagai sentra penanganan bencana sehingga program ini akan jadi program yang unik. Dan dengan nama Allah, akhirnya kami yakin untuk tetap mengusung program ini.

Pernyataan berikutnya dari sang juri yang kemudian mengingatkan kami pada tujuan paling mendasar kenapa KORSA berdiri. “Tugas terbesar kalian di sana (Jepang) bukan lagi belajar tentang mitigasi bencana, tapi memperlihatkan bahwa Islam itu indah.” Ya, sang juri mengingatkan kami, terutama saya, bahwa KORSA bagaimanapun adalah organisasi dakwah. Menyampaikan kebaikan dan menunjukkan bahwa Islam itu rahmatan lil ‘alamin, menjadi rahmah untuk seluruh alam, bukan hanya untuk umat Islam. Dan ini tidak mudah.

Bagi KORSA, mewakili Masjid Salman ITB dalam penanganan bencana memang sudah biasa. Namun mewakili Masjid Salman ITB dalam konteks dakwah, apalagi tingkat internasional merupakan hal baru. Bisa jadi bukan perkara yang mudah. Kendati tak mudah, amanah tetaplah amanah. Dan bagi KORSA, ‘Amanah dalam menjalankan tugas’ adalah satya dan kode etik. Bolehlah di Salman kami mendapat predikat ‘anak nakal’, tapi saat di luar Salman, kami siap membawa visi Salman dalam membangun peradaban Islam.

Kompetisi ‘Kizuna Trip to Japan’ menyisakan berbagai pekerjaan rumah untuk KORSA dan Masjid Salman ITB. Sistem kaderisasi KORSA yang harus mampu mencetak relawan yang tangguh dan siap menjadi dai. Sistem kaderisasi Salman yang harus mampu mencetak kader yang tidak malu membawa pesan-pesan Islam di berbagai komunitas. Kesiapan Masjid Salman ITB menjadi pilot project Masjid Tangguh seperti dalam proposal KORSA. Dan masih banyak lagi.

Terakhir, izinkan saya menutup tulisan ini dengan mengutip ayat suci Al-Qur’an:

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk ke dalam agama Allah berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada- Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.“ (Q.S. An-Nashr: 1-3)

*Penulis merupakan relawan KORSA ITB sejak 2007 hingga kini, pernah menjabat sebagai Komandan KORSA ITB pada periode 2009-2011. 

 

 

SNMPTN Tulis Dihapus, Benarkah?

$
0
0
Deretan calon penerima Beasiswa Perintis ketika tengah mengerjakan tes di Ruang Utama Masjid Salman ITB. (Foto: Yudha PS)

Deretan calon penerima Beasiswa Perintis ketika tengah mengerjakan tes di Ruang Utama Masjid Salman ITB. (Foto: Yudha PS)

Oleh Irfan Ramdani

Sejak Selasa sore (11/12) heboh terdengar bahwa Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur Tulis akan dihapus. Berita tersebut langsung marak di jejaring sosial dan dunia maya. Setiap orang dalam daftar pertemanan saya sepertinya gatal untuk nge-share kabar ini. Hal tersebut langsung disambut dengan pro kontra di kalangan masyarakat, terutama di lingkungan SMA/MA/SMK/sederajat.

Jelas, kabar tersebut akan sangat direspon tidak baik terutama dengan oleh para siswa yang memiliki prestasi akademik kurang baik. Bukankah semua orang berhak masuk PTN? Mari kita bersikap lebih  santai dan bijak menghadapi kabar ini.

Sekedar informasi, SNMPTN adalah sebuah seleksi yang digunakan untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN). SNMPTN ini dibagi menjadi SNMPTN Undangan dan SNMPTN Tulis.

SNMPTN Undangan adalah sistem yang digunakan untuk penjaringan mahasiswa baru berdasarkan prestasi akademik siswa di sekolah. Jadi tidak sembarang siswa bisa mengikuti SNMPTN Undangan ini. Peserta SNMPTN Undangan diseleksi terlebih dahulu. Tidak hanya prestasi di bidang akademik saja yang menjadi penilaian, tetapi prestasi lainnya juga diikutsertakan dalam sistem penilaian jalur undangan ini. Semisal, kredibilitas sekolah, prestasi siswa dalam bidang olimpiade atau kejuaraan lain. Jalur ini mulai dilaksanakan oleh seluruh PTN di Indonesia sejak 2011.

