Moedji Raharto. (Foto: Tristia R.)
Pagi menjelang siang pada Senin (21/1), anggota tim tafsir ilmiah Salman saling berargumen perihal pemetaan istilah-istilah kiamat. Perbedaan pendapat walau sedikit tidak dapat dihindari. Terdapat seseorang yang semangat berpendapat melalui ilmu kebahasaan yang dikuasainya. Terdapat pula yang berapi-api menekankan pentingnya manfaat mengaitkan kiamat dengan ilmu-ilmu sains. Uniknya, bukan ketegangan yang meruncing, melainkan gelak tawa yang akhirnya lahir. Seolah mereka semua mafhum, perbedaan merupakan sunatullah yang wajar.
Di antara segelintir yang hadir, tampak seorang pria bertemperamen tenang. Ia memang tak terlalu vokal menyuarakan pendapatnya. Sesekali ia berbicara, suaranya lirih. Namun betapa ia dihormati oleh anggota tim tafsir lain. Semua berkat keilmuannya yang mumpuni. Semangatnya dalam mengintegrasikan astronomi dan sains, mutlak tertera dalam tiap ucapnya. Moedji Raharto, begitu nama pria itu.
Seorang teman yang rajin mengikuti diskusi tafsir ilmiah menyarankan saya untuk mewawancarainya. Dosen Jurusan Astronomi FMIPA ITB ini pun bersedia untuk diwawancarai empat jam setelah diskusi tafsir Senin (21/1) berakhir. Ditemui di ruangannya di kompleks Jurusan Astronomi, Moedji mulai memaparkan alasannya memilih astronomi.
“Dulu, waktu kecil, saya tertarik pada konfigurasi bintang-bintang. Saya suka melihat langit bersih di kota saya dibesarkan, Surabaya, pada saat itu,” papar pria kelahiran Blitar, 8 November 1954 ini.
Menurutnya, pada tahun 1960-an belum ada revolusi industri besar-besaran. Polusi cahaya pada malam hari pun tidak ada karenanya. Selain memandang langit, Moedji belia gemar melihat gambar-gambar terbaru mengenai ruang angkasa. Ia pun senantiasa mengikuti berita-berita mengenai kegiatan ruang angkasa. Barulah mulai SMA, Moedji mempelajari ilmu falak. Bagaimana cara mengetahui posisi matahari, kapan matahari terbit dan terbenam, pun dipelajari.
“Karena suka, akhirnya saya memutuskan untuk masuk jurusan Astronomi. Pilihan yang membuat orang bertanya-tanya, buat apa kamu masuk astronomi, kerjanya jadi apa?” papar Moedji menirukan pertanyaan orang-orang di sekitarnya.
Orang tua Moedji sendiri bahkan kurang setuju atas pilihan Moedji. Mereka lebih mengharapkan Moedji mengambil jurusan arsitektur, elektro, atau sipil. Alasannya, ketiga jurusan itu sedang gencar-gencarnya meluaskan lapangan pekerjaan. Namun, rupanya Moedji punya cara pandang lain menyoal prospek kerja dari astronomi.
“Saya berpikir, kayaknya mikir alam semesta nggak ada nganggurnya ya. Lagipula, yang belajar astronomi kan lebih dikit, jadi lapangan kerjanya banyak juga ya…,” ujar Moedji.
Tekad sudah mewujud sempurna dalam diri Moedji. Pelbagai halangan pun tak mempan menghentikan asa Moedji dalam mempelajari ilmu astronomi. Ia pun resmi menjadi mahasiswa Jurusan Astronomi ITB angkatan 1974.
Pertautan Moedji dengan Masjid Salman pun terjadi. Semua bermula ketika Moedji mulai berinteraksi dengan kawan-kawan yang semangat dalam usaha mengintegrasikan sains dan Islam. Kala itu, di Salman sendiri terdapat beberapa tokoh kunci seperti Imaduddin, Ahmad Sadali, Latief Aziz, Almarhum Ustad Nurdin, dan sebagainya.
“Pak Nurdin pernah menyuruh hal yang simpel seperti, tolong hitung ini gerhana seperti apa.. Ternayata memang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya fardhu kifayah…” paparnya.
Semenjak itu, Moedji mulai tertarik mengutak-atik ilmu astronomi untuk dikaitkan dengan Islam. Ia meminta berbagai buku tentang astronomi dari Departmen Agama. Sayangnya, penelusuran itu sempat tertunda akibat tesis dan disertasinya. Namun, kunjungannya ke Belanda untuk tugas akhir ternyata menggugahnya kembali untuk mengaitkan sains dan Islam.
“Di Belanda pada waktu itu, satu masjid bahkan dipakai tiga kali salat raya dari jemaah yang berbeda. Ada yang berkiblat ke Maroko, berkiblat ke Timur Tengah, bahkan ada yang berkiblat ke Indonesia,” ujarnya.
Moedji menginkan adanya pengembangan tafsir ilmiah. Ia menyadari terdapat pihak-pihak yang pro dan kontra perihal ide ini. Namun kalau begitu terus, ilmu pengetahuan dan bahkan Islam akan kontraproduktif. Bagi Moedji, Islam tidak mempertentangkan sains. Justru sains dibutuhkan untuk menyempurnakan amal ibadah kita.
“Bagaimana membuat lingkungan yang bersih, karena kebersihan dari iman.. kan perlu ilmu pengetahuan yang khusus,” papar Moedji. “Sekarang kan sedang heboh-hebohnya penggunaan vaksin meningitis yang mengandung Babi. Apakah tidak ada obat lain? Kalau kita tidak menguasai bidang itu, ya terpaksa darurat terus.”
Selain untuk penyempurnaan amal ibadah, bagi Moedji, sains adalah jalan untuk mengetahui kemahabesaran Allah. Bagaimana tata surya bekerja, bagaimana fenomena gerhana terjadi, bagaimana dinamika atmosfer, atau tabrakan antar batu semesta baginya sudah direncanakan oleh Allah SWT.
“Allah menciptakan itu semua pasti ada tujuannya. Allah menunjukkan banyak jalan untuk menunjukkan kemahabesarannya,” papar Moedji.
Persoalan lain dalam dunia sains bagi Moedji adalah adanya reduksi besar-besaran yang membatasi pertautan sains dan Islam. Jadinya dilematis. Orang yang mempelajari atom, atomnya dapat digunakan sebagai pemusnah massal. Sains seperti ekonomi, bahkan psikologi, dapat dipakai untuk memusnahkan manusia.
“Purpose-nya ada yang digunakan untuk menciptakan kekacauan di masyarakat.”
Terdapat beberapa orang yang tidak suka dengan konsep alam semesta yang tercipta karena adanya Tuhan. Walaupun terdapat banyak argumentasi, tapi menurut Moedji itu tidak menyelesaikan masalah. Ia mencontohkan sistem kapiltalis. Pertama kali muncul, sistem kapitalis terlihat bagus. Namun berpuluh-puluh tahun kemudian malah kolaps.
“Manusia diajarkan untuk tidak sombong. kadang-kadang kita sok tahu, ilmu pengetahuan tentang semesta yang kita dapat hanya sebagian kecil..dan itu sesuatu yang luar biasa,” simpul Moedji. “Sedangkan Islam itu natural resources. Datangnya berasal dari wahyu Allah.”
Moedji Raharto, “Mikirin Alam Semesta Nggak Ada Nganggurnya, Ya..” from Masjid Salman ITB - Menuju Masyarakat Informasi Islami