![Foto: Tristia R.]()
Foto: Tristia R.
Sejarah perburuhan di Indonesia tercatat sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Sejak dibukanya perkebunan tembakau di Deli dan Langkat, Sumatera Timur, kebutuhan akan buruh meningkat. Semua itu untuk memenuhi kebutuhan Eropa.
Seiring dengan masuknya modal asing ke Tanah Hindia, dan bermain di sektor perkebunan dan pertanian, pemerintah kolonial mengeluarkan ordonansi (koeli ordonantie) dan penal sanction. Undang-undang ini mengatur tenaga kerja dengan ongkos murah, memberi perlindungan investasi untuk perusahaan dalam bentuk kontrak kerja. Kuli yang banyak didatangkan dari Jawa ini dikenal dengan sebutan Djokon (kontrak).
Aturan yang dibuat itu memang tidak ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh. Rakyat di bujuk untuk menjadi buruh, aparat desa bertindak sebagai calo tenaga kerja, dan birokrasi Hindia Belanda mengadakan korupsi besar-besaran. Sistem perburuhan yang awalnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan buruh, ternyata sama sekali tidak memihak mereka.
Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, buruh nyatanya masih terjerat dalam rentannya ekonomi serta kebijakan pemerintah. Tiap tahun, demonstrasi menuntut hak-hak oleh para buruh rutin dilakoni, tak terkecuali tahun ini.
Aksi turun ke jalan kembali dilakukan para buruh, Rabu lalu (30/10). Ini merupakan kali ketiga di tahun 2013 buruh melakukan mogok massal dan aksi turun ke jalan. Sebelumnya buruh melakukan hal sama pada bulan Februari dan saat puncak hari buruh, 1 mei.
Mogok kerja puluhan ribu buruh secara serentak di sejumlah tempat tentu mengganggu proses industri. Tuntutan para buruh masih tetap sama, upah naik minimum 50 persen, penghapusan outsourcing, dan pelaksanaan jaminan sosial untuk rakyat.
Di Jakarta, buruh menuntut upah minimum Rp. 3,7 juta. Mereka menolak UMP yang telah diteken pemerintah DKI sebesar Rp. 2,4 juta. Mereka mengklaim bahwa hidup di Jakarta dengan upah di kisaran 2 juta sangat pas-pasan. Bahkan nyaris tidak mencukupi.
Kenaikan upah minimum sebesar 50 persen di nilai wajar oleh para buruh. Pasca kenaikan harga BBM, harga kebutuhan pokok dan transportasi naik rata-rata 30 persen. Mereka tidak dapat menyisihkan sebagian upahnya, karena habis untuk memnuhi kebutuhan sehari-hari.
Inflasi, wajar buruh menuntut naik gaji
Catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukan Indonesia menjadi negara dengan upah buruh tinggi. Hampir mencapai 250 dollar AS. Thailand berada di posisi kedua dengan 200 dollar AS. Upah buruh terendah ada di negara Vietnam dengan 70 dollar AS. Sementara rata-rata upah di Asia Timur pada 2013 mencapai 70-270 dollar AS.
Namun, upah tinggi itu tak lantas membuat para buruh puas. UMP dirasa belum memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Menurut Acuviarta Kartabi, tutntutan kenikan upah oleh buruh adalah hal yang lumrah. Karena para buruh harus mengikuti kondisi pengeluarannya.
“Faktanya pemerintah kita tidak bisa menjamin menjamin inflasi yang rendah. Buruh, tenaga kerja, dia harus membiayai pengeluarannya. Kalau kebutuhannya tidak terpenuhi konsekuensi yang logis ya menuntut,” kata Kang Acu saat ditemui di LFTE Unpad, Kamis (21/11).
Bagi Acu, kalau saja pemerintah bisa menjamin inflasi satu persen saja, maka tidak logis menuntut upah sepuluh persen. Namun, tuntutan upah yang tinggi terjadi karena kegagalan pemerintah dalam menjamin stabilitas harga. Ketika harga kebutuhan pokok, listrik, dan bahan bakar naik, maka konsekuensi yang logis adalah kenaikan pengeluaran. Hal tersebut akan direspon dengan tuntutan kenaikan upah.
Duduk Bersama
Menurut Ketua Konsorsium Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, ada banyak faktor yang membuat kaum buruh lemah posisi tawarnya, sehingga gampang sekali dilanggar hak-haknya dan dieksploitasi semena-mena oleh pengusaha. Selain itu ada peran negara dalam hal ini pemerintah yang lemah, baik dalam bentuk kebijakan, regulasi, dan pengawasan.
Faktor berikutnya adalah pendidikan dan keterampilan pekerja yang tidak memadai. Hal ini turut memperlemah daya tawar pekerja.
“Selain itu harus disadari permintaan dan penawaran yang tidak seimbang antara kebutuhan lowongan kerja yang tersedia dengan angkatan kerja baru setiap tahun, akan membuat kaum buruh mudah untuk dimarjinalkan,” kata Said Iqbal.
Said menegaskan, hubungan antara buruh, majikan, dan pemerintah, khususnya di Indonesia harus diimplementasikan secara seimbang dan proporsional. Semua itu harus berdasarkan kepentingan maupun peran dan fungsinya dalam sistem tripartit hubungan industrial.
Pemerintah menjadi penengah bagi buruh dan pengusaha dengan menerapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Para buruh berhak atas kelangsungan pekerjaan, upah yang layak dan jaminan sosial serta keadilan dalam pekerjaan. Buruh berkewajiban untuk menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga kelangsungan produksi, mengembangkan keterampilan serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan buruhh dan keluarga.
Sedangkan pengusaha harus terus mengembangkan usahanya, menciptakan kemitraan, memperluas lapangan kerja, dan memeberikan kesejahteraan secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
“Kaum buruh yang mau bersatu sesama buruh tentu akan dapat memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya sehingga bisa menjadi mitra yang sejajar dengan pengusaha/majikan,” tambah Said Iqbal yng juga Presiden DPP Federasi Serikat Metal Indonesia (FSPMI). [ed: Tr]
The post Hikayat Buruh Negeri appeared first on Masjid Salman ITB.