Selanjutnya adalah SNMPTN jalur tulis. Ini nih yang sedang rame itu lho.. SNMPTN Tulis lazimnya sudah sejak dahulu dilaksanakan sebagai bahan seleksi untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Yang berbeda hanya namanya saja. Dari mulai namanya Proyeksi Persiapan (PP), kemudian ganti nama menjadi  SIPENMARU, SPMB, hingga SNMPTN pada tahun 2008 dan dipecah menjadi SNMPTN jalur Undangan dan Tulis pada tahun 2011.

Lalu apakah benar pada tahun 2013 SNMPTN Tulis dihapus?

Rabu lalu (13/12) sosialisasi SNMPTN 2013 telah dilaksanakan di Aula Timur ITB. Peserta yang hadir adalah perwakilan dari PTN yang ada di Bandung (ITB, UNPAD, UPI, dan UIN) dan tercatat dihadiri kurang lebih 1.000 kepala sekolah /guru BK SMA/MA/SMK dari seluruh Jawa Barat.

Pada sosialisasi tersebut poin penting yang penulis catat adalah:

1. SNMPTN Undangan berubah nama menjadi SNMPTN
2. SNMPTN Tulis berganti nama menjadi Seleksi Bersama masuk Perguruan Tinggi Negeri, selanjutnya disingkat menjadi SBMPTN.

Lantas apa bedanya?

SNMPTN yang dulu namanya SNMPTN Undangan, kini memiliki peraturan, bahwa setiap siswa di SMA berhak mengikuti SNMPTN. Seleksi ini sama halnya dengan SNMPTN Undangan tahun 2011 dan 2012.

Bedanya hanya terletak pada porsi siswa peserta. Pada tahun lalu,  porsi siswa yang boleh mengikuti SNMPTN Undangan ditentukan oleh nilai akreditasi sekolahnya. Sekolah dengan akreditasi A = 50%,  akreditasi B = 30%, akreditasi C =15%, dan lain-lain 5%.

Pada SNMPTN tahun 2013 (ingat, SNMPTN ini adalah perubahan dari SNMPTN Undangan) semua sekolah baik yang terakreditasi A, B, C, dan lainnya berhak mengikutkan siswanya dalam jalur SNMPTN ini.

Jadi, SNMPTN Tulis masih ada kok, hanya  berubah nama saja menjadi Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Selanjutnya porsi untuk SNMPTN adalah 60% dan porsi untuk SBMPTN adalah 40%. Adapun yang berhak mengikuti SNMPTN adalah mereka yang lulusan 2013. Sedangkan untuk lulusan 2011 dan 2012 mereka bisa masuk PTN dengan mengikuti SBMPTN.

Untuk mengikuti SNMPTN, perlu terlibat pihak sekolah dan siswa sama halnya dengan sistem SNMPTN Undangan tahun lalu. Sekolah harus mengisi data, kurikulum, nilai siswa dan lainnya yang akan dijadikan dasar penilaian dari PTN untuk dapat menerima mahasiswa baru. Selanjutnya siswa mengisi pilihan PTN dan jurusan sesuai dengan prioritasnya.

Lalu, bagaimana dengan beasiswa Bidik Misi? Bidik Misi sama halnya dengan tahun kemarin masih tetap ada dan terintegrasi dengan SNMPTN dan SBMPTN. Bahkan, kabarnya porsi Bidik Misi untuk 2013 akan ditambah.***

 

Penulis adalah pemerhati dan pecinta pendidikan, koordinator Beasiswa Perintis LPP Salman ITB, calon Mentri Pendidikan, insyaallah.

Pelatihan Jurnalistik, Mendamba Jurnalisme Damai

$
0
0
Dara Azilya, ketua panitia, berfoto dengan salah satu pemateri, Abie Besman. (Foto: Dokumentasi HMJ Unpad)

Dara Azilya, ketua panitia, berfoto dengan salah satu pemateri, Abie Besman. (Foto: Dokumentasi HMJ Unpad)

Kegiatan jurnalistik dewasa ini tidak lepas dari berbagai kepentingan. Jurnalis tidak sekadar pembawa pesan kebenaran dari berita yang dibuatnya. Namun, jurnalis dapat juga menjadi penggerak utama bisnis media. Tak ayal, beberapa kalangan pengamat media menyatakan “jurnalis pembawa petaka.”

Apa yang pemirsa baca di koran atau lihat di televisi kadang tidak sesuai dengan kebenaran di lapangan. Publik dicekoki berbagai macam berita yang berbau kekerasan, perang, dan konflik. Kegiatan jurnalistik terancam bila hal ini terus terjadi.

