![(Foto: lifestyle.viva.co.id - Courtesy of: Arselan Ganin)]()
Salah satu peragaan busana Shafira. (Foto: life.viva.co.id – Courtesy of: Arselan Ganin)
‘Sumur, Dapur, Kasur.’ Katanya, tiga hal itu yang paling menggambarkan takdir hidup seorang perempuan Muslim. Biasanya stigma tadi disebut-sebut dengan nada nyinyir, bahwa harga diri muslimah tidak lebih ‘tinggi’ dari bersih-bersih, masak, dan melayani kebutuhan biologis suami. Sungguh terkesan rendah sekali.
Benarkah?
Ah, siapa bilang. Tengok saja pernyataan Produser Film Senior Indonesia, Budiyati Abiyoga. Perempuan yang telah menyabet berbagai penghargaan di kancah perfilman nasional itu justru mengaku sangat bersyukur. Ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk mengurus suami yang tengah sakit.
Budiyati sendiri dikenal sukses menggarap film-film berprestasi. Pergi pagi-pulang malam, baginya dan suami, telah menjadi makanan sehari-hari. “Sebelumnya kami sama-sama sibuk. Sekarang Tuhan ngasih saya kesempatan,” ujarnya saat dihubungi pada Senin (3/11).
Kini masa kritis suami tercinta telah lewat, membuat Budiyati leluasa mengurusnya dan anak-anak tercinta. Tentu saja, ia tidak melupakan dunia film yang ia jadikan sebagai ajang dakwah. Namun, rumah tangga tetap yang terpenting.
“Hidup ini semua terdiri atas sistem sosial dan ekologi, skala terkecilnya yaitu rumah tangga. Yang penting dia (seorang istri –Red) bisa me-managae ini,” katanya tenang.
Karir Budiyati memang cemerlang. Alumnus Teknik Penyehatan ITB ini memulai karir sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1968. Posisinya terus menanjak, hingga ia dipercaya menjadi Kepala Proyek Pusat Informasi Teknik Pembangunan Jakarta di tahun 1974.
Namun lantaran tak ingin anak-anak kekurangan perhatian, Budiyati pun memutuskan untuk mengundurkan diri. Seperti yang dikutip dari inspirasi-insinyur.com, suaminya juga berhenti menjadi pelaut, lalu beralih menjadi marine consultant dan surveyor. Agar tetap dapat membaktikan ilmunya, perempuan asal Sumenep, Madura ini mendirikan sebuah perusahaan konsultan yang bergerak di bidang engineering, manajemen, lingkungan, dan komunikasi massa.
Selain aktif di bidang teknik, Budiyati juga aktif di bidang seni. Kecintaannya pada dunia film, membuatnya mendirikan PT Prasidi Teta Film dan PT Mutiara Eranusa Film. Dari kedua perusahaan film inilah banyak film bermutu dihasilkan, seperti “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Cas Cis Cus”, “Cinta Dalam Sepotong Roti”, “Badut-Badut Kota”, “Oeroeg”, serta “Nagabonar” dan “Nagabonar Jadi 2”.
Atas kiprahnya sebagai produser film, ia pernah mendapat beberapa penghargaan. Misalnya, penghargaan Djamaluddin Malik dari Departemen Penerangan, Penghargaan Seni dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, serta Penghargaan Seni dan Kearifan Lokal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Itulah apresiasi pemerintah atas kerja keras Budiyati meninggikan martabat Indonesia lewat film.
“Lewat film kan kita bisa menunjukkan peace, equality, dan dignity. Kita bicara dengan dunia internasional, itu (dengan film –Red) paling mudah untuk menunjukkan martabat kita,” katanya.
Salah satu perintis Pramuka Salman ini berkomitmen, film-film yang ia garap memiliki misi empowerment atau pemberdayaan. Misi dakwah, khususnya, ia nyatakan lewat film. Menurutnya, film memiliki dampak yang sangat besar. Proses pembuatan film pun sangat menggugah kreativitas. Kini ia berencana untuk menggarap sebuah produksi film dengan Unit Salman Film.
“Salman, menurut saya suasananya menawarkan keteduhan. Kalau Anda menularkan sesuatu yang positif di Salman, pasti banyak yang tertarik, bukan menjauh,” pungkasnya optimis.
Berawal dari Prihatin
Lain Budiyati, lain pula Fenny Mustafa. Penyabet penghargaan Indonesia Women Entrepreneur dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005 itu, memilih bidang busana muslimah sebagai medium dakwah. Di awal tahun 80-an, ia pun merintis brand fashion muslimah, Shafira, yang kini telah berkembang menjadi usaha terpadu dengan showroom dan counter di Bandung, Jakarta, Surabaya, serta Kalimantan.
Alasannya sederhana saja.
“Pada masa itu, tidak banyak wanita yang tertarik mengenakan busana penutup aurat. Dari situlah saya terdorong menciptakan pakaian muslimah yang rapi, tertutup, namun juga cantik dan indah,” ujarnya, seperti dikutip dari wolipop.detik.com.
Tak banyak yang menyangka bahwa sosok pendiam tersebut pernah aktif di Departemen Sosial Keluarga Remaja Islam (KARISMA) Salman. Namun karena sering dijadikan tempat curhat masyarakat dan para pembina KARISMA, mau tidak mau ia harus mengasah kemampuan dakwahnya. Salah satu keluhan yang sering mampir, yakni masalah seputar jilbab dan topik kewanitaan lainnya. Inilah yang menginspirasi Fenny untuk terjun ke dunia fashion.
Berangkat dari inspirasi saat di-curhat-i, otodidak belajar mendesain, hingga mampu menggaji desainer untuk merancang busana Muslimah, kini Shafira dikenal sebagai ritel busana Muslim terbesar di Indonesia. Ratusan gerainya tersebar di seluruh penjuru negeri, bahkan sampai ke Malaysia. Keprihatinan Fenny akan ketidakbebasan Muslimah Indonesia dalam berjilbab, telah mengantar namanya sebagai salah satu tokoh penting dunia busana muslim nusantara.
‘Banyak jalan menuju Roma’, orang bilang. Banyak pula jalan untuk berdakwah. Status sebagai perempuan, lebih-lebih sebagai seorang ibu, tak menghentikan semangat dakwah Budiyati dan Fenny. Kini mereka dapat menuai hasilnya. Tak hanya sukses di bidang pekerjaan masing-masing, mereka pun sukses membumikan kembali nilai Islam ke tengah masyarakat Indonesia.
Berawal dari prihatin, berasal dari Salman, berakhir dengan Islam yang teduh. Ayo, Ukhti, kita sama-sama berprestasi! [Ed: Dh]