Jika para insan kreatif Seni Rupa menggagas keterhubungan semesta lewat Pasar Seni ITB 2014, Salman menyibaknya lewat tafsir ilmiah. Isyarat-isyarat ilmiah dalam Alquran menggelitik berbagai pakar keilmuan untuk menelaahnya. Salman pun menaungi mereka untuk memaparkan hasil telaahannya.
Oleh karena itu Almarhum Irfan Anshory, salah seorang aktivis senior Masjid Salman ITB menggagas diskusi. Diskusi ini kemudian diselenggarakan oleh Bidang Pengkajian dan Penerbitan (BPP) Salman ITB. Topik yang didiskusikan adalah surat-surat pada Juz Amma. Diskusi tafsir surat-surat Jus Amma ini kemudian berujung pada lahirnya Tafsir Salman. Tafsir Salman merupakan tafsir bercorak ilmu pengetahuan yang biasa disebut tafsir ilmi.
Jum’at (14/11) lalu, Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB resmi meluncurkan buku tafsir bertajuk “Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah Juz ‘Amma”. Buku tafsir ini membahas surat-surat dalam Juz ‘Amma melalui ‘pisau bedah’ yang cukup spesifik, yakni sains dan teknologi. Tafsir Ilmi –begitu pendekatan tafsir ini disebut— Juz ‘Amma Salman, diisi pula oleh para ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Tafsir ilmi sendiri ialah penafsiran Alquran yang menggunakan istilah-istilah ilmiah. Tujuannya, untuk melahirkan teori baru yang berkesesuaian dengan ilmu pengetahuan saat ini. Para ulama pun terbagi menjadi dua; ulama yang pro dan ulama yang kontra.
Golongan pertama menilai Alquran sebagai mukjizat ilmiah. Wajar jika isinya mencakup pula teori-teori ilmiah modern. Tafsir ilmi juga mampu membantah stigma bahwa Alquran bersifat irasional. Golongan kedua, beranggapan bahwa ulama-ulama kontemporer terkesan memaksa mencocokkan temuan ilmiah dengan ayat Alquran. Hal tersebut disebut-sebut mereduksi tingkat kemuliaan Alquran.
Salah satu ulama yang menentang tafsir ilmi, Abu Ishaq Asy-Syatibi (w. 790 H) berpendapat bahwa metode yang tidak pernah digunakan para sahabat dan tabi’in tidak relevan. Lebih lanjut lagi ia menilai, mufassir harus membatasi diri menggunakan ilmu-ilmu bantu yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa turunnya Alquran.
Ketua YPM Salman, Syarif Hidayat berpendapat, tafsir justru harus terus berkembang. Ia melanjutkan, banyak ayat yang mengindikasikan keunggulan umat Muslim. Bila kejayaan itu belum pula datang, berarti ada yang salah dan harus diperbaiki. “Kalau kita tidak sampai pada suatu tujuan, mungkin kita salah membaca petunjuk. Kita harus mampu membacanya,” tambahnya.
Ketua Umum MUI Bandung Miftah Faridl mengatakan, tafsir bersifat relatif sedangkan Alquran absolut. Meski begitu, dalam prosesnya mufassir mesti berhati-hati. Jangan sampai menafsirkan hanya berdasarkan dengan ra’yu atau ijtihad. Tafsir lewat ayat Alquran lain, tidak boleh lepas.
Miftah menegaskan, “Barangsiapa yang menafsirkan Alquran hanya dengan ra’yu, itu adalah kesombongan. Tetap, yang absolut itu Alquran….”
Tetap, secanggih-canggihnya otak, tak ada yang bisa menyamai kebesaran-Nya saat menciptakan pentas semesta…[ed: Tr]