Oleh karena itu, wacana untuk mengembangkan jurnalisme yang damai, penuh cinta dan harmonis mengemuka dalam pelatihan jurnalistik bertemakan “Jurnalisme Damai”. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurnalistik Unpad, Sabtu-Minggu (8-9/12).

“Jurnalis menciptakan konflik juga dengan dirinya sendiri,” kata Abie Besman. Jurnalis Kompas TV yang tahun ini genap 10 tahun menekuni profesinya itu.

Jurnalisme damai tidak mengesampingkan fakta, tapi bagaimana mengemas fakta menjadi sesuatu yang menarik. Ideologi jurnalis mungkin berbeda. Ideologi jurnalis berarti mencakup dalam agenda individu.

“Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan dunia jurnalistik ke berbagai elemen. Jurnalistik terkadang suka dianggap tidak terjangkau, terbatas pada orang-orang yang suka menulis saja,” kata Dara ketua pelaksana pelatihan jurnalistik.

Selain materi jurnalisme damai, juga diberikan materi kreatif menulis, foto jurnalistik, dan keredaksian. Puluhan peserta anttusias mengikuti pelatihan ini. Di antara para peserta terdapat nenek berusia 73 tahun.[Tr]

Pelatihan Jurnalistik PC. IPNU-IPPNU, Membentuk Jurnalis Berjiwa Publik

$
0
0
Tampilan situs kampungnu.com, (Foto: http://kampungnu.com)

Tampilan situs kampungnu.com, (Foto: http://kampungnu.com)

Puluhan pelajar berkumpul di depan kantor pengurus cabang Nahdlatul Ulama kabupaten Tasikmalaya, Ahad (16/12).  Pagi itu mereka akan mengikuti pelatihan jurnalistik. Kegiatan itu di prakarsai oleh Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdalatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PC-IPNU-IPPNU) Kabupaten Tasikmalaya.

Pelatihan jurnalistik itu mencoba mengenalkan media online sebagai media alternatif untuk berdakwah. Dengan di pandu oleh Yudha P. Sunandar, para peserta begitu antusias mengikutinya. Inspirative journalism membuat para pelajar dari berbagai sekolah di Kabupaten Tasikmalaya itu penasaran.

“Kami menginginkan adanya media dakwah alternatif di ruang online. Kami ingin konsep pembelajaran yang menyentuh kalangan pelajar dan santri di lingkungan ponpes Cipasung, Singaparna ini, ” kata Fahmi, perwakilan dari IPNU.

Kemampuan jurnalis bagi para santri dan pelajar akan sangat berguna. Dakwah yang akan mereka lakukan tidak akan monoton. “Para santri dan pelajar diharapkan mempunyai kemampuan  jurnalistik yang handal sehingga mereka bisa membuat ruang dakwah kreatif dan alternatif melalui media online,” imbuh Fahmi.

Yudha P. Sunandar, staf penasihat salmanitb.com, dalam presentasinya mengingatkan untuk menulis yang terjadi di sekitar. “Cari sisi menarik dari objek yang kalian lihat. Kalau kalian bisa membuat menangis pembaca tulisan kalian, kalian sudah jago,” kata Yudha.

Dari pelatihan jurnalistik ini juga diharapkan lahir  kader-kader public relation yang menghubungkan kerja pesantren dan masyarakat luas melalui karya jurnalistik online. “Pelatihan diadakan rutin sebulan sekali,” pungkas Fahmi.[Tr]

Mentoring PAS ITB: Ayo, Dik, Makan Lotek! Agar Adik Suka Sayur!

$
0
0
Adik-adik hendak dibagikan lotek oleh salah seorang kakak pembina PAS. (Foto: Aulia Mulya Dewi)

Adik-adik hendak dibagikan lotek oleh salah seorang kakak pembina PAS. (Foto: Aulia Mulya Dewi)

Nggak suka kangkung, nggak suka wortel, wortelnya pedes!”

Begitulah celoteh Ahmed Deedar Attallah Charlan setelah menerima lotek ada diatas piringnya. Adik TK Pembinaan Anak-anak Salman (PAS) ITB ini enggan memakan lotek karena bumbu pecel yang rasanya pedas. Kendati begitu, Kakak-kakak PAS tidak menyerah untuk membujuk adik-adik agar mau makan sayur.

