Quantcast
Channel: Masjid Salman ITB
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

BBM Langka, Jangan Panik

$
0
0
(Foto: Nadhira R.)

Borosnya penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia disinyalir menjadi salah satu penyebab kelangkaan sumber daya alam tersebut. Solusinya, yakni dengan membiasakan diri menggunakan transportasi massal dan transportasi sehat, seperti bersepeda. (Foto: Nadhira R.)

Rakyat Indonesia kalang kabut. Pada minggu-minggu terakhir bulan Agustus kemarin,  mereka merasakan sulitnya membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Kondisi ini sendiri sebenarnya sudah lama terjadi di sebagian daerah di luar Jawa dan Jakarta, seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.

Istilah panic buying pun muncul. Panic buying yakni kondisi di mana masyarakat tergopoh-gopoh memborong BBM –khususnya bensin—karena panik, takut tidak dapat bagian. Antrean panjang terjadi di banyak SPBU di pulau Jawa dan DKI Jakarta. Tak heran, Pertamina sempat memangkas kuota BBM bersubsidi, yakni dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter. Kisruh terjadi, karena kebutuhan konsumsi bahan bakar dari fosil tersebut melebihi kuota yang disediakan.

Menurut Anggota Dewan Pakar YPM Salman, Dr. Yazid Bindar, fenomena panik tadi merupakan tanda ketergantungan masyarakat pada BBM. Padahal, bahan bakar minyak merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Masyarakat sering berlebihan dalam penggunaannya. Yazid menjelaskan, hal ini merupakan efek dari bentuk pergeseran kebutuhan masyarakat dari pemenuhan sisi fungsional menjadi pemenuhan sisi kenyamanan.

“Dulu manusia tanpa ini (BBM –Red.) bisa hidup. Dulu kan yang dikejar sisi fungsionalnya. Tapi belakangan setelah pertumbuhan industri membesar, dan manusia merasa nyaman, tapi terus mengejar kenyamanan. Itulah yang membutuhkan energi besar,” tutur Wakil Dekan Sumberdaya Fakultas Teknik Industri (FTI) ITB ini, saat diwawancarai di kantornya, Senin (1/9).

Kini warga Jakarta dan Pulau Jawa memang bisa bernapas lega. Pada 26 Agustus lalu Pertamina menormalkan kembali pasokan BBM. Namun kondisi tenang ini hanya sementara, karena masih ada risiko solar habis pada 5 Desember dan premium habis pada 20 Desember mendatang. Yazid mengatakan, inilah mengapapola pikir masyarakat mesti diubah. Harga BBM naik tak selamanya berarti menyengsarakan rakyat. Solusi menaikkan harga sedikit demi sedikit harusnya dipahami sebagai upaya memupuk pola hidup sehat.

“Jadi dalam konteks ini masyarakat harus paham, harus terima. Daripada bangkrut, kayak Yunani?” tukasnya.

Pria yang meraih gelar Doktor di Queen’s University – Kanada itu memaparkan, pemerintah sesungguhnya tidak punya pilihan. Produksi minyak Indonesia jauh menurun; dari 1,8 juta barrel per hari pada tahun 90-an, kini menyusut ke angka 850 ribu barrel per hari. Ruwetnya, jumlah konsumsi BBM Indonesia saat ini mencapai 1,3 – 1,4 juta barrel per hari.

Minyak dan gas sendiri merupakan komoditi internasional. Karenanya, wajar bila harga yang dipatok merupakan standar internasional pula. Yazid mengungkapkan dengan kondisi defisit seperti ini rasanya mustahil mempertahankan kebijakan BBM murah. Pemerintah bisa nombok, bila membeli kekurangan pasokan BBM dengan harga standar internasional. Namun, na’asnya BBM tersebut dijual dengan harga lebih murah di dalam negeri.

Bagi Yazid, fenomena tersebut merupakan kesalahan besar. Akhirnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia bergantung terus pada BBM. Sekarang apa yang terjadi? “Subsidi BBM kita sekarang hampir 300 trilyun. Itu memakai uang negara, dari uang pajak,” terangnya.

 

Pikirkan Generasi Berikutnya

Dewasa ini, masyarakat terkesan mementingkan kenyamanan daripada fungsi. Berkaitan dengan kelangkaan BBM, masyarakat mestinya sadar diri dan mulai berhemat. Bagaimana pun juga, mengubah gaya hidup boros BBM memiliki manfaat besar bagi generasi berikutnya.

Yazid mengatakan, ada tiga solusi kelangkaan BBM. Pertama, optimalkan transportasi massal. Kedua, gunakan transportasi sehat. Ketiga, mulai beralih ke tenaga listrik. Soal listrik, sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang cukup besar.

“Kita kaya dengan bio-massa. Itu lokal, kecil-kecil. Jadi konsepnya di desa kecil dengan pembangkit kecil-kecil juga. Tapi kalau mau besar-besar, bahan bakarnya nggak ada. Jadi berpikir cerdas, strategis,” ujarnya.

Mengenai kenaikkan harga, pemerintah mesti mengantisipasinya dengan menaikkan harga jual pelan-pelan. Masyarakat pun akhirnya akan beradaptasi.

“Harga naik itu harus. Kita mesti lebih memikirkan generasi berikutnya ketimbang kita. Kita harus melepaskan diri dari santunan Negara. Itu kan pajak. Berlatih sedikit demi sedikit,” pungkasnya.

Masyarakat jangan melulu menganggap kenaikkan harga BBM sebagai putusan yang menyusahkan. Di sisi lain, ubahlah gaya hidup boros BBM dengan memanfaatkan transportasi massal, hingga bersepeda dan berjalan kaki. Selain lebih sehat, beban akibat kelangkaan BBM pun dapat berkurang. Bila dibiasakan, tanpa disadari masyarakat Indonesia akan mampu lepas dari ketergantungan.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2618

Trending Articles