Sebuah dongeng pengantar dari Kak DN (Kakak PAS Semester 54) dan Kak Awan (Kakak PAS Semester 55) tentang makan sayur membuat adik-adik TK bersedia makan sayur. Dongeng singkat tersebut berlangsung di paving block Salman ahad, (16/12) lalu.

Sebelum makan lotek, adik-adik membuat bumbu pecel sendiri. Bumbu pecel praktis hanya tinggal dilarutkan dalam air kemudian adik menggerus bumbu pecel tersebut dengan sendoknya masing-masing. Setelah semua kelompok membuat pecel, kemudian adik-adik mengumpulkan bumbu pecel yang telah dibuatnya.

Usai makan lotek, banyak adik-adik yang bermain-main di lapang rumput. Mereka berlarian berkejaran bersama kakak-kakak kelompoknya. Tidak terasa mentoring kali ini merupakan mentoring terakhir di semester 57. Pekan depan, Ahad (23/12) merupakan penutupan mentoring PAS ITB. Pendaftaran adik baru semester 58 pun mulai dibuka pada tanggal tersebut. [Tr]


Tidak Konfirmasi, Munafik-kah?

$
0
0
Foto ilustrasi: Aulia Mulya Dewi

Foto ilustrasi: Aulia Mulya Dewi

Tatkala ada orang yang mengirim pesan untuk segera konfirmasi, apakah selalu langsung dibalas? Bagaimana rasanya ketika memberikan pesan, lalu pesan tersebut tidak langsung dibalas? Akan ada banyak persepsi yang muncul ketika pesan (sebutlah via sms) tersebut tidak segera dikonfirmasi.

Kita tidak tahu bagaimana kondisi orang yang kita kirimkan pesan secara teknis. Ada kemungkinan orang yang sedang kita kirimkan pesan sedang berada diluar kota, mungkin pesan atau sms-nya tidak terkirim, dan masih banyak hal lainnya. Berbagai prasangka negatif timbul akibat pesan tidak segera dikonfirmasi.

Berbicara mengenai konfirmasi, erat kaitannya dengan memenuhi sebuah undangan atau janji. Ketika pesan yang diterima merupakan undangan, tentu saja etikanya harus dipenuhi. Jika undangan tidak dipenuhi maka orang tersebut ingkar janji. Bukankah orang yang ingkar janji termasuk pada tanda-tanda orang munafik?

“Cuma, kita tidak bisa serta-merta memvonis orang tersebut munafik,” ungkap Zulkarnain, ustad Bidang Pelayanan Dakwah (BPD) Salman. Kita tidak bisa langsung memvonis orang lain dengan sebutan munafik. Hal ini karena kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Apabila kamu mengatakan kafir kepada orang lain, sementara sifat-sifat kekafirannya  tidak ada pada orang tersebut itu, maka tuduhan itu malah kembali lagi ke kita,” ujar ustad satu anak ini.

Artinya kita tidak boleh mencap orang itu kafir atau munafik sesuka hati. Kita harus mau ber-tabayyun, yaitu memastikan kebenaran suatu pesan atau informasi. Hal ini sesuai dengan ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Terkadang ada banyak pertimbangan untuk memberikan konfirmasi. Jika memberikan konfirmasi, tidak mengapa jika yang dikabarkan itu tidak sesuai dengan keinginan si pengirim. “Katakanlah yang benar sekalipun itu pahit,” kata Dzulkarnaen.

Jika memang tidak ada kesengajaan, maka kedua pihak seharusnya sama-sama saling berlapang dada. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada pihak yang merasa dikecewakan.

Jika telah terjadi keterlambatan konfirmasi, maka seharusnya ada konsekuensi yang diberikan. Tujuan diberikannya konsekuensi itu sebenarnya membangun. Misalnya agar masing-masing pihak menjadi lebih disiplin. Memberikan konsekuensi sebenarnya diperbolehkan, namun harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Jika kesepakatan hanya sepihak, maka konsekuensi tersebut termasuk kedalam kategori mendzalimi orang lain.

Menurut Dzulkarnaen, agar suatu konfirmasi itu menjadikan hubungan sesama manusia baik, maka lakukanlah tiga hal. Pertama, sesama manusia harus saling mengerti. “Karena yang namanya hubungan antar sesama manusia itu harus saling mengedepankan saling tafahhum(memahami),” ungkap Dzulkarnaen.

Kedua, terapkan prinsip khusnudzon atau berbaik sangka. Sehingga tidak menjadi berdosa ketika tidak mendapatkan konfirmasi. Berbaiksangkalah, karena ada banyak kemungkinan yang terjadi terhadap orang yang belum bisa memberikan konfirmasi itu. Bagitupun pihak penerima pesan, harus memberikan alasan yang logis ketika tidak dapat mengonfirmasi suatu pesan.

Ketiga, gunakan prinsip tabayyunatau mengecek langsung. Artinya, kita jangan mudah percaya suatu pesan yang belum bisa dikonfirmasi ketika belum mencek kembali  kebenaran sebuah informasi. Ini dapat meminimalisasi terjadinya buruk sangka. [Tr]

HIV/AIDS, Bergelut dalam Stigma

$
0
0

 

Foto dari: profiles.nlm.nih.gov

Foto dari: profiles.nlm.nih.gov

“Saya cuma ingin mengatakan, Anda memang pantas kena HIV (Human Immunodeficiency Virus.red) karena kelakuan buruk Anda.”

Dikutip dari Majalah GATRA, 20 Januari 2003, melalui saluran telepon interaktif, seseorang mengungkapkan pernyataan tersebut kepada Andreas Pundung.  Sontak, Andreas kaget dan sedih mendengar pernyataan tersebut. Memang, Andreas merupakan pengidap HIV akibat kecanduan narkoba.

“Saya mengharapkan pengertian dan dukungan masyarakat agar saya tegar dan merasa berguna, kok malah dicemooh. Tapi, saya berusaha tidak larut,” ujar Andreas.

Saat itu, Andreas tengah menjadi narasumber dari acara talkshow di sebuah stasiun televisi di Jakarta pada 2003 silam. Duda yang kini berusia 34 tahun ini mengadu keberanian dengan memaparkan testimoni pengalamannya. Istrinya, juga pemadat, wafat ketika Andras mendekam di sel kantor polisi lantaran terlibat perampokan.

Joylee Ernsting  Sadler, perawat relawan 57 tahun asal Amerika mengalami diskriminasi yang lebih tragis. Lantaran mengidap HIV/AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome), sejumlah rumah sakit di Banda Aceh diwartakan menolak untuk merawat Sadller. Joylee akhirnya terpaksa mengeram lemah di sel Lembaga Permasyarakatan Keudah, Banda Aceh. Parahnya, terpidana empat bulan penjara kasus penyalahgunaan bisa itu nekat mogok makan. Ia melakukan pemogokan tersebut sebagai aksi protes atas penahanannya.

Selain Andreas dan Joylee, masih terdapat banyak diskriminasi lain yang menimpa pengidap-pengidap HIV/AIDS lainnya. Sebutlah Isye (34). Isye tidak memiliki latar belakang pecandu atau pegiat seks serampangan. Ia tertular HIV dari suaminya yang menggunakan narkoba dan jarum tato. Isye bahkan baru tahu jika suami ialah seorang pecandu ketika ia mulai sakit-sakitan.

“Jika ditanya perasaan ketika tahu mengidap HIV, mau dibilang marah ya marah.. dibilang bingung ya bingung… Bingung mengutarakan ini ke siapa… Benar-benar down,” ungkap Isye.

Mujur, sedari 2007, Isye bergabung dalam sebuah komunitas tempat berkumpulnya pengidap HIV/AIDS, Komunitas Rumah Cemara. Komunitas Rumah Cemara adalah rutin mengadakan kegiatan untuk mengalihkan stres dan rasa putus asa pengidap HIV dan pecandu narkoba. Pendampingan dan konseling bagi pengidap HIV dan AIDS kerap kali dilakukan. Isye pun kemudian menjadi Manajer Kasus dari komunitas ini

Namun, sayangnya Isye masih belum berterus-terang mengenai identitas HIV-nya kepada orangtua. Ia belum berani memberitahukan kondisi sebenarnya. Isye kepalang takut jikalau orangtuanya menganggap lain dirinya setelah mengetahui penyakit yang ia idap.

“Teteh belum dapat momen untuk ngasih tau. Padahal ingin ngerasain kayak keluarga normal yang nganter anaknya yang sakit untuk berobat,” tutur Isye lirih.

 

 

Yang salah pun perlu ditolong

“Sederhana saja deh, jika ada orang yang mengendarai kendaraan kebut-kebutan, kemudian ia kecelakaan, bakal ditolong nggak sama kita? Pasti ditolong kan.”

Tri Irwanda Maulana, Media Relations Officer Komisi Penanggulangan AIDS Jawa Barat menawarkan analogi tersebut untuk menyantuni pengidap HIV/AIDS. Kebut-kebutan tentu aktivitas yang membahayakan baik orang lain maupun pengendara itu sendiri. Namun, ketika si pengendara mengalami kecelakaan, akan sangat tega rasanya jika membiarkannya tergolek bersimbah darah.

Walaupun sudah berkurang, menurut Tri masih terdapat stigma-stigma negatif yang melekat pada pengidap HIV/AIDS. Banyak orang beranggapan, itu salah kelakuan sendiri jika mereka mengidap penyakit HIV/AIDS. Padahal, seperti analogi kebut-kebutan tadi, yang salah pun punya hak untuk pulih dan ditolong.

“Ditambah lagi, sekarang ini muncul fenomena bahwa pengidap HIV/AIDS tertular oleh perilaku orang lain. Seperti istri yang tertular oleh perilaku suaminya yang nge-seks sembarangan,” papar Tri. “Namun saya maklum ada penyematan stigma tersebut lantaran belum menyebarnya informasi HIV/AIDS secara baik.

Menurut ustad dari DPD, Yayat Supriyatna, Islam sendiri merupakan dengan rahmatan lil ‘alamin. Bahkan menurut Yayat, dalam sebuah hadis disebutkan “Tolonglah orang dhalim dan didhalami.” Sahabat Nabi pun bertanya, mengapa orang dhalim harus ditolong juga?

“Ditanya seperti itu, Rasulullah SAW menjawab, ‘tolonglah mereka dengan cara menghilangkan kedhalimannya,” terang Yayat.

Ustad yang tiap Ahad rutin mengisi kajian Bathsul Qutub ini mengatakan, peduli pada isu HIV/AIDS bukan berarti sebatas berbelas kasihan  dengan pengidapnya. Sebagai umat Islam, kita juga wajib untuk peduli pada penyebab-penyebab yang menyebarkan HIV/AIDS. Di antarnya adalah perilaku seks menyimpang dan penggunaan jarum suntik narkotika.

“Pedulinya umat Islam harus seimbang antara menyembuhkan dan mencegah penyebabnya,” papar Yayat.

Seluruh elemen yang berkepentingan, baik dari pihak medis, psikologi, maupun agama harus bersinergi untuk menyelesaikan permasalahan HIV/AIDS. Tidak bisa jika elemen-elemen ini berjalan sendiri-sendiri. Hal ini karena satu sama lain elemen saling berhubungan. Selain itu, manfaat dan mudharat dari langkah yang diambil untuk memberantas HIV/AIDS harus dipertimbangkan.

“Jangan sampai, misal, ada lokalisasi pelacuran untuk memudahkan pemeriksaan medis di sana, malah memicu untuk membuka pelacuran-pelacuran lain,” terang Yayat.

Bagaimana pun juga, semua itikad baik harus didasarkan pada prinsip kasih sayang terhadap sesama manusia. Irham man fil ardhi, yarham man fis sama, barangsiapa yang mengasihi sesama di bumi, nanti kelak di langit akan pula dikasihi.***

Mabit Adik Beasiswa PAS: Berakhlak, Berkarya, dan Berprestasi

$
0
0
Malam perenungan Mabit adik Beasiswa PAS. (Foto: Khairunnisa Idris)

Malam perenungan Mabit adik Beasiswa PAS. (Foto: Khairunnisa Idris)

“Adik-adik!” kata Kak Bana.

Dengan sigap anak-anak  itu menjawab, “Siap!”. Selanjutnya anak-anak itu semangat mengikuti materi yang diberikan oleh Kak Bana. Kak Bana menyampaikan materi budaya pelatihan. Anak-anak itu mengikuti mabit (malam pembinaan iman dan taqwa) yang diselenggarakan Pembinaan anak-anak Salman (PAS). Mabit dilaksanakan selama dua hari, Senin-Selasa (24-25/12). Peserta adalah anak-anak penerima beasiswa tidak mampu. Umumnya mereka berusia 7-12 tahun.

“Anak-anak ini penerima beasiswa tidak mampu. Mabit ini wajib diikuti. Mereka akan dibekali materi-materi yang akan membentuk kepribadian mereka,” kata Nuriati Kartika atau biasa disapa Kak Nui 55.

Pada mabit semester 57 ini, anak anak ditekankan untuk selalu disiplin. Diharapkan mereka bisa menerapkan priilaku disiplin dalam kehidupan sehari-hari.

“Mabit untuk beasiswa ini baru diadakan semester sekarang,” tambah Kak Nui yang juga Ketua Divisi beasiswa 57. Mabit ini juga dalam rangka program kerja PAS yaitu KOMET (Kemenanganku Kemenagan kita dalam kebersamaan).

“Konsepnya mabit membangun kedisiplinan, kepemimpinan, dan akhlak. Diharapkan adik-adik ini  bisa membawa perubahan di lingkungannya,” pungkasnya. [Tr]

“Membaca” Dunia Media Sebelum Membuat Film

$
0
0

 

(Foto: Tristia R.)

(Foto: Tristia R.)

Dalam workshop film, sering kita temukan materi-materi seperti perencanaan eksekusi, penulisan skenario, keartistikan, dan tetek bengek teknis lainnya. Namun uniknya dalam pelatihan yang diadakan untuk anggota Forum Filmaker Pelajar Bandung (F2B) pada Rabu (26/12), dimasukkan pula materi literasi media.

Bertempat di sekretariat Salman Films, Manajer Bidang Pengkajian dan Penerbitan (BPP) Salman, Salim Rusli berperan sebagai pemateri. Salim menerangkan poin-poin analisa yang diperlukan dalam melakukan pembacaan media. Salah satunya, dalam menelaah sebuah media kita perlu tahu apa tujuan si pembuat media? Bagaimana sudut pandang pemirsa dalam menangkap pesan media?

Selain penyampaian materi, Salim juga mengajak peserta yang semuanya anak SMA itu untuk menganalisis isi film pendek. Film yang mereka simak bersama-sama adalah BOS yang mengisahkan kebencian seseorang terhadap Osama bin Laden. BOS sendiri merupakan film karya Salman Film Maker pada tahun 2002.

Dalam konteks film, literasi media bermanfaat untuk merencanakan konsep-konsep dasar film. Jika memahami konsep-konsep dasar film, antara tujuan film dan eksekusi akan berjalan dengan selaras.

“Saya tertarik untuk belajar bareng-bareng untuk merumuskan film dengan konsep literasi ini,” papar Salim.

Pentingnya perumusan literasi film juga dirasakan oleh Iqbal Alfajri, pembina dari F2PB. Setelah pemberian materi ini, Iqbal berencana untuk membuat kurikulum literasi film. Menurutnya, sineas film perlu diajari konsep film sebagai produk budaya. Produk budaya pada hakikatnya merupakan bagian dari suatu fenomena budaya yang bersifat luas.

“Sebelum berbicara mengenai produk, sineas film harus berpikir soal posisi film mereka dalam konteks makro. Mereka harus paham, apa sih peran film mereka,” ujar founder Salman Films. “Aneh kan kalau orang yang mau mengeksekusi massa, tapi ia tidak memahami media secara umum?”

Pelatihan literasi media ini merupakan rangkaian dari persiapan pembuatan film panjang yang akan dieksekusi anggota F2FB. Melalui materi literasi, Dinda (16) salah satu anggota F2PB mengatakan ia jadi mengetahui bahwa semua harus direncanakan dalam film.

“Bahkan crowd saja harus direncanakan dalam film. Literasi media bermanfaat juga bahkan sampai ke tahap pembuatan  skenario,” ujar Dinda.

Peserta lain, Amel (16), berpendapat sebenarnya istilah literasi media tidak terlalu asing. Namun, ia baru benar-benar mengerti konsepnya ketika mengikuti pelatihan ini.

“Media memang ada di sekitar kita tetapi kita kurang mendalami di dalamnya,” ujar Amel. “Jelas, perlu banget literasi media dalam pembuatan film. Tanpa media, kita tidak dapat membuat film.”***

 

Menyembuhkan Kesemerawutan Kota Lewat Sistem Transportasi

$
0
0

Lalu lintas depan Pasar Baru Bandung. (Foto: Tristia R.)

Lampu di stopan menunjukan warna hijau. Artinya, kendaraan jalan terus. Tetapi pada kenyataannya tak jarang deretan kendaraan berhenti tatkala lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau. Beberapa pengendara maupun penumpang di dalam angkutan umum terkadang terlihat jengkel.

Tidak jarang polisi lalu lintas menggantikan tugas lampu lalu lintas, mengatur laju kendaraan agar tidak terjadi kecelakaan. Terkadang selalu saja ada pengamen sampai pengemis di setiap perempatan jalan raya. Ternyata, lalu lintas suatu kota bisa menjadi tolak ukur apakah sebuah kota itu sehat atau tidak.

“Jika mau mengecek suatu kota itu sehat atau tidak bagus atau tidak, maka gampang, lihat saja kehidupan di jalannya,” ujar Petrus Natalivan, Dosen Planologi ITB.

Menurut Petrus, kehidupan di jalan raya bisa mencerminkan keadaan suatu kota secara keseluruhan. Jika masih sering terjadi macet, berarti ada masalah di dalam kota tersebut. Terlebih lagi sekarang ini semakin banyak pemilik kendaraan pribadi. Transportasi massal di bandung pun masih semerawut. Hal tersebut menyebabkan seringnya terjadi kemacetan, karena volume dan jumlah jalan raya tidak bertambah, sedangkan jumlah kendaraan semakin banyak.

Menurut Petrus, terdapat tiga masalah utama dalam transportasi sebuah kota. Pertama adalah sistem jaringan jalan. Sistem jaringan jalan merupakan arus utama transportasi. Pada kenyataannya jaringan jalan tidak bertambah panjang namun volume kendaraan semakin meningkat. Tidak adanya penambahan jaringan jalan yang signifikan di kota Bandung.

Kedua sistem sirkulasinya. Sistem sirkulasi di Bandung  terlalu banyak jalur yang satu arah. Masalah ketiga adalah sistem kegiatan ekonomi. Sistem kegiatan ekonomi itu adalah bagaimana aktivitas penempatan ruang di sekitar jalan raya.

Ketiganya sangat berkaitan erat dengan aktivitas manusia di jalan raya. Misalnya ketika sirkulasi macet, maka mungkin ada yang salah dengan sistem jaringannya. Atau, ada potensi  kesalahan dalam pengembangan sistem kegiatan di kota Bandung.

Terlalu banyaknya kendaraan pribadi pun ternyata semakin berpengaruh terhadap tingkat kemacetan di jalan raya. Hal tersebut karenya banyak orang yang merasa kurang nyaman ketika menggunakan alat transportasi massal. Berbeda ketika pergi ke luar negeri, Hongkong misalnya. Alat transportasi disana sangat rapih, tidak ada kemacetan, jalanan tertib. Transpotrasi massal di luar negeri itu dipelihara sedemikian rupa.

Sedangkan di Indonesia sendiri justru sebaliknya. Transportasi massal cenderung tidak nyaman. Menurut Petrus, mengadakan suatu transportasi massal itu mudah, namun untuk memeliharanya tidak mudah. Pertanyaannya apakah pemkot Bandung atau provinsi itu menyediakan biaya operasional dan biaya maintenance-nya?

“Transportasi massal yang sudah ada di Indonesia misalnya Busway. Kualitasnya (busway) semakin lama semakin menurun,” ujar Petrus. “Terakhir saya naik, waduh kursinya itu sudah nggak karuan, terus banyak kasus pelecehan segala macem,” tambahnya.

Pun, beberapa tahun kebelakang di Bandung ada Trans Metro Busway (TMB), kemudian TMB tersebut akhirnya berhenti beroperasi secara total. Penyebabnya adalah kendala biaya maintenance yang tidak turun dari pemerintah pusat.

Akibat tidak nyamannya transportasi massal, orang beralih menggunakan kendaraan pribadi.  Pemilik kendaraan meningkat. Terlebih ketika adanya biaya cicilan ringan, 500 ribu sudah dapat pakai motor. Kemacetan tidak dapat dihindari lagi. Anehnya pejabat pemerintah membuat alasan jalan raya macet  merupakan indikator kemajuan ekonomi suatu daerah.

“Padahal problemnya bukan itu, kan lebih baik ekonominya tumbuh, dengan sistem transportasinya yang lebih baik,” ungkap Petrus.

Bicara soal macet, bukan sekedar bicara transportasi saja, namun terkait bagaimana pemerintah mengembangkan kota itu sendiri. Menurut Petrus, untuk memperbaiki keadaan transportasi kota harus ada yang memulai Sudah banyak studi mengenai transportasi masal, hanya pelaksanaannya saja yang belum maksimal. Petrus menilai,  harus ada kemauan pemerintah daerah (political will) untuk mengatasi permasalahan transportasi. [Tr]

Viewing all 2618 articles
Browse latest View live